Rasionalisasi dan Justifikasi Tekhnis atas Hak Paten
Rasionalisasi dan Justifikasi Tekhnis atas Hak Paten.Saat ini, teknologi sebagai produk paten telah menjadi salah satu komoditi yang paling strategis dalam perdagangan internasional. Ia memainkan peranan yang signifikan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini karena hampir semua kebutuhan manusia dalam abad modern ini berasal dari produk-produk yang lahir dari kemampuan intelektual manusia[1] di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Secara teoritis, Masami Hanabusa mencoba menjustifikasi dan dengan meletakkan dasar rasionalitas keberadaan paten melalui pengidentifikasian beberapa fungsi hukum paten, seperti fungsi kebijakan: (i) tekhnis, (ii) hak milik industri, dan (iii) fungsi kebijakan industrial[2].
Secara tekhnis, hukum paten –dengan standar tertentu- mengevaluasi terciptanya ide tekhnis yang bermanfaat secara industrial, dan memberikan paten, monopoli hukum atau kekuatan hukum yang eksklusif bagi inventor. Hukum paten, pertama menentukan sebuah penemuan apakah ia mengandung kreatifitas atasu tidak, seberapa besar kreatifitas dari ide tekhnis dan juga membangun suatu standar untuk mengevaluasi perubahan dari suatu kreasi sebelumnya (prior art), i.e. kreatifitas[3].
Berdasarkan fungsi hak milik industri, hak untuk mendapatkan paten, hak paten, dan label (branched) atau hak-hak derivatif (derrivatives right), dalam hal ini, pemberian lisensi eksklusif ataupun non eksklusif merupakan basis penting bagi aktifitas industrial dalam masyarakat ekonomi. Oleh karena itu, substansi hak tersebut seharusnya dipublikasikan secara resmi dan dan bentuk atau model prosedurnya harus distandarisasi dalam upaya menjamin keamanan transaksi[4]. Dalam hal ini, hukum paten diperlukan untuk memberikan perlindungan dan pemanfaatan hak dalam upaya memperoleh hak paten. Selanjutnya, berdasarkan fungsi kebijakan industri, hukum paten difungsikan oleh pemerintah untuk (i) melindungi dan memanfaatkan penemuan, dan (ii) mendorong penemuan.
Mengingat pentingnya teknologi dan hubungannya dengan hak ekonomi dan hak asasi manusia, beberapa ahli memformulasikan dan mengkaji rasionalitas dari perlindungan paten. Pada tahun 1950, Fritz Machlup dan Edith Penrose dalam bukunya An Economic Review of the Patent System, mengidentifikasi empat teori yang menjustifikasi perlindungan paten:
(i) natural law[5],
(ii) reward by monopoly[6],
(iii) monopoly-profit- incentive[7], dan
(iv) exchange for secrets[8].
Tampaknya teori tersebut tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu, ia harus diinterpretasi secara simultan. Hal ini disebabkan karena masing-masing teori mengandung keterbatasan –baik secara tekhnis ataupun konseptual- dalam memvalidasi perlindungan HAKI –paten-. Teori Hukum Alam dan Imbalan melalui Monopoli (natural law and reward by monopoly theories) dikritisi, karena kedua teori tersebut hanya memperkuat kepentingan inventor semata yang dapat mengimplikasikan monopoli permanen atau abadi; dan memungkinkan ciptaan yang bebas, mandiri dan menekankan pada ex post facto justice, bukan pada insentif untuk menciptakan sesuatu[9]. Begitu pula, teori incentive by monopoly dan monopoly exchange for secrets' theories lebih menekankan pada kepentingan masyarakat dan insentif semata, bukan pada reward atau imbalan. Selain itu, perkembangan industri yang diadvokasi oleh teori yang terakhir ini sangat tergantung pada keterbukaan rahasia pada penemuan[10].
3.2. Definisi, Pengertian, dan Lingkup Perlindungan
Hukum paten dapat didefinisikan sebagai serangkaian norma yang memberikan perlindungan hukum bagi kreatifitas dan produktifitas manusia yang lahir dari kemampuan intelektualnya di bidang teknologi, mainstream hukum hak milik industri. Terminologi ini mengandung pemahaman dan ruang lingkup yang luas. Ia tidak hanya dapat diterapkan pada bidang industri dan perdagangan saja, tetapi juga bidang pertanian, extractive industries, dan produk-produk manufaktur[11].
Konsep paten menempatkan hak eksklusif sebagai inti dari hak paten. Ia adalah hak monopoli terbatas atas teknologi yang digambarkan dalam dokumen paten, kepada inventor yang pertama kali dan mempublikasikan penemuan yang memberikan kontribusi bagi kemajuan teknologi dan industri[12]. Ia menawarkan monopoli kepada pengembang atas produk atau proses yang bermanfaat. Lebih tepatnya, paten adalah hak eksklusif atau hak hukum untuk mencegah pihak ketiga dari membuat, menggunakan, atau menjual setiap penemuan yang dikonstruksi dalam klaim paten[13]. Secara substansial, hak eksklusif diberikan oleh Negara kepada inventor untuk melaksanakan penemuannya atau memberikan kewenangan kepada orang lain untuk melaksanakannya dalam period waktu tertentu[14]. Hak eksklusif ini memuat prinsip utama paten[15] yang memberikan perlindungan hukum bagi inventor atau pemegang paten untuk melaksanakan penemuannya dalam jangka waktu 20 tahun untuk paten stadar[16] dan 10 tahun untuk paten sederhana[17].
[1] Bandingkan dengan Hiroyuki Mizuno, 1997,”Perspective an Intellectual Property Rights System in the 21 Century” in APEC Intellectual Property Rights Business Conference, JIII, Japan, p.2.
[2] Dalam fungsi kebijakan industri, hukum paten difungsikan oleh pemerintah untuk (i) melindungi dan memanfaatkan penemuan, dan (ii) mendorong penemuan.
[3] Japnese Patent Law, Pasal. 29 and 32; Lihat juga: Hanabusa, Masami, p. 18.
[4] Hanabusa, p.19.
[5] Teori ini memvalidasi penemuan sebagai suatu kekayaan atau kepemilikan (property). Ia mengasumsikan bahwa seseorang yang menemukan sesuatu akan memiliki hak atas penemuannya sebagai suatu kekayaan atau kepemilikan. Akibatnya, setiap pengambilan pemanfaatan atasnya seharusnya dihukum sebagai suatu pelanggaran atas kekayaannya. Lihat: Ricketson, S., 1984, The Law of Intellectual Property, Law Book Company, p.868-869; Blakeney and Mc Keough, J., 1992, Intellectual Property: Commentary and Materials, 2nd edition, The Law Book Company, pp.416-419; Grifith, P.B.C., 1993, Patent Notes 1993, Faculty of Law, University of Technology Sydney, pp.47-48; Ricketson, S., and Richardson, M., 1998, Intellectual Property: Cases, Materials and Commentary, 2nd edition, Butterworths, p. 553-554.
[6] Teori ini memvalidasi pemberian hak kepada penemu atas kontribusinya kepada masyarakat. Adqlah tidak fair dan demikian tidak adil, jika seseorang menggunakan ide penemu tersebut tanpa kompensasi atas waktu dan tenaga kerja yang diinvestasikannya. Lihat:Machlup and Penrose quoted John Stuart Mill in his bokk, Principles of Political Economy (1848; 932): "…the inventor, ought to be both compensated and rewarded… it would be a gross immorality of the law to set every body free to use a person's work without his consent, and without giving him an equivalent". Lihat: Ricketson, S., 1984, The Law of Intellectual Property, Law Book Company, p. 869. Lihat juga: Blakeney and Mc Keough, 1992, 417; Griffith, P.B.C., p. 48; Ricketson, S., and Richardson, M., 1998, Intellectual Property: Cases, Materials and Commentary, 2nd edition, Butterworths, p. 553-554.
[7] Teori ini memberikan insentif kepada inventor. Tujuannya untuk mendorong kegiatan penelitian dan memaksimalisasikan penemuan yang pada gilirannya mengembangkan kegiatan industri. Lihat: Ricketson, S., 1984, The Law of Intellectual Property, Law Book Company, p. 869. Lihat juga: Griffith, P.B.C., 1993, p. 48; Ricketson, S., and Richardson, M., 1998, Intellectual Property: Cases, Materials and Commentary, 2nd edition, Butterworths, pp. 553-554.
[8] Teori ini sama halnya dengan teori insentif pada teori monopoli. Akan tetapi pengembangan industri sangat tergantung pada keterbukaan rahasian atas suatu penemuan. Lihat: Ricketson, S., 1984, p. 869. Lihat: Grifith, P.B.C., 1993, p. 48
[9] Griffith mengidentifikasi beberapa permasalahan dalam teori hukum alam ini, antara lain: (i) semata-mata didasarkan atas kepentingan inventor; (ii) akan berimplikasi pada monopoli yang permanen atau abadi; (iii) memungkinkan penciptaan yang sebebas-bebasnya, tanpa criteria nilai. Sedangkan imbalan (reward) pada teori monopoli memuat beberapa kelemahan: (i) teori ini memberikan ruang yang lebih besar bagi kepentingan inventor, bukan kepentingan masyarakat; (ii) teori ini juga menekankan ex post facto justice, bukan insentif untuk berkreasi; Lihat: Griffith, P.B.C., 1993, Patent Notes, Law School, UTS, p. 48.
0 Response to " Rasionalisasi dan Justifikasi Tekhnis atas Hak Paten "
Post a Comment