FAKTOR PENENTU PENGEMBANGAN
Petani dan Kelembagaan
Pemberdayaan petani adalah sebagai upaya untuk membangkitkan potensi serta
kemampuan petani kearah peningkatan produktivitas dan efsiensi secara
berkelanjutan. Sasarannya adalah memberikan motivasi dan membangkitkan
kepercayaan masyarakat pada kemampuan sendiri.
Keterbatasan kompotensi yang dimiliki petani (pendidikan, ketrampilan
dan wawasan) serta keterbatasan lahan dan dana menjadi faktor utama, yang harus
dipertimbangkan dalam pemberdayaan petani
(Suryonotonegoro, 2002).
Menurut Suryonotonegoro (2002)
pemberdayaan petani dapat dilakukan
dalam dua tahap, yakni tahap pemulihan dan tahap pengembangan. Tahap
pemulihan, untuk mendidik dan mendorong motivasi petani dalam meningkatkan
produktivitas dan efisiensi pengolahan.
Sehingga petani mampu meningkatkan motivasi dan kepercayaan pada kemampuan
sendiri. Tahap pengembangan, diarahkan untuk mengembangkan usahatani, agroindustri
dan kelembagaan ekonomi. Pada tahap pengembangan diharapkan petani mampu mengembangkan
kelembagaan ekonomi yang mandiri.
Lembaga petani perlu dibangun dengan
tujuan untuk memberikan pelayanan kepada petani-petani yang merupakan
anggotanya, serta melobi pemerintah dalam hal kepentingan pengembangan usaha
pertanian. Melalui lembaga pertanian diharapkan dapat tercipta komunikasi,
sehingga petani dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan dengan lebih baik,
dan hendaknya lembaga/wadah ini, dibangun atas inisiatif petani, sedangkan pemerintah
dan instansi terkait berperan dalam memfasilitasinya.
Teknologi Pengolahan
Teknologi pengolahan hasil pertanian
menjadi produk agroindustri ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah
komoditas. Teknologi untuk agroindustri merupakan pengubahan kimia, biokimia dan/atau fisik
pada hasil pertanian menjadi produk, dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi.
Produk agroindustri ini, dapat merupakan produk akhir yang siap digunakan oleh
manusia ataupun produk yang merupakan
bahan baku industri lain (Mangunwidjaja dan Sailah, 2008).
Diupayakan
penyediaan alat-alat pengolahan, terutama untuk skala kecil-menengah dengan
teknologi inovatif yang diproduksi dalam negeri, dengan kinerja yang memadai. Memproduksi
alat dan mesin pertanian di dalam negeri, maka devisa dapat dihemat, juga membuka lapangan kerja di sektor manufaktur. Pengembangan agroindustri bukanlah sekedar membangun industri dipedesaan,
melainkan menumbuhkan budaya industri, yangi dicirikan dengan disiplin,
orientasi usaha pada benefit, efisiensi
sumber daya dan waktu, kreatif terhadap
adopsi teknologi dan pasar.
Teknologi pengolahan dapat dibagi tiga tingkatan yaitu tradisional,
inovatif dan maju. Teknologi tradisional sudah lama dikenal masyarakat
pedesaan, perlu diperbaiki dengan mengoptimalkan operasi dan memperbesar kapasitas
olah. Teknologi inovatif adalah
pengembangan teknologi yang sudah ada untuk memenangkan persaingan. dirancang
perubahan dan penyempurnaan sistem proses sehingga biaya produksi lebih murah
dan waktu proses lebih singkat. Teknologi maju adalah teknologi proses untuk
menghantarkan perusahaan menjadi market leader, produk yang dihasilkan
merupakan produk baru, baik menurut kualitas maupun spesifikasinya dan
dibutuhkan pasar sehingga dukungan riset secara terus menerus agar posisi
market leader tetap terpelihara (Irawadi, 2000).
Umumnya teknologi pengolahan kelapa tradisional dijumpai pada pengolahan
skala kecil/usaha perajin, contoh pengasapan kopra, pengolahan minyak klentik
secara manual dan pengarangan tempurung menggunakan lubang tanah tanpa betonisasi.
Teknologi inovatif dijumpai pada pengolahan skala menengah dengan sistem proses
sebagaian secara mekanis, yakni pengolahan minyak kelapa semi mekanis dan
pengolahan minyak kelapa murni atau virgin
coconut oil. Sedangkan teknologi maju dijumpai pada pengolahan skala besar,
seperti industri pengolahan minyak kelapa kasar (CCO), minyak goreng yang
dipurifikasi, kelapa parut kering dan karbon aktif.
Modal/Investasi
Modal
atau investasi merupakan faktor
pembatas bagi petani/pengolah dalam pengembangan usahanya. Pemerintah telah
mengambil inisiatif melalui diluncurkannya Skim Kredit Agribisnis dengan suku
bunga 4 % untuk alat dan mesin perkebunan, kredit ini dalam bentuk usaha
individu atau kelompok/koperasi. Dukungan sarana dan prasarana pertanian
termasuk alat dan mesin pertanian serta pembinanan yang kontinu, sangat perlu mendapat dukungan yang memadai dari pemerintah.
Pada awal pengembangan agroindustri
kelapa, tidak memungkinkan dilakukan sendiri oleh petani/ kelompok tani, melainkan
diperlukan dukungan dari berbagai pihak terkait, terutama dengan pemerintah
daerah. Peran pemerintah daerah/instansi teknis dan lembaga keuangan sangat
menentukan. Seirama dengan upaya pengembangan ini, pihak pabrikan memerlukan
penyesuaian agar mampu menyerap produk primer yang dihasilkan petani, sehingga
pengembangan akan berlangsung secara sinergi, berkelanjutan dan menguntungkan
semua pihak terkait.
Pengembangan Produk
Pemanfaatan kelapa oleh petani kebanyakan hanya sebatas penjualan kelapa
butiran dan dalam bentuk hasil olahan umumnya berupa kopra dan minyak klentik.
Usaha atau industri yang mengembangkan produk hilir kelapa yang bernilai
ekonomi cukup tinggi sudah mulai dilakukan, namun masih sangat sedikit dan
belum mampu memanfaatkan sumber daya kelapa, sehingga belum dapat meningkatkan
pendapatan petani atau usaha kecil.
Potensi dan peluang pengembangan berbagai produk kelapa yang bernilai
ekonomi tinggi sangat besar. Potensi kelapa yang sangat besar tersebut
hendaknya dapat dimanfaatkan dengan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan
rakyat. Petani kelapa hendaknya diberi kesempatan untuk menikmati hasil yang
lebih baik, pengusaha disektor hilir didorong untuk berkembang dengan
menyediakan berbagai sarana/ prasarana, fasilitas pembiayaan, aturan yang
mendukung serta perlu dilakukan berbagai upaya untuk membuka peluang pasar.
Alternatif produk yang dapat dikembangkan antara lain virgin coconut oil, kelapa parut kering, coconut milk, arang,
karbon aktif, gula kelapa, serat sabut
dan kayu kelapa (Anonim, 2006).
Efektifnya pembinaan dan pengendalian kegiatan pengembangan dibutuhkan
wadah permanen yakni kelompok tani dengan unit pengolahannya. Peran petani menyediakan bahan baku, mengolah
dan memasarkan produk yang dihasilkan, dengan bimbingan teknis dan manajemen
usaha dari instansi teknis, sehingga petani termotivasi mengembangkan usaha
dengan pola pikir bisnis-komersial.
Menurut Ulrich dan Eppinger (2001)
bahwa pengembangan dikatakansukses jikaproduk yang diproduksi dapat dijual dengan
menghasilkan laba. Lima dimensi spesifik yang berhubungan dengan laba dan
digunakan untuk menilai kinerja usaha pengembangan produk, yakni: (a) kualitas
produk; menentukan berapa besar harga
yang ingin dibayar pelanggan, (b) biaya produk; menentukan berapa besar laba
yang akan dihasilkan oleh unit usaha pada volume penjulan dan harga penjualan
tertentu, (c) waktu pengembangan; akan menentukan kemampuan dalam berkompetisi,
perubahan teknologi, dan kecepatan menerimapengembalian ekonomis dan usaha yang
dilakukan, (d) biaya pengembangan; merupakan komponen yang penting dari investasi untuk mencapai
profit, dan (e) kapasitas pengembangan; merupakan aset mengembangkan produk lebih efektif dan
ekonomis dimasa yang akan datang.
Industri pengolahan berbahan baku kelapa Indonesia masih didominasi
industri primer seperti minyak kelapa,
arang tempurung dan sabut kelapa, yang hasilnya untuk memenuhi kebutuhan
industri lanjutan. Meskipun pasarnya cukup terbuka, industri pemanfaatan kayu
kelapa untuk meubel dan bahan bangunan rumah masih sangat terbatas. Industri
kerajinan/barang souvenir dari tempurung dan kayu kelapa umumnya berkembang
sebagai industri kecil/rumah tangga.
Produk yang dihasilkan ditingkat petani, masih tetap berupa kelapa butiran,
kopra, gula dan minyak klentik. Kondisi pengolahan yang demikian menyebabkan
nilai tambah yang diperoleh tidak maksimal dan tidak memberi peluang petani
untuk ikut menikmati nilai tambah yang tercipta dalam proses pengolahan kelapa.
Industri produk kelapa yang mengalami peningkatan dalam jumlah unit dan
produksi adalah industri pengolahan kelapa parut kering (desiccated coconut), sedangkan industri pengolahan minyak kelapa
kopra dan minyak goreng relatif stabil. Industri yang mengolah hasil ikutan
berupa bungkil untuk pakan ternak, serat sabut dan debu sabut, nata de coco,
arang aktif dan industri meubel kayu kelapa belum optimal dibanding dengan
bahan baku yang tersedia.
Industri kelapa yang sudah eksis sekarang ini perlu dipertahankan dan
dikembangkan, sedangkan industri kelapa yang belum optimal patut mendapat
perhatian yang serius dari semua pihak terkait untuk ditingkatkan kapasitas
olah dan perluasan pasar, agar potensi bahan baku yang tersedia dapat
dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang peningkatan nilai tambah komoditas
kelapa, peningkatan nilai ekspor dan perbaikan pendapatan masyarakat
perkelapaan.
Pengembangan industri pengolahan merupakan prasyarat dalam meningkatkan
nilai tambah dan daya saing perkelapaan nasional, maka perlu dukungan kebijakan
sebagai berikut : (a) penyederhanaan birokrasi perijinan usaha dan investasi
dibidang industri pengolahan produk pada berbagai tingkatan dan skala usaha,
(b) pembukaan akses pembiayaan dengan pemberian skim kredit khusus untuk
pengembangan industri dengan berbagai skala usaha, (c) promosi pengembangan
pengolahan hasil kelapa terpadu guna meningkatkan perolehan nilai tambah, dan
(d) peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan komoditas kelapa dalam
pengolahan dan pemasaran.
Pasar dan Pengendalian Harga
Neraca
ekspor komoditas kelapa selang tahun 2005-2009 mengalami peningkatan dari $
509,7 juta menjadi 856,7 rata-rata 22,3 %/tahun. Keadaan ini menunjukkan bahwa
produksi kelapa masyarakat telah memberikan konstribusi bagi penerimaan devisa
negara yang dapat diandalkan (Anonim,
2010).
PadaTemu Bisnis Perkelapan Konperensi Nasional Kelapa VII di Manado Tahun
2010, bahwa penentuan harga kelapa (kopra, kelapa butiran) sebagai bahan baku
industri dapat mencontohi penetapan harga kelapa sawit yang ditetapkan per
minggu. Penetapan ini dilakukan atas kesepakatan
antara petani, asosiasi petani, pabrikan/ pengusaha dan pemerintah.
Secara historis harga kopra sejak tahun 1950-1967 adalah 1 kg kopra setara
dengan 1 kg. beras Nilon atau Milled Rice Long Grain (sekarang sama
dengan beras Super Win), yang
harganya Rp. 7500-8000/kg.
Pengendalian harga produk
perkebunan, seperti produk kelapa oleh pemerintah yakni jika harga jatuh
pemerintah mengatasinya dengan APBN dan Subsidi. Kebijaksanaan ini telah dilakukan negara tetangga dalam mengatasi permasalahan harga
produk perkebunan, antara lain karet di Malaysia dan kopi di Thailand, yang berdampak Malaysia dan
Thailand menguasai pasar ekspor produk perkebunan unggulan (Uno, 2008).
0 Response to "FAKTOR PENENTU PENGEMBANGAN "
Post a Comment