FILASAFAT ILMU SEBAGAI PARADIGMA ILMU MANAJEMEN

Heru Kurnianto Tjahjono 

This article discusses the complexity of management within the science areas. The complexities of management are not only on dialectic level, but also most important is on practical which often controls the management role as independent scientific study. On subsequent discussion the article investigates management development problems in Indonesia, also the role of philosophy science for the development management science especially on how the development of management science in Indonesia and Pancasila’s role as Indonesian’s philosophy. 


KOMPLEKSITAS MANAJEMEN 

Pokok bahasan manajemen semakin hari semakin diminati oleh berbagai kalangan masyarakat baik para ilmuwan, praktisi bahkan orang awam. Namun berbagai kalangan tersebut juga belum memiliki “communal opinio” tentang definisi manajemen. Sebagai konsekuensinya, manajemen mempunyai beragam konotasi-konotasi yang kadang tidak saling berhubungan, sehingga dapat menyebabkan perbedaan dalam memahami “hewan” manajemen. Kompleksitas yang terjadi pada bahasan tentang manajemen tidak hanya terjadi pada level dialektika, namun yang menjadi problem berat adalah faktor kepentingan praktis yang sering kali mengendalikan peran manajemen sebagai kajian ilmiah yang independen. 

Fenomena penting yang dapat kita lihat adalah pada bidang pendidikan manajemen. Bidang pendidikan diharapkan menjadi “penjaga gawang” dalam kajian ilmiah mengenai manajemen. Namun pada kenyataannya tidak dapat kita hindari bahwa kepentingan kapitalistik dan materialistik telah memberikan inspirasi dan orientasi yang berbeda dalam mengartikulasikan pendidikan manajemen. 

Dewasa ini di Indonesia benyak yang berpandangan bahwa pendidikan tinggi khususnya dipandang hanya sebagai investasi masa depan daripada untuk kepentingan khasanah keilmuan. Artinya pengorbanan berupa biaya dan waktu dianggap sebagai investasi dengan mengharapkan pekerjaan dan pendapatan yang baik sebagai return-nya. Sehingga banyak orang berlomba-lomba melanjutkan pendidikannya pada perguruan tinggi dengan harapan terjadi “mobilitas vertikal” yang kelak akan mengantarkan mereka mencapai “kesejahteraan ekonomi”. Pada sisi lain, penyelenggara pendidikan melihat fenomena pendidikan manajemen sebagai “pasar” yang memiliki permintaan yang sangat melimpah. Penyelenggara pendidikan, terutama swasta sangat bergairah mendirikan berbagai program baik pada strata diploma, S1, S2 baik MM ataupun MBA dan S3 atau program Doktor. Problemnya adalah pada “nawaitu” atau niatnya dalam menyelenggarakan pendidikan. Newman dalam bukunya Social Research Methods (2000) menyebutkan sebagai fenomena pseudoscience yang erat kaitannya dengan ilmu itu sendiri. Pseudoscience merupakan suatu fenomena yang seolah-olah menampakkan dirinya sebagai suatu ilmu (khususnya ilmu-ilmu sosial seperti manajemen), padahal hanya berupa jargon-jargon yang dibumbui dengan berberapa karakteristik yang mirip dengan karakteristik sebuah ilmu. Termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan program gelar berbagai strata yang kadang sesungguhnya tidak memiliki komitmen dan tanggung jawab terhadap ilmu melainkan hanya kepentingan bisnis, beredarnya buku-buku ilmiah manajemen populer yang semata-mata untuk bisnis, penelitian dan telaah ilmiah “semu” yang bertujuan hanya untuk mempopulerkan, mengiklankan produk, jasa, bisnis dan lain-lain dalam berbagai media massa. Hal tersebut semakin diperparah oleh ketidakfahaman masyarakat dan ketiadaan aturan tentang batasan area ilmiah. 
PROBLEM MANAJEMEN DI INDONESIA 

Momentum kemerdekaan di Indonesia seharusnya dapat mendorong pengembangan ilmu pengetahuan secara umum yang bercirikan nilai budaya bangsa Indonesia dan pengembangan manajemen sebagai ilmu dalam pendidikan modern yang memberikan harapan dan keberanian kepada bangsa Indonesia untuk memperbaiki kehidupan bisnis dan ekonomi serta moralitas bangsa. Namun realitas yang dihadapi kehadiran ratusan bahkan ribuan pendidikan tinggi dan juga ratusan ribu sarjana belum mampu melahirkan dan membesarkan ilmu pengetahuan khusunya melahirkan sebuah konsepsi manajemen berwawasan Indonesia. 

Penyebab utama kepincangan dalam kemajuan ilmu pengetahuan adalah terletak pada perlakuan yang tidak “correct” terhadap ilmu pengetahuan di perguruan tinggi pada khususnya, di lingkungan kampus pada umumnya (Daoed Joesoef, 1986). Dikatakan tidak “correct” karena di sana ilmu pengetahuan (dalam hal ini secara spesifik ilmu manajemen) dihayati tidak dalam arti yang lengkap, yaitu ilmu pengetahuan dalam arti produk, ilmu pengetahuan dalam arti sebagai proses dan ilmu pengetahuan dalam arti masyarakat. 

Ilmu pengetahuan sebagai produk, adalah pengetahuan yang telah diketahui dan diakui kebenrannya oleh masyarakat ilmuwan. Jadi ilmu pengetahuan terbatas pada kenyataan-kenyataan yang mengandung kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji ataupun dibantah oleh orang lain. Sehingga suatu fakta ilmiah tidak mungkin bersifat original seperti halnya pada karya seni. Penemuan fakta ilmiah mungkin dapat original, namun bukan untuk fakta ilmiah itu sendiri. 

Ilmu pengetahuan sebagai proses adalah kegiatan masyarakat yang dilakukan demi penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana kita kehendaki. Metoda ilmiah yang spesifik yang digunakan dalam proses ini adalah analisis rasional, obyektif, sejauh mungkin bersifat “impersonal” dari masalah-masalah yang didasarkan pada percobaan dan data yang dapat diamati (observable data). Dalam pandangan Thomas S. Kuhn, ilmu pengetahuan dalam arti proses (penelitian) diistilahkan sebagai “normal science”. 

Sedangkan ilmu pengetahuan sebagai masyarakat adalah suatu dunia pergaulan yang tindak tanduknya, sikap dan perilakunya diatur oleh empat ketentuan (imperatives), yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih (disinterestedness) dan skeptisisme yang teratur. Universalisme berarti bahwa ilmu pengetahuan bebas dari warna kulit, agama, keturunan atau dikenal dengan jargon “SARA”, yang ada hanya metoda. Jadi ilmu pengetahuan dikatakan universal jika metoda ilmiah bersifat empirik, eksperimental dan rasional yang bekerja menurut “logical inference”. Komunalisme berarti bahwa ilmu pengetahuan adalah milik masyarakat (public knowledge). Tanpa pamrih berarti bukan proraganda ataupun promosi bagi kepentiingan tertentu. Skeptisisme yang teratur berarti keinginan untuk mengetahui dan bertanya didasarkan pada nalar dan keteraturan dalam berfikir. 

Bagaimana dengan perkembangan manajemen dalam setting Indonesia? Dunia barat dikenal dengan perkembangan ilmu manajemen yang berorientasi pada individualisme, kapitalisme dan materialisme yang didukung pengembangan teknologi modern. Bangsa Jepang dengan collectivism mengembangkan filosofi Kaizen dalam manajemen mereka. Secara epistemologis, bagaimana metoda pengembangan manajemen di Indonesia. Kemudian pada cabang ontologis, apakah manajemen di Indonesia dapat dikembangkan sebagai ilmu? Dan bagaimana nilai-nilai budaya bangsa dibangun sebagai pijakan aksiologi untuk mengembangkan ilmu 

manajemen berwawasan Indonesia. 

Bagaimana pengembangan manajemen sebagai ilmu dalam pendidikan modern yang memberikan harapan dan keberanian kepada bangsa Indonesia untuk memperbaiki kehidupan bisnis dan ekonomi serta moralitas bangsa, sehingga melahirkan sebuah konsepsi ilmu manajemen berwawasan Indonesia. 

Secara lebih spesifik problem akan diarahkan pada upaya melahirkan para sarjana manajemen Indonesia berkualitas dan berkarakter. Kualitas lebih menekankan pada keilmuan dan keterampilan sedangkan berkarakter menekankan pada visi dan nilai. 



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "FILASAFAT ILMU SEBAGAI PARADIGMA ILMU MANAJEMEN"

Post a Comment