SKRINING KELAINAN KONGENITAL
Suatu skrining
bertujuan mendeteksi risiko untuk
mendapat penyakit pada populasi yang asimptomatik. Skrining kelainan kongenital
dan genetik menjadi semakin penting dan kompleks sejak diperkenalkannya
amniosentesis pada tahun 1969. Sejumlah faktor harus dipertimbangkan apabila
akan melakukan program skrining kelainan genetik, di antaranya prevalensi
penyakit pada populasi yang bersangkutan, beratnya penyakit, sensitivitas dan
spesifisitas, dan biaya/kerugian.1
Masalah kerugian, bukan hanya dalam
konteks finansial semata, tetapi sama pentingnya mempertimbangkan kerugian
manusiawi (human costs). Walaupun program skrining ini dapat memberi
keyakinan pada ibu hamil yang diperiksa, namun di sisi lain dapat menimbulkan
kecemasan bila dikemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang abnormalitas.
Konsekuensi terjadinya kekeliruan dalam diagnosis, baik positif dan negatif,
seluruhnya menuntut pertimbangan yang teliti dan hati-hati.1
Pada awal 1970an, metode yang paling pertama
diperkenalkan untuk skrining trisomi 21, berdasarkan hubungannya dengan
meningkatnya usia ibu di atas 35 tahun. Namun oleh karena kemungkinan risiko
abortus akibat tindakan amniosentesis dan implikasi finansialnya, tindakan diagnosis
prenatal tidak dapat diberlakukan pada semua populasi ibu hamil. Secara
bertahap, tindakan amniosentesis sudah mulai meluas dan nampaknya cukup aman,
sehingga prosedur ini diperkenankan pada usia di atas 35 tahun, pada kelompok
berisiko tinggi.2
Pada akhir
1980an, diperkenalkan metode baru dalam skrining yang tidak hanya
mempertimbangkan umur ibu, tetapi juga konsentrasi berbagai produk
fetoplasental dalam sirkulasi maternal. Pada usia kehamilan 16 minggu dilakukan pemeriksaan kadar serum maternal
median untuk alfa fetoprotein (AFP), estriol tidak terkonyugasi (uE3), human
chorionic gonadotropin (hCG) (total dan free-β) and inhibin-A
untuk trisomy 21, cukup efektif
dibanding hanya berdasarkan hanya pada usia ibu, pada tingkat yang sama dengan
pemeriksaan invasive, kurang lebih dapat mengidentifikasi janin dengan trisomi
21 sampai 50-70%.2
Pada tahun 1990an,
skrining kombinasi usia ibu dan ketebalan fetal nuchal translucency (NT)
pada umur kehamilan 11-13+6 minggu diperkenalkan. Metode ini dapat mendeteksi
kurang lebih 75% janin yang menderita untuk angka positif skrining sekitar 5%.
Selanjutnya, usia ibu dikombinasi dengan fetal NT dan biokimiawi serum ibu (free
b-hCG dan pregnancy associated plama protein A, PAPP-A) pada
trimester pertama dapat mendeteksi 85-90% janin yang menderita. Lebih jauh
lagi, pengembangan teknik baru dalam pemeriksaan biokimiawi, dalam 30 menit
setelah pengambilan darah, memungkinkan untuk memperkenalkan “one-stop clinic”
untuk penilaian risiko. Pada tahun 2001, ditemukan 60-70% janin dengan trisomi
21 pada pemeriksaan tulang nasalnya negatif pada umur kehamilan 11-13+6 minggu.
Hasil awal ini akan meningkatkan angka deteksi pada trimester pertama yang
dikombinasi dengan biokimiawi serum ibu, sampai lebih dari 95%.2
0 Response to "SKRINING KELAINAN KONGENITAL"
Post a Comment