Cara Telaah Kebijakan Jaminan Sosial


Bagaimana cara Telaah Kebijakan Jaminan Sosial?.Dari tiga pilar perlindungan sosial, jaminan sosial yang bertumpu pada asuransi sosial dan tabungan wajib merupakan prioritas dalam mengembangkan perlindungan sosial secara menyeluruh. Pengalaman berbagai negara menunjukan bahwa, program jaminan sosial selain dapat memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat, jaminan sosial juga menjadi penggerak pembangunan ekonomi. Akhir-akhir ini bermunculan kesadaran baru yang membuktikan bahwa jaminan sosial makin diperlukan mengingat kondisi perekonomian global maupun nasional sedang mengalami berbagai krisis yang mengancam kesejahteraan dan produktivitas rakyat. Krisis telah mengakibatkan masyarakat kehilangan pekerjaan, berkurangnya pendapatan, dan kehilangan kesejahteraan yang menjadi haknya. Di samping itu, penghasilan masyarakat akan berkurang karena menderita penyakit atau memasuki usia lanjut. Jaminan sosial dapat diandalkan sebagai upaya penyelamat dari berbagai risiko tersebut bagi rakyat secara individu dan bagi negara. 

Adanya perlindungan terhadap risiko sosial ekonomi melalui asuransi sosial dapat mengurangi beban negara (APBN) dalam penyedian dana bantuan sosial yang dapat digunakan untuk menyediakan sarana dan program yang lebih produktif. Melalui prinsip kegotong-royongan, mekanisme asuransi sosial merupakan sebuah instrumen negara yang kuat dan digunakan di seluruh negara maju dalam menanggulangi risiko sosial ekonomi yang setiap saat dapat terjadi pada setiap warga negaranya. 

Dari aspek ekonomi makro, program jaminan sosial nasional adalah suatu instrumen yang efektif untuk memobilisasi dana masyarakat dalam jumlah besar dan berlangsung terus-menerus, yang sangat bermanfaat untuk membiayai program pembangunan dan kesejahteraan bagi masyarakat itu sendiri. Selain memberikan perlindungan melalui mekanisme asuransi sosial, dana jaminan sosial yang terkumpul dapat menjadi sumber dana investasi yang memiliki daya ungkit besar bagi pertumbuhan perekonomian nasional. Dilihat dari aspek dana, program ini merupakan suatu gerakan tabungan nasional yang berlandaskan prinsip solidaritas sosial atau kegotong-royongan. Banyak negara memulai penyelengaraan jamian sosial setelah mengalami krisis ekonomi yang berat dimana kebutuhan kegotong-royongan sangat dibutuhkan. 

Amerika Serikat mengembangkan jaminan sosial pada masa pemerintahan presiden Roosevelt (1935) setelah negara tersebut mengalami depresi ekonomi yang sangat hebat pada tahun 1932. Jerman memperkenalkan asuransi sosial semasa pemerintahan Otto Von Bismarck (1883) dimana perlindungan tenaga kerja sangat dibutuhkan untuk menjamin produksi berjalan lancar di era awal industrialisasi Jerman. Kedua negara maju tesebut memperoleh manfaat besar dari penyelenggaraan jaminan sosial yang dikembangkan pada waktu kedua negara tersebut sedang menghadapi resesi ekonomi. Manfaat besar dari dana yang terhimpun juga dinikmati negara berkembang yang telah menyelenggarakan jaminan sosial secara konsisten dan mencakup seluruh pekerjaan sektor formal. Malaysia telah berhasil memupuk Tabungan Nasional dari Dana Jaminan Sosial (Employee Provident Fund, EPF) senilai US$ 90 miliar. Kekuatan dana asuransi sosial inilah, antara lain, yang menyelamatkan Malaysia dari krisis mata uang pada tahun 1998. 

Di Indonesia sebenarnya telah ada beberapa program jaminan sosial yang diselenggarakan dengan mekanisme asuransi sosial dan tabungan sosial. Namun kepesertaan program tersebut baru mencakup sebagian kecil dari masyarakat yang bekerja di sektor formal. Sebagian besar lainnya, belum memperoleh perlindungan sosial karena berbagai faktor seperti kesadaran pengusaha, penegakan hukum, kesadaran pegawai, manajemen yang belum meyakinkan, dan kondisi makro ekonomi, hukum dan sosial yang belum menunjang. Selain itu, program-program tersebut belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan yang adil bagi peserta dan manfaat yang diberikan kepada peserta masih belum memadai untuk menjamin kesejahteraan mereka. 

Di sektor informal, penyelenggaraan jaminan sosial formal memang sulit dilakukan. Karenanya, tidak heran jika saat ini program jaminan sosial formal belum menyentuh penduduk di sektor informal. Tenaga kerja di sektor informal yaitu tenaga kerja di luar hubungan kerja, seperti nelayan, petani dan pedagang sayur, kios, pedagang sate, baso, gado-gado, warteg, dll, sampai saat ini belum mempunyai sistem perlindungan yang handal. Hanya sebagian kecil dari mereka yang telah memperoleh perlindungan sosial dalam bentuk bantuan sosial. Pada tahun 2005 Pemerintah telah memberikan jaminan kesehatan, yang merupakan kebutuhan paling mendasar untuk berproduksi, bagi sekitar 60 juta penduduk—yang umumnya adalah mereka yang berada di sektor informal. 

Sebelum tahun 2004, undang-undang yang secara khusus mengatur jaminan sosial dan mencakup program yang lebih lengkap adalah UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Program Jamsostek mencakup empat perlindungan yaitu jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan santunan akibat kematian alamiah. Program tersebut dikelola oleh PT Jamsosotek. Sampai saat ini penyelenggaraan Jamsostek baru mencakup sekitar 12 juta peserta aktif dari sekitar 31 juta tenaga kerja di sektor formal (Standing, 2000). 

Selain PT Jamsostek, beberapa Badan Penyelenggara telah melaksanakan program jaminan sosial secara parsial sesuai dengan misi khususnya. Program Jaminan Kesehatan Pegawai Negeri dikelola oleh PT Askes. Pegawai Negeri, pensiunan pegawai negeri, pensiunan TNI-POLRI, Veteran, dan anggota keluarga mereka menerima jaminan kesehatan yang dikelola oleh PT Askes berdasarkan PP No. 69 Tahun 1991. 

Selain jaminan kesehatan, pegawai negeri sipil juga memperoleh Jaminan Hari Tua dan Pensiunan Pegawai Negeri yang dikelola oleh PT Taspen. Program Tabungan Pensiun (TASPEN) berdasarkan PP No. 26 Tahun 1981. Anggota TNI-POLRI dan PNS Departemen Pertahanan mendapat jaminan hari tua, cacat, dan pensiun melalui program ASABRI berdasarkan PP No. 67 Tahun 1991. Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI, anggota POLRI dan PNS Departemen Pertahanan memperoleh jaminan pensiun melalui anggaran negara (pay as you go). Dengan demikian sebagian besar program pensiunan pegawai negeri, TNI, dan Polri tidak didanai dari tabungan pegawai sehingga sangat bergantung pada anggaran belanja negara. Kontribusi pemerintah, dari APBN, untuk dana pensiun pegawai negeri, tentara, dan anggota polisi yang merupakan suatu bentuk tunjangan pegawai atau employment benefits—akan terus membengkak dan memberatkan APBN, jika tidak ditunjang dengan peningkatan iuran dari pegawai. Selain itu, tidak adil jika dana APBN yang berasal dari pajak akan tersedot dalam jumlah besar bagi pendanaan pensiun pegawai negeri, tentara dan anggota polisi saja. Penyelenggara dana pensiun yang adil dan memadai yang didanai bersama (bipartite) antara pekerja sendiri dan pemberi kerja, terlepas dari status pegawai negeri atau swasta atau usaha sendiri (self employed) merupakan sebuah sistem yang lebih berkeadilan dan lebih terjamin kesinambungannya. 

Cakupan beberapa skema jaminan sosial yang ada (Akses, Taspen, Asabri, Jamsostek) baru dinikmati oleh 12 juta tenaga kerja yang kini aktif sebagai peserta PT Jamsostek dari 100,8 juta angkatan kerja (BPS,2003). Sedangkan jaminan kesehatan berbasis dana peserta melalui iuran wajib baru mencakup 7,8 juta tenaga kerja formal yang mencakup sekitar 19 juta penduduk, termasuk anggota keluarga. 

Di negara-negara tentangga, kepesertaan tenaga kerja yang memperoleh jaminan sosial sudah mencakup seluruh tenaga kerja formal. Dalam program asuransi kesehatan sosial dengan pendanaan publik, Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Thailand dan Philipina karena baru menjamini 9 (sembilan) persen dari jumlah penduduknya. Sedangkan dalam program jaminan hari tua/asuransi, jaminan sosial di Indonesia baru mencapai maksimal 20 persen dari total pekerja di sektor formal. Thailand telah menjamin seluruh penduduknya, sehingga tidak ada lagi penduduk rentan yang tidak memiliki jaminan kesehatan. 

Beberapa hasil penelitian menunjukkan, bahwa rendahnya cakupan kepesertaan program jaminan sosial sekarang ini terjadi karena program tersebut belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan yang adil bagi para peserta, dan manfaat yang diberikan kepada peserta juga belum memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak (Thabrany dkk, 2000). Selain itu, program jaminan sosial di Indonesia belum mampu meningkatkan pertumbuhan dan menggerakan ekonomi makro karena porsi dana jaminan sosial terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih sangat kecil, yaitu sekitar 1 (satu) persen PDB (Purwoko, 2001). 

Dari berbagai permasalahan yang berkembang saat ini, kendala utama pengembangan program jaminan sosial di Indonesia dapat diidentifikasi sebagai berikut: 

a) pelayanan dari lembaga jaminan sosial yang ada belum berjalan sebagai mana mestinya, baik dari segi besaran manfaat yang diterima maupun dari segi prosedur perolehan manfaat oleh peserta; 

b) pengelolaan administrasi dan pelayanan kurang efesien dan kurang baik yang menyebabkan sering terjadinya keluhan peserta dan rendahnya kepuasan peserta; 

c) program jaminan sosial belum didukung oleh perangkat penegak hukum yang konsisten, adil dan tegas, sehingga belum semua tenaga kerja memperoleh perlindungan yang optimal; 

d) adanya intervensi pejabat pemerintah, bahkan partai politik, terhadap penggunaan dana program jaminan sosial yang ada yang berdampak pada kurang optimalnya manfaat program dan menimbulkan keresahan dan rasa tidak puas di kalangan para peserta; dan 

e) seluruh badan penyelenggara jaminan sosial yang ada merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Persero yang harus mencari laba dan menyetorkan deviden ke Pemerintah dan bukan memaksimalkan manfaat sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. 

Untuk menjawab kendala tersebut di atas, sesungguhnya sudah dimulai upaya perbaikan yaitu melalui Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN Nomor 40 Tahun 2004) yang sudah disahkan tanggal 19 Oktober 2004. Dalam UU tersebut program jaminan sosial diperluas menjadi lima program yaitu: (a) jaminan kesehatan; (b) jaminan kecelakaan kerja; (c) jaminan hari tua; (d) jaminan pensiun; dan (e) jaminan kematian (Pasal 18). Tonggak penting yang mengubah tatanan perlindungan sosial di Indonesia adalah upaya perluasan jaminan kepada penduduk rentan dan penduduk miskin yang secara tegas dinyatakan, bahwa Pemerintah membayar iuran untuk penduduk miskin dan tidak mampu (Pasal 14). Pada tahap pertama, bantuan iuran yang dibayar oleh Pemerintah diberikan untuk program jaminan kesehatan yang di tahun 2005 sudah diberikan kepada 60 juta penduduk, yang terdiri atas 34,1 juta penduduk miskin dan sisanya diberikan kepada penduduk rentan. 

Pada hakikatnya UU SJSN telah meletakan dasar untuk penataan sistem perlindungan sosial yang menyeluruh dan menyatu dengan tidak membedakan pelayanan (non diskriminasi) atas dasar status sosial-ekonomi. Sebagai contoh, dengan mengintegrasikan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dan penduduk rentan melalui PT Askes dengan penyelenggaraan nirlaba, seperti tercantum dalam SK Menteri Kesehatan No. 56 Tahun 2005 yang sesuai dengan perintah UU SJSN, maka dalam melayani peserta, fasilitas kesehatan tidak perlu lagi membedakan pasien atas dasar kemampuan membayar. Akan tetapi dalam prakteknya, kehendak UU untuk pelayanan non-diskriminatif belum dijalankan sebagaimana diharapkan. 

Namun demikian implementasi UU SJSN untuk perlindungan lima program bagi penduduk miskin dan rentan memerlukan waktu yang cukup lama. Beberapa Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden perlu disusun agar UU tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan rakyat banyak. Pada saat ini (akhir tahun 2005) satu Peraturan Pemerintah dan satu Peraturan Presiden yang mengatur jaminan kesehatan, termasuk bagi penduduk miskin dan rentan, sedang dalam tahap sosialisasi draf untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak di pusat maupun di daerah. 

Yang perlu disadari oleh pemerintah di pusat dan di daerah adalah bahwa program perlindungan sosial selain jaminan kesehatan, harus dikembangkan agar penduduk rentan tidak jatuh menjadi penduduk miskin. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Kewenangan Daerah telah mewajibkan pemerintah daerah untuk ‘mengembangkan sistem jaminan sosial’ tanpa menjelaskan rincian apa yang dimaksud dengan ‘jaminan sosial’. Dengan prinsip penyelenggaraan terkoordinasi dan bersifat saling melengkapi antara pusat dan daerah, maka salah satu upaya yang perlu dijalankan oleh pemerintah daerah adalah menutupi kekosongan perlindungan sosial yang tidak dilaksanakan oleh Pemerintah pusat. Hal ini harus disadari pemerintah daerah, bukan dengan menuntut agar program yang diselenggarakan oleh pusat dikelola oleh daerah. Sebagi contoh, jika jaminan kesehatan sudah diberikan oleh Pemerintah pusat, maka pemerintah daerah yang mampu sebaiknya memberikan bantuan sosial, salah satu bentuk jaminan sosial, berupa pemberdayaan kemampuan ekonomi, misalnya membuka lapangan kerja yang dapat menyerap banyak tenaga kerja (labor intensive). 

Sebagai contoh, jika penduduk rentan sudah tidak lagi memiliki risiko jatuh miskin apabila ia sakit, karena telah dijamin oleh Pemerintah pusat, maka pemerintah daerah dapat memfokuskan bantuan dana untuk meningkatkan program perbaikan mutu pelayanan di puskesmas dan rumah sakit. Selain itu, pemerintah daerah dapat membuat program yang labor intensive, misalnya membuka jalan yang memungkinkan produk hasil hutan, perkebunan, dan pertanian oleh masyarakat rentan di daerah terpencil dapat dijual ke kota dengan biaya transportasi yang relatif murah. Pemerintah daerah juga dapat menyediakan gudang pendingin dengan sewa murah bagi nelayan atau peternak kecil yang dapat memelihara produknya tetap segar dan memiliki harga jual yang baik. Pemerintah Daerah juga dapat membuka pertanian atau perkebunan percontohan dengan bantuan ijin pengolahan lahan tidur, bibit, pupuk, dan bantuan teknis serta bantuan manajemen kepada penduduk rentan yang menganggur yang jumlahnya mencapai lebih dari 12 juta angkatan kerja pada akhir tahun 2005.

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Cara Telaah Kebijakan Jaminan Sosial "

Post a Comment