Telaah Kebijakan Bantuan Sosial


Bagaimana cara Telaah Kebijakan Bantuan Sosial ?. Sebagaimana telah disampaikan pada laporan studi sebelumnya, bahwa bantuan sosial merupakan salah satu skema perlindungan sosial, di mana negara memberikan bantuan baik dalam bentuk tunai maupun dalam bentuk non tunai kepada setiap warga negara yang mengalami risiko sosial-ekonomi yang menyebabkannya tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup pangan, sandang, papan, kesehatan maupun pendidikan. Di Indonesia, bantuan sosial oleh Pemerintah kini mulai mencakup pemberdayaan penerima bantuan sosial untuk mandiri yang diberikan dalam bentuk bimbingan, rehabilitasi dan pemberdayaan yang bermuara pada kemandirian PMKS. Diharapkan setelah mandiri mereka mampu membayar iuran untuk masuk mekanisme asuransi sosial. 

Kearifan lokal dalam masyarakat juga telah lama dikenal berupa upaya-upaya kelompok masyarakat, baik secara mandiri, swadaya, maupun gotong-royong, untuk memenuhi kesejahteraan anggotanya melalui berbagai upaya gotong-royong, usaha bersama, arisan, dan sebagainya. Kearifan lokal akan tetap tumbuh sebagai upaya tambahan sistem jaminan sosial karena kearifan lokal tidak mampu menjadi sistem yang kuat, mencakup rakyat banyak, dan tidak terjamin kesinambungannya. Masyarakat harus diajak memahami akan kekurangan kearifan lokal dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar yang layak, sesuai standar kehidupan yang terus berkembang, dan memahami keterbatasan kearifan lokal untuk program jangka panjang dan bersaing dengan dunia internasional. Namun demikian, kerarifan lokal sangat bermanfaat sebelum terbentuknya sistem jaminan sosial formal yang kuat dan mencakup seluruh penduduk dan sebagai tambahan perlindungan bagi yang menghendaki manfaat yang lebih tinggi dari standar kebutuhan dasar layak nasional. 

Pemerintah mendorong tumbuhnya swadaya masyarakat guna memenuhi kesejahteraannya dengan menumbuhkan iklim yang baik dan berkembang. Namun demikian, pemerintah harus bisa meyakinkan rakyat bahwa kearifan lokal saja tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam jangka panjang, agar tidak terjadi resistensi untuk mengikuti program nasional. Oleh karenanya, selain mendorong tumbuhnya upaya swadaya masyarakat, pemerintah memberikan insentif dan bimbingan agar sistem lokal dapat diintegrasikan ke dalam sistem jaminan sosial nasional. 

Kebijakan bantuan sosial bagi penduduk miskin sudah lama dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan tersebut mencakup berbagai sektor dan dilakukan oleh berbagai instansi. Beberapa sektor yang selama ini terlibat dalam pemberian bantuan sosial kepada penduduk miskin antara lain adalah sektor sosial, sektor kesehatan, sektor pendidikan, dan sektor pertanian. Di samping itu, beberapa sektor lain juga memberikan bantuan bagi penduduk miskin yaitu sektor ketenagakerjaan, sektor kependudukan, sektor koperasi dan UKM. 

Dana yang diperlukan bagi pelaksanaan berbagai program bantuan sosial bagi penduduk miskin relatif cukup besar, mencapai belasan triliun rupiah setiap tahunnya. Untuk tahun anggaran 2002-2004 belanja program pengentasan kemiskinan yang dikeluarkan berkisar antara Rp 12,8 triliun sampai Rp 18,8 triliun per tahun untuk berbagai sektor. Jika dibandingkan dengan total belanja tahun 2004 maka pengeluaran untuk penduduk miskin mencapai 5% dari total belanja pemerintah, relatif tidak banyak. Dengan jumlah dana yang cukup besar nilainya, maka perlu dipikirkan agar dana tersebut dapat menurunkan jumlah penduduk yang miskin dengan cara pemberian kail ketimbang ikan. 

Selama ini, bentuk program bantuan sosial bervariasi dalam bentuk pemberian kartu sehat, subsidi tarif pelayanan kesehatan, bantuan penyediaan obat di fasilitas kesehatan, pemberian makanan tambahan, pemberian beasiswa kepada siswa SD-SLTA, pemberian dana bantuan operasional kepada sekolah, pemberantasan buta huruf, dan penanganan para penyandang masalah kesejahteraan sosial seperti anak terlantar, lansia terlantar, tuna susila, korban napza, penyandang cacat, korban bencana, pemberian bantuan beras miskin dan sebagainya. Bantuan yang diberikan tersebut pada umumnya bersifat ad hoc untuk mengatasi masalah akut pemenuhan kebutuhan dasar fisik penduduk. Pemberian bantuan sosial yang bersifat pemberdayaan kemampuan ekonomi masih relatif sedikit, sehingga menimbulkan berbagai kritik dan kekhawatiran akan kesinambungan program dan kemampuan penduduk untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. 

Selama ini program bantuan sosial yang menyeluruh belum dilakukan di Indonesia. Penanganan bantuan sosial yang dilakukan oleh pemerintah selama ini masih terbatas, baik dalam cakupan sasaran maupun dalam bentuk bantuan sosial yang diberikan. Menurut ILO, sebelum krisis tahun 1997 hanya sedikit pengeluaran pemerintah pusat Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai bantuan sosial. Pengeluaran pemerintah di bidang sosial dikonsentrasikan pada pengeluaran pembangunan yang tidak langsung dinikmati penduduk yang memerlukan bantuan sosial, terutama dalam bentuk pembangunan pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, walaupun bidang-bidang yang dibiayai tersebut pada akhirnya memberikan keuntungan bagi kelompok-kelompok berpenghasilan rendah. 

Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam bentuk Jaring Pengamanan Sosial (JPS) yang dimulai setelah krisis ekonomi tahun 1997 sebagian besar merupakan tanggapan yang bersifat ad hoc terhadap munculnya kembali kemiskinan secara “tiba-tiba” akibat krisis. Dalam beberapa aspek, langkah-langkah tersebut tampak dilaksanakan dengan persiapan manajemen yang kurang memadai dan penyelenggaraannya tidak merata. Masalah-masalah yang sering dilaporkan, misalnya mekanisme penyaluran administratif JPS, masalah tata kelola, dan besarnya kebocoran dari bantuan yang diberikan kepada kelompok-kelompok sasaran. Namun demikian, upaya responsif terhadap meningkatnya angka kemiskinan merupakan suatu upaya yang patut dihargai dan didukung agar pelaksanaanya terus diperbaiki dan menjadi suatu sistem yang bersifat tetap. Krisis tahun1997 dapat dikatakan merupakan suatu titik balik bagi keterlibatan pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan. 

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan pelaksanaan bantuan sosial yang teridentifikasi diantaranya adalah: 

a) ketidaktepatan sasaran; 

b) pelaksanaan yang tidak sesuai prosedur; 

c) masyarakat yang tidak memahami hak dan tanggung-jawabnya; 

d) koordinasi dan sinkronisasi program antarinstansi; 

e) kerangka hukum yang melandasi; 

f) besarnya dana yang diperlukan; dan 

g) kesinambungan dan kecukupan pendanaan. 



Selanjutnya, pertanyaan yang muncul antara lain adalah: 

a) Apakah kebijakan bantuan sosial yang akan dilakukan ke depan tetap menggunakan mekanisme seperti sekarang yang lebih bersifat ad hoc (insidental) atau dilembagakan secara permanen setiap tahunnya? 

b) Apakah lembaga yang menangani bantuan sosial disebar menurut instansi sektoral atau disatukan dalam lembaga baru yang khusus menangani bantuan sosial? 

c) Apakah dana bantuan sosial sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat atau ditanggung bersama dengan pemerintah daerah? 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas patut direnungkan mengingat, pertama, penanganan bantuan sosial selama ini lebih bersifat ad hoc oleh banyak instansi sehingga sering terjadi tumpang tindih. Departemen Sosial yang tugas dan fungsinya mengelola bantuan sosial dari pemerintah memiliki peran yang terbatas. Departemen Sosial hanya memberikan bantuan sosial kepada mereka yang disebut sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang daya cakupnya juga terbatas. Padahal yang memerlukan bantuan sosial sesuai dengan pengertian di atas tidak hanya yang dikategorikan sebagai PMKS tetapi penduduk lain yang juga rentan terhadap berbagai risiko sosial. Kedua, perubahan tata pemerintahan sebagai akibat otonomi daerah telah merubah secara bermakna baik bentuk, fungsi maupun kewenangan kelembagaan yang menangani bantuan sosial. Peran pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/kota) dalam mengelola berbagai program pembangunan yang berbentuk pelayanan langsung kepada masyarakat di daerahnya jauh lebih besar dari sebelumnya. Sementara di sisi lain kemampuan daerah sangat bervariasi sehingga jika kewenangan dan tanggungjawab diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah, akan terjadi ketidakadilan sosial yang bertentangan dengan konstitusi dan tujuan pendirian negara. Dengan kondisi tata pemerintahan seperti itu, maka pengelolaan bantuan sosial khususnya bagi penduduk miskin perlu dibahas secara jelas dalam kerangka kewenangan pemerintah pusat dan daerah. 

Selain itu, kelembagaan pengelolaan bantuan sosial perlu ditetapkan dan dikoordinasikan oleh satu instansi yang memang memiliki tugas dan kewenangan utama mengelola bantuan sosial. Dalam hal ini, Departemen Sosial merupakan lembaga yang dinilai tepat. Namun demikian, kapasitas dan kemampuan aparat di lembaga tersebut perlu diperkuat sesuai dengan beban program yang semakin besar. 

Selanjutnya, koordinasasi dan sinkronisasi program antarinstansi juga perlu ditingkatkan untuk menghindari seminimal mungkin terjadinya tumpang tindih antar satu instansi dengan instansi lain. Sebagai contoh, program pembinaan “kelompok usaha bersama” (KUBE) diselenggarakan oleh beberapa instansi seperi oleh Departemen Sosial, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Pendidikan Nasional, dan sebagainya. Oleh karena itu dalam pelaksanaan bantuan sosial harus ditetapkan satu kementrian (instansi) yang menjadi leading sector yang dapat melakukan sinkronisasi dan koordinasi antarinstansi sehingga tidak terjadi tumpang tindih. 

Selama ini berbagai pelaksanaan program bantuan sosial yang dilakukan oleh masing-masing instansi mengacu pada undang-undang atau peraturan tertentu yang seolah-olah hanya berlaku bagi instansi masing-masing. Pelaksanaan program bantuan sosial di sektor kesehatan mengacu pada UU Kesehatan, bantuan sosial di sektor pendidikan mengacu ke UU Pendidikan, bantuan sosial di sektor sosial mengacu pada UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial dan UU No 25 Tahun 2000, dan sebagainya. Belum ada UU yang mengatur secara keseluruhan tentang bagaimana perlindungan sosial dilaksanakan oleh semua instansi yang terkait. Sementara itu, program jaminan sosial yang bersifat formal telah mulai diatur oleh satu UU yang mensikronkan pelaksanaannya yaitu dengan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Penetapan apakah seluruh program bantuan sosial harus diatur oleh satu UU terpadu dan diselenggarakan atau dikoordinir oleh satu instansi harus melalui suatu kajian kelayakan, efisiensi, efektifitas, dan kesiapan daya dukung personil di berbagai daerah. 

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Telaah Kebijakan Bantuan Sosial "

Post a Comment