Fase-fase Perkembangan Budaya Jawa

Fase-fase Perkembangan Budaya Jawa.Signifikansi pembahasan fase-fase pertumbuhan kebudayaan Jawa adalah untuk melihat sejauh mana pergumulan budaya Jawa sebelum dan sesudah Islam datang. Hal ini penting dikaji untuk menguak sistem nilai dan karakteristik budaya Jawa. Berikut ini penulis paparkan pertumbuhan budaya Jawa masa pra Hindu-Budha, masa Hindu-Budha, dan kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam. 



Kebudayaan Jawa Pra-Hindu-Budha 

Data mengenai perkembangan budaya Jawa masa pra Hindu-Budha sangatlah terbatas. Namun, ciri yang menonjol dari struktur masyarakat yang ada pada waktu itu adalah didasarkan pada aturan-aturan hukum adat serta sistem religinya, yaitu animisme-dinamisme yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Hukum adat sebagai norma yang mengikat kehidupan mereka begitu kuat sehingga masyarakatnya bersifat statis dan konservatif. 

Ciri lain masyarakat Indonesia lama adalah kuatnya ikatan solidaritas sosial dan hubungan pertalian darah. Dalam masyarakat Jawa, pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek-moyang melahirkan penyembahan ruh nenek-moyang (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara selamatan, ruh nenek-moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup. 

Seni pewayangan dan gamelan dijadikan sebagai sarana upacara ritual keagamaan untuk mendatangkan ruh nenek-moyang. Dalam tradisi ritual ini, fungsi ruh nenek-moyang dianggap sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam lakon wayang, ruh nenek-moyang dipersonifikasikan dalam bentuk ‘punakawan’. Agama asli mereka adalah apa yang oleh antropolog disebut sebagai ‘religion magic’, dan merupakan sistem budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. 

Keberadaan ruh dan kekuatan-kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yang dapat menolong atapun sebaliknya dapat mencelakakan. Oleh karena itu, W. Robertson Smith menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi, yang dimaksudkan tidak hanya untuk berbakti kepada dewa ataupun untuk mencari kepuasan batiniah yang bersifat individual saja, tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian dari kewajiban sosial. 



 Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Budha 

Salah satu hal yang patut dicatat dalam proses perkembangan budaya Jawa pada fase ini adalah adanya pengaruh yang kuat dari budaya India (Hindu-Budha). Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem agama. 

Cerita Ajisaka yang datang ke pulau Jawa kemudian ia mengubah huruf India ke dalam huruf Jawa dan pemanfaatan tahun Saka untuk mencatat peristiwa-peristiwa sejarah Jawa. Perkembangan ini pada gilirannya membuka jalan bagi proses transformasi budaya melalui gerakan penerjemahan kitab Mahabarata dan Ramayana dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa kuno. Karena golongan cendekiawan sendiri yang aktif dalam penyebaran unsur-unsur Hinduisme, maka golongan cendekiawan Jawa menjadi kaum bangsawan atau priyayi, yang pada akhirnya ajaran Hindu-Budha mengalami proses Jawanisasi. 

Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat). Agama Hindu-Budha di negeri asalnya justru saling bermusuhan, tetapi keduanya dapat dipersatukan menjadi konsep agama yang sinkretis, yaitu agama ‘Syiwa-Budha’. 

Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah sangat bersifat teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa adalah salah satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakan: “Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada jaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban pada masa itu.” 

Penanaman watak teokratis dan watak supremasi seorang raja kepada rakyatnya dilakukan melalui media hiburan rakyat, yaitu pementasan wayang. Dalam pertunjukan wayang, dieksposisikan tatakrama feodal yang halus dan berlaku di keraton serta lagu-lagu (tembang) merdu beserta gamelannya. Dalam cerita wayang disodorkan pula konsep Binathara dengan segala kesaktiannya dan pusaka-pusaka keraton yang berdaya magis. 

Pada konteks perkembangan budaya istana atau keraton, kebudayaan ini dikembangkan melalui “abdi dalem” atau pegawai istana mulai dari pujangga sampai arsitek. Seorang raja mempunyai kepentingan-kepentingan menciptakan simbol-simbol budaya tertentu untuk melestarikan kekuasaannya. Biasanya kebudayaan yang mereka ciptakan berupa mitos-mitos, yang kemudian mitos tersebut dihimpun dalam “babad, hikayat, lontara” dan sebagainya. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam menciptakan mitos adalah menciptakan budaya simbol-simbol mitologis kerajaan agar rakyat loyal kepada kekuasaan raja. 



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Fase-fase Perkembangan Budaya Jawa "

Post a Comment