MENGAPA FILSAFAT ILMU

Pembahasan di muka diawali dengan kompleksitas realitas manajemen, khususnya bagi pengembangan manajemen di Indonesia. Lemahnya tradisi ilmiah dan banyaknya kepentingan ekonomi serta tidak adanya visi bagi pengembangan ilmu dan pendidikan menyebabkan tidak kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Di samping itu fenomena global perkembangan ilmu begitu cepat termasuk perkembangan ilmu manajemen. Oleh karena itu sesungguhnya filsafat ilmu muncul sebagai kelanjutan dari filsafat pengetahuan karena perkembangan ilmu cabang yang tumbuh “bagai cendawan di musim hujan”. Filsafat pengetahuan sendiri lahir sebagai reaksi dan klarifikasi terhadap pertentangan antar cabang ilmu. Kunto Wibisono menjelaskan bahwa filsafat ilmu adalah refleksi filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah untuk mencapai kebenaran atau kenyataan. Sesuatu memang tidak pernah akan habis difikirkan dan tidak pernah akan selesai diterangkan. 

Hakikat ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran universal yang implisit melekat di dalam dirinya. Dengan memahami filsafat ilmu berarti memahami seluk beluk ilmu yang paling mendasar, sehingga dapat difahami pula perspektif ilmu, kemungkinan pengembagannya, keterkaitan antar cabang ilmu yang satu dengan lainnya, simplifikasi dan artifisialitasnya. 
MANAJEMEN SEBAGAI ILMU 

Apakah manajemen dapat dikategorisasi sebagai ilmu (science)? Pada awalnya manajemen berasal dari kata “manage” yang bisanya dihubungkan dengan kemampuan untuk mengurusi rumah tangga (R.W. Morell, 1969). Bahkan Socrates pada zaman Yunani Kuno mendefinisikan manajemen sebagai suatu keterampilan yang terpisah dari pengetahuan. Hal tersebut tercermin di dalam nasihat Socrates kepada Nichomachides: 

“Aku mengatakan bahwa apapun yang dikepalai seseorang dan ia mengetahui apa yang diperlukan, dan mampu menyediakannya, berarti ia akan menjadi pemimpin yang baik. Oleh karena itu Nichodemachides, janganlah meremehkan orang yang mahir mengelola rumah tangga; sebab penanganan masalah pribadi dan umum hanya terletak pada luas permasalahannya; dalam hal lain keduanya sama, tetapi yang harus kamu perhatikan keduanya tidak dikelola tanpa oleh manusia; dan perkara pribadi tidak dikelola oleh satu jenis manusia dan perkara umum oleh jenis manusia lainnya; sebab mereka yang menjalankan perusahaan umum menggunakan manusia yang sama sekali tidak berbeda dengan mereka yang dipekerjakan oleh para manajer dari usaha-usaha pribadi; dan orang yang tahu bagaimana mempekerjakan mereka, menjalankan usaha baik pribadi maupun umum dengan bijaksana, sedangkan orang yang tidak mengetahuinya tidak juga keduanya”. 



Pemahaman Socrates tersebut sejalan dengan penelusuran yang ditulis dalam proceeding seminar konsep manajemen Indonesia, PPM (1979) yang dihadiri oleh sejumlah pakar manajemen, ilmuwan sosial, peneliti dan birokrat Indonesia seperti Astrid S. Soesanto, Harsya W. Bachtiar, Siswanto Sudomo, Roosseno, Muchtar Lubis, TB. Simatupang, Kwik Kian Gie, Christianto Wibisono, M. Dawam Raharjo dll bahwa pada awalnya manajemen merupakan penggunaan keterampilan, pengetahuan dan ikhtiar sungguh-sungguh untuk mencapai tujuannya, maka manajemen adalah seni (art). Tetapi dengan meluasnya cakrawala pengetahuan melalui pengumpulan data secara menyeluruh dan mendalam untuk selanjutnya diolah guna perumusan dan pengujian hipotesisnya maka manajemen telah berkembang menjadi ilmu (science). 

Dalam artikel What is a “science” Bahm menggambarkan secara jelas unsur-unsur ilmu (science). Bahm mengajak pembaca untuk berfikir secara lebih mendasar mengenai unsur-unsur atau komponen science. Bahm memulai dari permasalahan (problem) yang dihadapi manusia dalam kehidupan sebagai komponen penting science, meskipun tidak semua problem bersifat ilmiah. 

Selanjutnya Bahm menguraikan pentingnya sikap seorang ilmuwan dalam mengembangkan science. Selain itu juga diuraikan oleh penulisan tentang kontroversi metoda dan peran metoda dalam perkembangan science. Metoda dan sikap bersama-sama mencoba mencari solusi terhadap problem dan mencari kebenaran, kenyataan dan memberi penjelasan ataupun memberikan solusi terhadap permasalahan. Sehingga science akan selalu bergerak dan berjalan tanpa mengenal berhenti (unfinished journey). 

Bahm juga menyampaikan keprihatinannya bahwa pengembangan teknologi dan industri berjalan demikian cepat yang seharusnnya terkait dengan efek sosialnya ternyata berjalan tidak seimbang sehingga selain memberi manfaat, namun banyak pula menciptakan kesulitan bagi kehidupan manusia. Sehingga Bahm sangat mendorong untuk menambah teknologi dan industri dengan hal yang lebih mendasar, yaitu aspek aksiologi, etika, religiusitas dan sosiologi. 

Bahm tampaknya juga mengajak pembaca untuk lebih dalam memahami science dengan nilai-nilai universalnya. Secara jelas, Bahm menguraikan dan mengulas secara kritis unsur-unsur (komponen) science sekaligus mengingatkan kepada para peneliti untuk menyadari pentingnya unsur-unsur tersebut. 

Di samping pembahasan unsur-unsur science secara struktural, Bahm juga mengulas secara fenomenal baik terkait dengan masyarakat, proses dan science sebagai produk. Bahm menyampaikan efek science sendiri bagi kehidupan manusia di mana science tidak bisa lepas dari nilai-nilai terkait dengan kepentingan luhur kemanusiaan. 

Perkembangan selanjutnya apakah manajemen merupakan ilmu menjadi erat hubungannya dengan semakin canggihnya perubahan, persaingan dan perilaku organisasional yang berkaitan dengan kompleksitas “how to manage” dalam bisnis. Semakin pentingnya manajemen paling tidak terlihat dalam banyak kasus organisasi bisnis dan publik di sejumlah negara belum berkembang atau sedang berkembang. Kemudian kualifikasi manajer menjadi dominan dalam keberhasilan organisasi. 

Hal yang menarik disampaikan oleh Socrates pada masa lalu bahwa faktor kunci keberhasilan manajemen adalah manusia dan kelompok manusia yang lain. Pada perkembangan selanjutnya muncul interaksi antar manusia dan jika ada kesamaan pandangan dan tujuan, mereka akan membentuk kelompok atau organisasi. 

Pada saat ini domain manajemen melingkupi bagaimana mengelola organisasi mencapai tujuan secara efektif dan efisien terkait dengan lingkungan yang penuh ketidakpastian. Untuk itu sangat diperlukan pengetahuan tentang prinsip dan teknik dasar manajemen dalam mempraktikkan, menjelaskan dan mengembangkannya. Areanya menjadi semakin jelas yaitu efektivitas dan efisiensi manusia sebagai sentral. Jika dibandingkan dengan efisiensi mesin maka efisiensi usaha kelompok manusia masih sangat tertinggal. Hal tersebut disadari oleh banyak ahli manajemen di lapangan seperti Henri Fayol, Barnard dan Alvin Brown bahwa diperlukan konsep manajemen yang jelas dan suatu kerangka teori dan prinsip yang berpautan. 

Beberapa pandangan Koontz tentang prinsip, teori dan konsep: 

Prinsip adalah kebenaran fundamental, atau apa yang diyakini sebagai kebenran pada waktu tertentu, yang menerangkan dua atau lebih kumpulan variabel. 



Teori adalah pengelompokan yang sistematis terhadap prinsip-prinsip yang saling berhubungan sehingga terbentuk kerangka. 



Konsep adalah citra mental dari sesuatu yang dibentuk dengan penggeneralisasian bagian-bagiannya. 



Jika pengertian tentang konsep, teori, prinsip dan teknik manajemen kurang difahami maka akan menyulitkan analisis pekerjaan manajerial dan pelatihan para manajer. Tanpa hal tersebut pelatihan para manajer hanya bersifat coba-coba. Dalam kadar tertentu, hal tersebut mungkin terjadi dan berlangsung sampai ilmu manajemen berkembang secara memadai. 

Pada kasus bisnis, pemerintahan dan perusahaan, susunan ilmu manajemen yang cukup kokoh telah terwujud dan banyak membantu merealisasikan sifat manajemen dan menyederhanakan ke dalam pendidikan dan pelatihan manajer. Bahkan muncul suatu pernyataan yang menarik terkait dengan pendekatan kontingensi yaitu bahwa teori dan ilmu manajemen tidak pernah menganjurkan “satu cara yang terbaik” (Koontz et.al). Teori dan ilmu dimaksudkan untuk mencari hubungan-hubungan fundamental, dasar-dasar teknik dan susunan pengetahuan yang tersedia yang semuanya seharusnya di dasarkan pada konsep yang jelas. 

Dengan demikian diharapkan para praktisi manajemen mengerti dan menggunakan ilmu dan teori yang akan mendasari praktik pekerjaan mereka. 

Jika dikaitkan dengan pandangan Bahm tentang karakteristik penting ilmu, maka manajemen sesungguhnya telah memiliki kriteria tersebut. Pada domain manajemen dapat muncul banyak permasalahan ilmiah seperti bagaimana hubungan antara penetapan tujuan dengan motivasi pada suatu setting tertentu. Untuk mengungkap hal tersebut perlu sikap ilmiah dan metoda ilmiah. 

Di mulai dari sebuah keyakinan bahwa ilmu menerangkan fenomena di atas, artinya keyakinan rasionalitas alam memberikan ide bahwa berbagai hubungan dapat ditemukan antara dua rangkaian kejadian atau lebih. Untuk menemukan secara sistematis diperlukan suatu metoda ilmiah. Metoda ilmiah meliputi metoda induktif yang dimulai dari penemuan fakta (fact finding) dan menguji keakuratan fakta sehingga diperoleh proposisi yang jika terus menerus teruji akurat akan mengambangkan teori dan khasanah ilmu manajemen itu sendiri. Berikutnya adalah metoda deduktif yang menekankan pada pengujian teori atau proposisi dalam ilmu manajemen. 

Selanjutnya ilmu manajemen akan terkait dengan aktivitasnya dan implikasi. Implikasi dalam pandangan Bahm dikaitkan dengan nilai-nilai bagi peradaban manusia. Pada perspektif kontemporer keberfihakan manajemen pada nilai-nilai tersebut (aksiologis) tampak pada fenomena etika bisnis dan manajemen yang semakin gencar dewasa ini. 

Pada bidang bisnis muncul suatu konsep yang berfihak pada konsumen dan kesejahteraan manusia atau masyarakat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang termasuk di dalamnya persoalan lingkungan hidup atau sering dikenal dengan istilah societal marketing concept dan green marketing. Kemudian pada pengelolaan manajemen sumber daya manusia muncul konsep long life employment yang berfihak pada kesejahteraan karyawan jangka panjang. Dalam manajemen strategik dan persaingan muncul konsep co-opetition yang menekankan win-win solution kepada semua stakeholders (bahkan semua penghuni bumi ini). 

Dikaitkan dengan pandangan Bacharach (1989) yang mendukung pandangan (Dubin, 1969; Nagel, 1961; Cohen, 1980) menyatakan bahwa teori adalah pernyataan hubungan antara unit-unit yang diobservasi dalam dunia empiris. Teori memiliki dua kriteria meliputi: (a) falsifikasi (b) utilitas. Selanjutnya kemampuan teori memberikan penjelasan secara teruji dan tersusun dengan rangkaian teori yang terkait membentuk suatu ilmu. 

Dalam penelitian yang dilakukan di bidang manajemen, kedua kriteria teori tersebut banyak digunakan terutama dalam penelitian yang dilakukan positivism, terutama pada bidang behavioral science sebagai bagian penting dalam studi ilmu-ilmu manajemen.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MENGAPA FILSAFAT ILMU"

Post a Comment