Kerangka Hukum bagi Perlindungan Hasil Riset
Kerangka Hukum bagi Perlindungan Hasil Riset. Aturan dan sumber hukum paten ini dapat ditemukan baik pada tataran internasional maupun nasional. Indonesia terikat oleh kewajiban internasional untuk melindungi paten. Pembukaan undang-undang paten menyatakan keanggotaan Indonesia dalam the World Trade Organisation termasuk Trade related on Intellectual Property Rights (TRIPs), The Paris Convention for the Protection of Industrial Property, dan the Patent Cooperation Treaty as consideration to promote the Patent Act[1]. Akibatnya, Indonesia harus menyesuaikan ketentuan nasionalnya dengan perjanjian-perjanjian internasional tersebut[2].
Beberapa ciri yang terdapat dalam system perundang-undangan di Indonesia biasanya difokuskan pada prinsip-prinsip hukum dan cenderung memuat konsep yang umum dan luas. Selain itu, norma-norma tersebut tidak diatur secar rinci, sehingga membuka ruang interpretasi. Begitu pula halnya dengan beberapa perundang-undangan di bidang informasi, pengetahuan dan teknologi di Indnoesia, seperti UU No. 14 Tahun 2001, tentang Paten, UU No.18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kedua undang-undang pokok tersebut belum diikuti oleh aturan pelaksanaan yang rinci tentang pemanfaatan teknologi, seperti alih teknologi, licensing, dan lain-lain.
Oleh karena itu, untuk menjamin keakurasian dan kepastian hukum, pemerintah memberlakukan aturan-aturan pelaksanaan[3] yang menjabarkan isi undang-undang pokok di bidang paten. Hal yang perlu dicermati dalam memberikan perlindungan hukum adalah keluwesan peraturan agar dapat diperbaharui dan dikembangkan terus menerus agar dapat mengakomodir perubahan dan tuntutan masyarakat. Lebih jauh, peranan hakim dalam menafsirkan undang-undang dan aturan pelaksanaannya merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dalam menegakkan system hukum paten secara memadai.
Secara normative dan lebih rinci, kerangka perlindungan hukum bagi hasil-hasil riset yang telah dipatenkan dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 16, 17 dan 19 Undang-undang No. 14 Tahun 2001. Dari pasal-pasal tersebut terlihat jelas bahwa system paten di Indonesia selain memberikan hak dan kewenangan penuh pemegang paten untuk membuat, menjual, mengimpor, menyerahkan, memakai, menyediakan untuk dijual atau disewakan[4], juga memberikan hak untuk melarang orang lain untuk membuat atau mengimpor produk yang dipatenkan ke dalam wilayah dimana produk itu telah dipatenkan atau diproduksi[5].
Dalam hal terjadinya pelanggaran, sebuah paten dikatakan telah dilanggar, jika seseorang menggunakan atau memanfaatkan hak eksklusif si pemegang paten. Undang-undang Paten Indonesia menempatkan hak eksklusif ini sebagai isu inti dalam hal terjadinya pelanggaran. Pasal 16 UU Paten Indonesia memberikan inventor hak eksklusif untuk mengeksploitasi invensinya dan mengalihkan atau mengkuasakan kepada orang lain untuk mengeksploitasinya. Berdasarkan undang-undang, terminology eksploitasi ini mencakup produk[6] dan proses paten.[7]
Salah satu tahapan yang paling krusial dalam konteks ini adalah tahapan dalam menentukan pelanggaran. Pertama, mengidentifikasi dan mengenal isi dan deskripsi dari penemuan tersebut, selanjutnya dari deskripsi tersebut, kita dapat memutuskan apa atau bagian mana atau unsur apa dari paten yang dilanggar. Oleh karena itu, seorang pemegang paten harus merinci spesifikasi yang rinci[8] dari penemuan tersebut unsure yang dilindungi dari invensi tersebut menjadi lebih jelas. Konstruksi klaim dalam spesifikasi tersebut harus dinyatakan secara detail dan jelas. Setiap bagian dari klaim yang dinyatakan seharusnya dirumuskan dalam kata-kata yang jelas dan akurat (fairly based on the matter described)[9], karena klaim merupakan bagian dari aplikasi, yang menjelaskan inti invensi yang harus dilindungi[10]. Tahapan terpenting dalam menentukan pelanggaran paten adalah bagaimana mengkonstruksi makna dari klaim yang bersangkutan dan kemudian dibandingkan dengan tindakan yang dinyatakan atau dituduhkan dalam pelanggaran tersebut. Dengan demikian ia dapat dilihat apakah tindakan tersebut masuk ke dalam makna yang dimaksud dalam klaim tersebut.[11]
Dalam menguji pelanggaran, sebuah klaim diinterpretasikan dalam konteks yang paling luas.[12] Ini berarti, bahwa klaim tidak semata-mata mengacu pada kata-kata yang lengkap, tetapi juga mempertimbangkan essensi atau tujuan dari klaim tersebut.[13] Konsep spesifikasi ini pertama kali diinspirasi oleh Lord Diplock dalam Catnic Components Ltd v Hill and Smith Ltd[14] , yang menegaskan pentingnya beberapa elemen substansial, seperti: (i) kata-kata klaim yang diuji oleh para ahli dalam bidang yang terkait[15], (ii) invensi utama yang berkaitan dengan klaim, (iii) spesifikasi yang tidak hanya memuat detail invesi, tetapi juga tujuan dari konstruksi paten. Lebih jauh, dari kasus the Clarkv Adie (1877) 2 App Cas 315, kita dapat mempelajari bahwa terdapat tiga cara dalam menentukan pelanggaran: (i) dimana keseluruhan spesifikasi itu digunakan; (ii) dimana substansi atau 'pith and marrow' dari invensi tersebut digunakan; dan (iii) dimana subordinate invensi dapat terjadi dalam invensi yang besar[16].
[1] Lihat juga: Pasal. 107 (1). Applications may be filed through the Patent Cooperation Treaty. Procedures and requirements are regulated by Government Regulation: art. 107 (2).
[2] Penjelasan UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, p.1.
[3] Peraturan pelaksanaan mencakup:
· Peraturan Pemerintah No.32 of 1991, dated June 11, 1991, tentang Impor Bahan mentah dan produk tertentu yang dilindungi paten untuk produksi obat dalam negeri.
· Peraturan Pemerintah No.33 of 1991, June 11, 1991, tentang Pendafataran Khusus Konstultan Paten
· Peraturan Pemerintah No.33 of 1991, June 11, 1991, tentang Prosedur Permohonan Paten.
· Keputusan Menteri Kehakiman No. M.01-HC.02.10, 1991, 31 July, 1991, tentang Paten Sederhana
· Keputusan Menteri Kehakiman No. M.02-HC.02.10 of 1991, July 31, 1991, tentang Pelaksanaan Publikasi Paten
· Surat Edaran Meneteri Kehakiman No. M.03-HC.02.10 of 1991, 2 Agustus, 1991, tentang Pembayaran untuk Permohonan Paten , Pembaharuan Paten, pemeriksaan substantive, dan biaya tambahan untuk untuk kelebihan klaim (SE ini telah ditarik dan diganti dengan Keputusan Menteri Kehakiman)
· Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04-HC.02.10 of 1991, September 10, 1991, tentang Keadaan, Batas Waktu, dan Administrasi Pembyaran Paten
· Keputusan Menteri Kehakiman No. M.05-HC.02.10, 1991, 3 September, 1991, Tentang Tatacara Pendaftaran Konsultan Paten
· Keputusan Menteri Kehakiman No. M.06-HC.02.10 of 1991, 22 Oktober 1991, tentang Tatacara Pengjuan Permohonan Paten (1991 Decicion on Patent Application)
0 Response to "Kerangka Hukum bagi Perlindungan Hasil Riset "
Post a Comment