HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)
·
Hak Cipta dan
hak-hak terkait (Copyright and related rights);
·
Merek dagang
termasuk merek jasa (Trademarks, including service marks);
·
Indikasi geografis
(Geographical indications);
·
Desain Industri
(Industrial designs);
·
Paten (Patents);
·
Tataletak sirkit
terpadu (Layout-designs (topographies) of integrated circuits); dan,
·
Rahasia Dagang
(Undisclosed information, including trade secrets)
Dari semua pendapat di atas, adalah jelas bahwa
istilah HAKI merupakan “istilah generik”, yang mencakup baik hak cipta (Paul Craig & Gráinne de Búrca).
Organisasi HAKI dunia yaitu World Intellectual
Property Rights Organization (WIPO) menerangkan, bahwa “Hak milik intelektual
merujuk pada hasil karya dari pemikiran: penemuan, karya artistik dan sastra,
dan simbol, nama, citra, dan desain yang digunakan dalam perniagaan” [Intellectual
property refers to creations off the mind: inventions, literary and artistic
works, and symbols, names, images, and designs used in commerce.”] Menurut
WIPO, HAKI dibagi dalam dua kategori, yaitu 1) hak milik perindustrian, yang
mencakup paten, merek, desain industri, indikasi geografis. 2) hak cipta, yang
mencakup karya artistik dan sastra seperi novel, puisi dan pertunjukan, film,
karya musikal, karya artistik seperti gambar, lukisan, fotografi dan ukiran,
dan desain arsitektur. Hak-hak terkait dengan Hak Cipta adalah mencakup hak-hak
dari artis pertunjukan dalam pertunjukannya, produser rekaman dalam produksi
rekaman mereka, dan penyiaran dalam program-program televisi dan radio.
[“Intellectual property is divided into two categories: Industrial
property, which includes inventions (patents), trademarks, industrial designs,
and geographic indications of source; and Copyright, which includes literary
and artistic works such as novels, poems and plays, films, musical works,
artistic works such as drawings, paintings, photographs and sculptures, and
architectural designs. Rights related to copyright include those of performing
artists in their performances, producers of phonograms in their recordings, and
those of broadcasters in their radio and television programs.”]
2. Hakekat HAKI
Hak-hak yang
ada di dalam HAKI sebagian besar diaplikasikan dalam perdagangan barang dan
jasa, sehingga makna (the subject matter) dari HAKI mengelilingi dan
mempengaruhi kehidupan sehari-hari dari tiap orang. Akibatnya hakikat dari
tatanan hak yang pada dasarnya bersifat privat mempengaruhi aturan-aturan
publik di dalam masyarakat.
Bagi beberapa
ahli, hak-hak yang terdapat di dalam HAKI bersumber dari tatanan hukum yang
melindungi HAKI. (“Intellectual property law creates property rights in a
wide and diverse range of things and in the various insignia applied to goods
and service” – Bently & Sherman). Namun –paling tidak bagi saya – hal
itu tidaklah demikian.
3. HAKI sebagai benda tidak berwujud
HAKI memiliki
berbagai bentuk yang saling berbeda, tapi juga memiliki kemiripan tertentu.
Kemiripan yang utama ialah perlindungan terhadap benda “tidak berwujud”
(intangible things). Benda-benda ini disebut ‘tidak berwujud’ karena mereka
merupakan gagasan, penemuan, tanda, dan informasi.
Hal ini
menempatkan HAKI dalam posisi yang berbeda dengan hak milik atas benda
‘berwujud’ yang mana berfungsi sebagai titel atas suatu obyek yang
berwujud/berbentuk. Sedangkan HAKI, pada saat merupakan bentuk tidak berwujud
juga sekaligus mengandung hak-hak yang tidak berwujud. Dengan kata lain, hak
milik yang tidak berwujud dikandung dalam obyek berwujud (In the other
words, the intangible property is embodied in the tangible object – Bently
& Sherman). Keadaan semacam ini melahirkan konsekuensi hukum.
Konsekuensi
yang lahir dari sifat tidak berwujud HAKI adalah, bahwa sifat dari HAKI ini
membatasi kemampuan pemilik benda untuk bertindak terhadap benda miliknya.
Penguasaan secara nyata atas suatu benda tidak pada saat yang sama melahirkan
kepemilikan atas HAKI dari benda tersebut.
Contoh: Jika seorang mahasiswa membeli kaset/CD musik di
toko, hal itu berarti sang mahasiswa menjadi pemilik kaset/CD yang dibelinya,
namun tidak berarti dia menjadi pemilik hak cipta atas lagu-lagu di dalam
kaset/CD tersebut. Dia juga tidak menjadi pemilik hak cipta atas sampul
kaset/CD, dan juga bukan pemegang hak merek atas merek produk yang dibelinya.
Bandingkan dengan keadaan dimana seseorang membeli rumah (benda berwujud),
maka dengan sendirinya dia memiliki kemampuan untuk bertindak bebas atas
rumah tersebut.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena dalam kasus
pembelian kaset/CD di atas, yang dibeli oleh sang mahasiswa sebenarnya adalah
lagu-lagu (karya cipta) yang direkam di dalam wadah kaset/CD tersebut. Bukan
maksud sang mahasiswa untuk membeli wadahnya, karena dia bisa membeli
kaset/CD kosong jika hanya ingin membeli wadah.
|
Di bagian dunia
yang lain, seperti di negara-negara anggota Uni Eropa dan di Amerika Serikat,
masalah sifat tidak berwujud dari HAKI ini sudah mencapai tingkat pembahasan
pada aspek perdagangan barang dan jasa, terutama menyangkut prinsip ‘exhaustion
of right’. Hal ini akan dibahas kemudian.
Mengenai
pelanggaran HAKI, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sifat HAKI sebagai hak
yang tidak berwujud. Tidaklah mudah bagi orang untuk memahami mengapa seseorang
tidak bisa menikmati kebebasan penuh atas benda miliknya, termasuk memperoleh
manfaat ekonomi darinya. Seseorang bisa saja bertanya mengenai hak yang lahir
dari tindakannya atas suatu benda (misalnya pembelian barang). Pemilik benda bisa
saja bertanya, “Mengapa saya tidak menggunakan benda yang telah saya beli ini
untuk memperoleh uang dan keuntungan atas sejumlah uang yang telah saya
keluarkan untuk pembeliannya?”. Namun dia tidak dapat melakukannya tanpa
melalui prosedur HAKI jikalau tidak ingin dituduh melakukan pelanggaran HAKI
0 Response to "HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)"
Post a Comment