Pembayaran: Royalty dan Pertimbangan Finansial

Pembayaran: Royalty dan Pertimbangan Finansial.Persoalan keuangan dalam perjanjian lisensi ini mengharuskan adanya keseimbangan antara resiko dan reward. Pembayaran tersebut dapat berupa ikatan timbale balik[1]; lump sum[2]; service fees; equity interest or royalty. Tingkat royalty tidak ditentukan oleh undang-undang, ia merupakan kewajiban licensee atas dasar hubungan kontraktual, dan prinsip keseimbangan[3]


4.5.1.5. Terminologi Tambahan: Arbitrasi dan Ganti Rugi 

Perjanjian lisensi eksklusif juga secara khusus biasanya memuat klausula yang menentukan siapa pihak yang akan melakukan penyelesaian atau penuntutan terhadap paten yang dilanggar. Selain itu, sebagian besar perjanjian lisensi memuat klausula yang berkaitan dengan bagaimana kerugian atau ganti rugi tersebut akan didistribusikan[4]; siapa yang akan bertanggungjawab dalam melindungi dan memelihara patent yang dilisensikan; bagaimana proses hukum dan administrasi dalam menangani sengketa para pihak[5] dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan force majeure[6]


4.5.2. Kontrak: Dasar Hukum bagi Hak dan Kewajiban Para Pihak 

Penandatanganan kontrak ini merupakan momentum lahirnya hubungan hukum diantara para pihak. Pada prinsipnya, hukum yang berkaitan dengan transaksi HAKI –paten- sama dengan transaksi personal property lainnya yang didasarkan atas prinsip-prinsip hukum kontrak. Namun demikian, kontrak yang dibuat tersebut harus sesuai atau tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku[7]. Sebagai contoh, berdasarkan UU Paten Indonesia, kontrak tersebut tidak boleh merugikan perekonomian Indonesia atau menghambat pengembangan teknologi[8]. Oleh karena itu, untuk memudahkan pengawasan, maka kontrak tersebut harus : (i) daftarkan pada Kantor Paten dan (ii) dicatat di Direktorat Jenderal HAKI[9] dengan membayar biaya pemeliharaan[10]

Kontrak merupakan dasar hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Oleh karena itu, ia merupakan kehendak yang dibadankan dalam kontrak tertulis[11] atas dasar praktik bisnis yang wajar dan prinsip keseimbangan dalam upaya menjamin kerjasama yang saling menguntungkan. 

Namun demikian, beberapa lisensor dapat berupaya mengembangkan hak paten mereka dengan jalan memasukkan klausula-klausula tertentu dlam perjanjian tersebut. Di Indonesia, upaya tersebut dilarang berdasarkan pasal 71(1) UU Paten, yang secara tegas mengecualikan setiap tindakan yang dapat merusak atau menghambat perekonomian Indonesia. Sayang sekali ketentuan ini tidak digambarkan secara rinci, seperti di Negara-negara lain, misalnya Australia[12], Jepang, Amerika dannegara maju lainnya. 

Dalam perjanjian lisensi, para pihak harus mengindahkan prinsip-prinsip hukum umum agar dapat menjamin kompetisi yang jujur, fair. Petunjuk umum mengenai hal ini dapat diperoleh dari karya-karya Melville[13] atau rumusan Pugwash[14] atau UNCTAD, Bagian 4[15]. Prinsip umum tersebut dibadankan dalam beberapa ketentuan yang membatasi praktik bisnis tertentu. 

Pembatasan praktek bisnis ini dapat bervariasi, beberapa tipe utamanya, antara lain: (i) klausula mengikat (tying clause)[16] –termasuk tie in[17], dan tie-out[18]-; (ii) price fixing[19]; (iii) package licensing[20], (iv) field of use restrictions[21]and territorial exclusivisity; (v) grant-back provisions[22]; (vi) limitations on transferee with respect to research and development, klausula pengontrolan kualitas, penjualan eksklusif atau perjanjian representation, pembatasan volume produksi, pembatasan ekspor[23], dan pembatasan lainnya.[24]


4.5.3. Paska Kontrak: Pelaksanaan, Pengawasan dan Pengembangan 

Perlindungan hukum terhadap hasil-hasil riset pada tahap paska kontrak ini dapat dilakukan melalui pelaksanaan, pengawasan dan pengembangan. Dalam tahap ini, perldingunan hukum memerlukan peran struktur hukum dalam mengelola paten, seperti pemerintah, dan aparat patent, aparat hukum, polisi, jaksa dan hakim, bahkan para pihak yang terlibat dalam kontrak. Aparat hukum memainkan peranan yang signifikan dalam memelihara dan mengembangkan kontrak lisensi. Dengan demikian, adalah penting untuk memahami kebijakan pemerintah dalam paska kontrak. 

Undang-undang paten memiliki instrument untuk mengontrol terminology-terminologi atau aspirasi para pihak yang dirumuskan dalam kontrak lisensi dengan alasan perlindungan kepentingan publik[25]. UU Paten mengintrodusir sejumlah indicator untuk mengontrol lisensi paten, seperti revokasi, atau pembatalan patent, dan lisensi wajib. Di Indonesia, indicator tersebut didasarkan atas kepentingan public, pertahanan, keamanan, kesehatan dan makanan[26]

Lebih jauh, dalam upaya memberikan perlindungan terhadap dan pengawasan yang efektif, UU Paten mengharuskan agar setiap perjanjian lisensi dicatat pada kantor Paten[27]. Di Indonesia, perjanjian lisensi ini tidak berpengaruh pada pihak ketiga, kecuali ia didaftarkan pada Direktorat Jenderal HAKI dan dicatat dalam buku Patent[28] dengan membayar sejumlah biaya[29]. Sayang sekali, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki aturan yang lengkap dan detail tentang prosedur pendaftaran perjanjian lisensi[30].





Paten, Pasal. 72(3) and 73

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to " Pembayaran: Royalty dan Pertimbangan Finansial "

Post a Comment