TRATEGI DAN IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PRODUK KELAPA MASA DEPAN
Pertanaman kelapa tersebar diseluruh Kepulauan Indonesia, pada tahun 2010 areal pertanaman kelapa seluas 3,7 juta ha yang terdiri dari perkebunan rakyat (98,14 %), perkebunan besar negara (0,10 %) dan perkebunan besar swasta (1,73%). Produksi kelapa (equivalent kopra) tahun 2010 sebesar 3,26 juta ton yang terdiri dari perkebunan rakyat sebesar 3,18 juta ton, perkebunan besar negara 2,33 ribu ton dan perkebunan besar swasta 80,97 ribu ton (Anonim, 2010).
Penanganan komoditas kelapa melibatkan 7 juta KK atau 35 juta jiwa, suatu serapan tenaga kerja sangat besar dibidang pertanian, namun kondisi ekonomi petani kelapa umumnya memprihatinkan. Survei Cogent (Coconut Germplasm Internasional) tahun 2003, menunjukkan bahwa pendapatan petani kelapa rata-rata 200 $US/tahun, yang dikategorikan miskin.
Rendah produktivitas dan pendapatan petani kelapa disebabkan antara lain penanganan usaha kelapa kurang mendapat perhatian, petani menanam bibit kelapa tanpa melalui seleksi yang memadai, pertanaman kelapa kurang terawat, kurang berkembangan usaha pemanfatan lahan diantara kelapa dengan tanaman sela, dan belum berkembang usaha diversifikasi. Sebaliknya pabrikan memperoleh pendapatan yang menggembirakan, ditandai makin meluas wilayah usaha dan aneka ragam produk yang dikembangkan, walaupun sejak tahun 1992 sampai sekarang, industri kelapa mengalami kekurangan bahan baku sekitar 30-40 % dari kapasitas terpasang.
Komoditas kelapa mengalami kejayaan dengan produk utamanya berbentuk kopra pada periode 1960-1970an, pada masa itu usaha kopra dirasakan sebagai usaha yang sangat menguntungkan. Bahkan koperasi kopra merupakan salah satu koperasi yang sangat berkembang dan menjadi organisasi andalan bagi para petani kelapa pada masa itu. Sejak periode 1980-2010, peran kelapa sebagai sumber bahan baku minyak goreng makin tergeser oleh komoditas kelapa sawit. Periode bulan Pebruari-April 2011, harga kopra makin membaik yakni Rp. 7500-11.000/kg, diharapkan harga kopra sebesar Rp. 7500/kg, akan bertahan untuk jangka waktu yang lama.
Beragam upaya yang dilakukan dan telah membuahkan hasil positif bagi perkembangan agribisnis kelapa, namun masih banyak upaya lain yang perlu dilakukan ke depan, antara lain diperlukan adanya industri pembibitan kelapa yang dapat menjamin pasokan sumber bibit unggul secara massal. Ketiadaan industri pembibitan ini menyebabkan petani dan perusahaan perkebunan kelapa masih menggunakan bibit dari kebunnya sendiri yang produktivitasnya rendah. Kedaan ini mengakibatkan tingkat produksi kelapa rendah (setara 1,29 ton kopra/ha/tahun), dibanding potensi produksi Kelapa Dalam Unggul dapat mencapai 4 ton kopra/ha/tahun. Selain itu, rendahnya dukungan ketersediaan sarana produksi dan alat pengolahan oleh pihak-pihak terkait, penggunaan pupuk yang belum optimal, pengendalian hama dan penyakit tanaman pada tingkat petani, serta belum berkembang kelembagaan yang mengkoordinasi dan mengintegrasi subsistem produksi, pengolahan dan pemasaran.
Pada subsistem pengolahan maupun pemasaran, industri hilir kelapa masih terbatas pada produksi minyak goreng dan produk primer seperti kopra, kelapa parut dan sebagainya. Teknologi pengolahan Virgin Coconut Oil (VCO) yang diketahui menghasilkan produk dengan berbagai manfaat kesehatan, ternyata belum memberikan tambahan pendapatan yang nyata bagi petani. Kondisi yang sama terjadi pula pada pengembangan minyak kelapa sebagai bahan bakar alternatif.
Pengembangan kelapa saat ini diharapkan akan memberi manfaat pada kehidupan petani lebih layak, petani menjadi pelaku agribisnis kelapa, tumbuhnya semangat petani untuk melakukan usahatani yang efisien, terpenuhinya bahan baku untuk pengolahan tingkat kelompok tani/ gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang kontinu dan bahan baku industri pengolahan, dan tumbuh dan berkembangnya kelembagaan petani dalam bentuk kelompok tani/gapoktan untuk memudahkan transfer teknologi dalam pengembangan usahatani dan produk kelapa, pemberdayaan kelembagaan perkebunan dilaksanakan melalui wadah kelompok tani atau gabungan kelompok tani perkebunan, yang memungkinkan kelembagaan kelompok tani berkembang dan memberikan nilai tambah bagi kelompok tani bersama lingkungannya.
ISUE PERKELAPAAN NASIONAL
Isue-isue perkelapaan nasional yang didiskusikan pada Temu Bisnis Perkelapan, Konperensi Nasional Kelapa di Manado Tahun 2010, dapat diuraikan sebagai berikut:
Petani kelapa
(a) Di desa petani membutuhkan peneliti, pakar dan pengusaha, sehingga diperlukan pembinaan langsung, dan petani perlu didukung pemerintah untuk penjaminan dalam pengembangan usahatani dan diversifikasi produk kelapa.
(b) Untuk mempercepat peningkatan produktivitas kelapa untuk menghasilkan buah, diperlukan pengembangan kelapa yang berumur genjah, pendek dan produksi tinggi, diperlukan kajian penanaman kelapa dengan jarak tanam 6 x 16 m. Dalam upaya meningkatkan pendapatan petani kelapa, sebaiknya mengusahakan tanaman sela diantara pertanaman kelapa dengan tanaman sela yang bernilai ekonomi, yang penanganannya secara intensif.
(c) Petani dengan kemampuan terbatas, perlu bersatu dalam wadah kelompok tani/ gapoktan guna memperjuangkan pengembangan produk yang bernilai ekonomi dan perbaikan harga bahan baku/produk olahan petani, sehingga diperlukan pengadaan pilot plant bagi kelompok tani/gapoktan, dan perlu mengamankan wilayah pengembangan kelapa untuk kesinambungan produksi dan meng-optimalkan pelaksanaan program pengembangan.
(d) Upaya peningkatan nilai tambah kelapa melalui usaha diversifikasi, petani perlu dibekali teknologi pengolahan dan sarana pengolahan yang disediakan oleh pemerintah atau lembaga keuangan. Unit pengolahan tersebut dapat dioperasikan dan dikelola kelompok tani/gapoktan, dengan produk yang dihasilkan akan menjadi bahan baku industri kelapa atau dapat dikonsumsi langsung masyarakat.
(e) Petani diarahkankan pada pengembangan pengolahan kelapa terpadu sebagai unit percontohan, yang berlanjut pada pengembangan secara massal dengan produk yang dihasilkan terstandarisasi dan volume produksi memenuhi skala ekonomi, sehingga memudahkan dalam pemasaran produk yang dihasilkan. Setiap desa contoh melakukan pengolahan buah kelapa untuk menghasilkan 7 produk yakni: VCO, blondo, asap cair, arang tempurung, serat, nata de coco, debu sabut. Pada wilayah sentra produksi kelapa minimal ada 3 unit pengolahan kelapa terpadu, agar produksi yang dihasilkan total produksi sebanyak 20 ton atau (satu kontainer uk. 20 ft) untuk setiap 2 minggu, ongkos angkut Rp 6 jt/ kontainer, sehingga biaya pengangkutan menjadi murah yakni Rp. 300/kg.
(f) Petani didaerah yang familiar dengan pengolahan gula kelapa, harus lebih diintensifkan dan ditingkatkan produkstivitasnya, karena harganya cukup tinggi dan menunjang penyediaan bahan baku bagi industri kecap, yang sekarang membutuhkan persediaan yang banyak.
(g) Penentuan harga kelapa (kopra, kelapa butiran) sebagai bahan baku industri dapat mencontohi penetapan harga kelapa sawit yang ditetapkan per minggu. Penetapan ini dilakukan atas kesepakatan antara petani, asosiasi petani, pabrikan/pengusaha dan pemerintah.
Pengusaha/Pabrikan
(a) Pabrikan kelapa yang mengolah produk-produk dari buah kelapa diperhadapkan kekurangan bahan baku (kopra dan kelapa butiran) sebesar 40 % dari kapasitas terpasang, sehingga dukungan petani untuk penyediaan baku sangat diperlukan kerjasama pabrikan dengan petani yang saling menguntungkan yang dituangkan dalam bentuk kontrak kerjasama.
(b) Kelapa rakyat tidak akan maju tanpa dukungan pengusaha/pabrikan, sebaliknya pabrikan tidak akan berkembang tanpa dukungan bahan baku dari petani. Sebaiknya petani bermitra dengan pengusaha, di mana pengusaha sebagai bapak angkat. Sehingga petani dapat berproduksi secara optimal, produksi terserap oleh pengusaha dan pihak pengusaha dapat menunjang penyediaan sarana produksi dan peralatan pengolahan, serta harga yang disepakati bersama kedua pihak. Kondisi ini, dapat mencontohi usaha pengembangan agroindustri kelapa pada PT Riau Sakti di Pulau Guntung dan Pulau Sambu Propinsi Kepulauan Riau.
(c) Untuk menunjang bahan baku kopra yang berkualitas pabrikan (PT. Mangga Dua, Jakarta) akan membantu petani dengan menyediakan copra drier, dengan ketentuan produk yang dihasikan disuplai kepada industri yang bersangkutan dan alat yang serahkan tersebut dipelihara dengan baik oleh petani kelapa.
(d) Produk kecap sudah mendunia, industri kecap seperti PT. Heuse ABC, mengalami kekurangan bahan baku gula kelapa, untuk jangka pendek perlu pengembangan gula kelapa di sentra produksi kelapa, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera.
Pemerintah dan Lembaga Penelitian
(a) Proram Pengembangan kelapa yang disusun Litbang Pertanian dan Ditjen Perkebunan sudah bagus, namun dalam aplikasinya kurang berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, diperlukan Political Will dan adanya Micro Finance approach dalam pengembangan kelapa.
(b) Pengembangan kelapa dapat dibagi dalam dua kelompok, kelompok pertama daerah dengan sarana transportasi yang memadai untuk peningkatan nilai tambah dalam bentuk pengolahan kelapa terpadu. Pada daerah terpencil pemanfaatan produksi kelapa untuk menghasilkan energi, sehingga diperlukan adanya kilang coco diesel (Coco diesel plant ) untuk menghasilkan bahan bakar bagi nelayan, sehingga petani kelapa dan nelayan saling membantu satu sama yang lain.
(c) Diperlukan bantuan pemerintah untuk menata satu daerah sebagai sentra produksi kelapa, agar petani kelapa bersatu dan menjadi kuat, sehingga mampu mandiri, dan dicari areal yang sesuai untuk pengembangan Pilot Plant Industri Hilir atau Hilirisasi Industri Perkelapaan dipedesaan. Diperlukan pembinaan yang efektif dan kontinu terkait dengan proses adopsi teknologi, dan kemitraan yang dilaksanakan adalah Kemitraan Simbiotis dengan kontrol pemerintah.
(d) Direktorat Jenderal Perkebunan, merencanakan peremajaan tanaman kelapa seluas 32.000 Ha (6,4 %) dari total areal yang akan diremajakan yakni 500.00 Ha. Prosentase luas areal peremajaan yang kecil dan tidak nyata jika dikaitkan dengan makin bertambahnya umur tanaman dan penebangan kelapa tua. Sebaiknya peremajaan dengan prosentase minimal 10%/tahun atau 50.000 Ha/tahun, dengan penyediaan benih unggul sebanyak 12,5 juta butir/tahun, yang pengadaannya melalaui industri pembibitan kelapa.
(e) Benih unggul yang dapat disediakan dari kelapa unggul Balai Penelitian Tanaman kelapa dan palma Lain (Balitka) 1,3 juta butir/tahun dan Blok Penghasil Tinggi (BPT) seluas 650 Ha dengan produksi 5,2 juta butir/tahun atau total benih unggul sebesar 6,5 juta butir/tahun, sehingga memerlukan tambahan benih unggul 6,0 juta butir/tahun. Tambahan benih unggul dapat diperoleh melalui pengadaan BPT seluas 750 Ha. Untuk mengatasi pengadaan bibit unggul ini, diperlukan kerjasama Balitka/Puslitbangbun dengan Pemerintah Daerah/Dinas Perkebunan Daerah dan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian.
0 Response to "TRATEGI DAN IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PRODUK KELAPA MASA DEPAN "
Post a Comment