Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam

Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam. Telah menjadi kesepakatan di kalangan ahli sejarah bahwa Islam di Indonesia disebarkan oleh para saudagar dari bangsa Gujarat dan Benggali. Akan tetapi, tidak diragukan pula bahwa orang-orang Arab juga mengambil bagian penting dalam proses pengislaman bumi nusantara ini. Orang-orang Arab telah membuat pemukiman di berbagai daerah pantai di India dan berangsur-angsur menjadi pusat penyebaran Islam. Kemudian para pedagang tersebut merantau ke bumi nusantara ini dengan peran ganda di samping pedagang mereka juga muballigh. 

Marcopolo sebagai duta besar Venesia untuk menemui raja Kubilaikhan di negeri Cina, sambil menunggu cuaca baik untuk pulang ke Venesia, mengunjungi pantai barat laut Sumatera selama lima bulan pada tahun 1292. Marcopolo menyaksikan bahwa para penghuni bagian Perlak di ujung pulau Sumatera telah diislamkan oleh para saudagar Sarasen. Sebaliknya, orang-orang gunung masih menyembah berhala dan bersifat kanibal. Data historis lain menyebutkan bahwa musafir dari Maroko, Ibnu Bathuttah, yang mengunjungi Sumatera dalam perjalanannya menuju Cina pada tahun 1345 melaporkan bahwa ajaran Islam telah mantap di Sumatera Pasai, dan mereka pada umumnya menganut mazhab Syafi’i. 

Menurut Babad Tanah Djawi, penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh Walisongo. Para wali masing-masing mempunyai pesantren sebagai tempat para santri belajar agama Islam. Mereka bukan saja sebagai pembuka babak baru Islam di Jawa, tetapi mereka juga menguasai jaman berikutnya yang kemudian dikenal dengan “jaman kewalen” (jaman wali). 

Perkembangan Islam di luar Jawa relatif lebih cepat penyebarannya karena tidak banyak berhadapan dengan budaya-budaya lain kecuali budaya Hindu-Budha, sedangkan di Jawa, Islam menghadapi suasana yang kompleks dan halus yang dipertahankan oleh para penguasa/raja. Oleh karena itu, perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan budaya. Pertama, budaya petani lapisan bawah yang merupakan bagian kelompok terbesar yang masih dipengaruhi oleh animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan Istana yang merupakan tradisi agung yang merupakan unsur filsafat Hindu-Budha yang diperhalus budaya lapis atas. 

Penyebaran Islam di Jawa untuk beberapa abad tidak mampu menembus benteng pengaruh kerajaan Hindu yang kejawen. Penyebaran Islam harus merangkak dari kalangan bawah, yaitu ke daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisir yang pada akhirnya melahirkan komunitas baru yang berpusat di pesantren. 

Watak penetrasi dakwah Islam secara damai dan mengajarkan nilai persamaan (equality) menjadi pemicu Islam mudah diterima kelompok masyarakat kecil. Konsep stratifikasi sosial (kasta) dalam agama Hindu bagi mereka sudah tidak menarik lagi. Oleh karena itu, datangnya Islam membawa pengharapan kepada mereka untuk diperlakukan sama dan terbebas dari struktur sosial yang tidak menguntungkan mereka. Dalam konteks politik, kekuatan Islam lambat-laun menjadi kekuatan politik, yaitu sebagai kekuatan oposisi (counter hegemony) dari kekuasaan kerajaan Hindu-Budha. 

Sejak runtuhnya kerajaan Jawa Hindu Majapahit (1518 M) dan berdirinya kerajaan Islam Demak, maka dimulailah Islam sebagai bagian dari kekuatan politik. Bahkan dalam penilaian para pujangga, berdirinya kerajaan Demak dipandang sebagai jaman peralihan yakni peralihan dari jaman “kabudhan”(tradisi Hindu-Budha) ke jaman “kawalen” (wali). Peralihan ini bukan berarti pembuangan budaya adiluhung jaman Hindu-Budha, namun bersifat pengislaman dan penyesuaian dengan suasana Islam. Peralihan ini melahirkan bentuk peralihan yang berupa “sinkretisme” antara warisan budaya animisme-dinamisme dan unsur-unsur Islam. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam"

Post a Comment