SITUASI KONFLIK DALAM ORGANISASI

Organisasi mengakui adanya kebutuhan untuk mengkoordinasikan pola interaksi para anggota organisasi secara formal. Struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa, dan mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti. 

Robbins (1990: 6) mengemukakan bahwa sebuah struktur organisasi mempunyai tiga komponen : (1) kompleksitas; (2) formalisasi dan (3) sentralisasi. 

Kompleksitas, mempertimbangkan tingkat diferensiasi yang ada dalam organisasi. Termasuk didalamnya tingkat spesialisasi atau tingkat pembagian kerja, hierarki organisasi serta sejauh mana unit-unit organisasi tersebar. 

Formalisasi, melihat sejauh mana sebuah organisasi menyandarkan dirinya kepada peraturan dan prosedur untuk mengatur perilaku dari para anggota organisasinya. Umumnya, organisasi beroperasi dengan pedoman yang telah distandarisasi secara minimum. 

Sentralisasi, mempertimbangkan dimana letak pengambilan keputusan. Umumnya organisasi, pengambilan keputusan. Umumnya organisasi, pengambilan keputusan sangat sentralisasi. Masalah­masalah dialirkan ke top manajemen clan dipilih tindakan yang tepat, atau kekuasaan tersebar ke bawah di dalam hierarki tetapi keputusan tetap pada top manajemen. 

Jika memperhatikan komponen struktur organisasi tersebut, tampak salah satu tugas penting dalam organisasi adalah mengharmoniskan suatu kelompok orang­orang berbeda, mempertemukan macam­macam kepentingan dan memanfaatkan memampuan-kemampuan kesemuanya Ice suatu arah tujuan. Sesuatu yang tidak dapat dihindari dari proses pengorganisasian dari pelaksanana struktur organisasi adalah konflik dalam organisasi. Hal ini seperti yang disebutkan Robbin (1990: 450) bahwa: "konflik adalah bagian dari kehidupan berorganisasi yang tidak dapat dihindari". Hal ini dimungkinkan karena konflik berakar dan karakteristik struktural maupun kepribadian yang tidak cocok. Dalam organisasi, sumber daya organisasi umumnya tidak melimpah, pegawai sebagai anggota organisasi mempunyai kepentingan serta pandangan yang beraneka ragam sehingga konflik merupakan realitas yang tidak pernah berhenti dalam organisasi. 

Selanjutnya Anthony Ober Schall (1973: 30) mengatakan "Konflik itu terjadi setiap hari, berlangsung secara normal, merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam proses institusional secara alami sebagai realitas sosiaF. 

Konflik dalam organisasi timbul sebagai hasil adanya masalah-masalah komunikasi, hubungan pribadi, atau struktur 

organisasi. Hani Handoko (1995: 345) menyatakan bahwa penyebab-penyebabnya yaitu: 

(1) Komunikasi: salah pengertian berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti, atau informasi yang mendua dan tidak lengkap, serta gaya individu manajer yang tidak konsisten; 

(2) strukutur: pertarungan kekuasaan antar departemen dengan kepentingan­kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk memperebutkan sumber daya-sumber daya yang terbatas, atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka; (3) Pribadi: ketidaksesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi karyawan dengan perilaku yang diperankan pada jabatan mereka, dan perbedaan dalam nilai-nilai atau persepsi. 

Sementara itu berdasarkan pendapat Shaun Tyson & Tony Jackson (2001: 61) 

yang mengutip dan Blake & Mouton menyatakan bahwa : 

"Konflik merupakan fungsi penting terhadap produksi/hasil". Oleh karena itu, konflik merupakan bagian terpenting dalam upaya meningkatkan hasil kerja dan hasil produksi sehingga untuk kepentingan tersebut harus mengupayakan "bagaimana membiarkan konflik muncul dalam cara yang tidak merusak". 

Memperhatikan uraian tersebut, memperlihatka bahwa konflik dalam organisasi, perlu dikendalikan supaya organisasi tidak statis, apatis dan harus tanggap terhadap perubahan diperhatikan dan berbagai unsur yang mempengaruhinya baik penyebab, tempat maupun dampaknya terhadap efektivitas organisasi. 

2.2. BENTUK KONFLIK DALAM ORGANISASI 

Walton E. Richard (1969: 2) mengemukakan, terdapat dua macam bentuk konflik dalam organisasi yang tidak dapat dihindari (1) Substantive conflict, yaitu konflik secara substantif yang meliputi ketidaksesuaian paham tentang hal-hal seperti tujuan-tujuan, alokasi sumber-sumber daya, distribusi imbalan, kebijaksanaan dan prosedur-prosedur serta penugasan pegawai; (2) Emotional conflict, yaitu timbul karena perasaan-perasaan marah, ketidak percayaan, ketidaksenangan, takut dan sikap menentang, maupun bentrokan-bentrokan kepribadian. Kedua bentuk konflik tersebut dapat memiliki sisi konstruktif dan destruktif. 

1. KONFLIK DESTRUKTIF 

Konflik destruktif menimbulkan kerugian bagi individu atau individu-individu dan atau organisasi atau organisasi-organisasi yang terlibat didalamnya. Konflik demikian misalnya terjadi, apabila dua orang karyawan tidak dapat bekerja sama karena terjadi sikap permusuhan antar perorangan antara mereka (konflik emosional destruktif) atau apabila anggota-anggota sebuah komite tidak dapat mencapai persesuaian paham tentang tujuan-tujuan kelompok (konflik emosional destruktif) atau apabila anggota-anggota sebuah komite tidak dapat bertindak, karena mereka tidak dapat mencapai persesuaian paham tentang tujuan-tujuan kelompok (konflik substantif destruktif). 

Ada banyak keadaan, dimana konflik dapat menyebabkan orang yang mengalaminya mengalami goncangan (jiwa), bagi mereka yang melihat kejadiannya, dan bagi organisasi atau subunit-subunit di mana situasi konflik terjadi, hal tersebut akan menghambat operasi-operasinya. Sangat tidak menyenangkan misalnya, untuk berada dalam bidang kerjasama, dimana dua orang rekan sekerja terus menerus menunjukkan sikap permusuhan mereka satu sarna lain. 

Ada macam-macam kerugian yang ditimbulkan karena konflik destruktif, misalnya beberapa diantara kerugian yang dapat dialami orang-orang yang terlibat di dalamnya, menurut Winardi (1994:6) adalah: 

(a) perasaan cemas/tegang (stress) yang tidak perlu, atau yang mencekam; 

(b) komunikasi yang menyusut; 

(c) persaingan yang semakin menghebat; 

(d) perhatian yang makin menyusut terhadap tujuan bersama. 

Konflik-konflik destruktif yang timbul secara menyeluruh dapat menyebabkan kurangnya efektivitas individu-individu, kelompok-kelompok dan organisasi­organisasi, karena terjadi gejala menyusutnya produktivitas dan kepuasan. 

2. KONFLIK KONSTRUKTIF 

Konflik konstruktif menyebabkan timbulnya keuntungan-keuntungan dan bukan kerugian-kerugian bagi individu atau organisasi yang terlibat di dalamnya. 

Adapun keuntungan yang dapat dicapai dari konflik demikian menurut winardi (1994:6) adalah: 

(a) Kreativitas dan inovasi yang meningkat.
Akibat adanya konflik, orang-orang 

berupaya agar mereka melaksanakan pekerjaan mereka atau mereka berprilaku dengan cara-cara baru yang lebih baik. 

(b) Upaya yang meningkat (intensitasnya). Konflik dapat menyebabkan diatasinva perasaan apatis dan is dapat menyebabkan orang-orang yang terlibat dengannya bekerja lebih keras. 

(c) Ikatan (kohesi) yang makin kuat. Konflik yang terjadi dengan pihak "luar", dapat menyebabkan diperkuatnya identitas kelompok, diperkuatnya ikatan (kohesi) dan komitmen untuk mencapai tujuan bersama. 

(d) Ketegangan yang menyusut. Konflik dapat membantu menyusutnya ketegangan-ketegangan antar pribadi, yang apabila tidak demikian, di"tabung" hingga hal tersebut menyebabkan timbulnya stress. 

Memperhatikan hal tersebut apakah konflik itu akan menguntungkan atau tidak bagi sesuatu organisasi tergantung pada dua buah faktor yaitu: 

(a) Intensitas konflik tersebut; 

(b) Bagaimana baiknya konflik tersebut dimanaje. 

Jika dilihat dari kedua bentuk konflik tersebut, para pimpinan banyak mencurahkan waktu dalam hal menghadapi situasi-situasi konflik yang timbul dalam organisasi berdasarkan topiknya. Situasi­situasi konflik tipikal menurut Winardi (1994:8) terdiri dari (1) konflik di dalam individu; (2) konflik antar pribadi, atau individu dengan individu; dan (3) konflik antar kelompok atau antar organisasi.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SITUASI KONFLIK DALAM ORGANISASI "

Post a Comment