Pilar Perlindungan Sosial
Apa saja yang menjadi Pilar Perlindungan Sosial ? Dalam studi tahun sebelumnya Thabrany dan Mundiharno (2004)[i] merumuskan bahwa sistem perlindungan sosial sebagai sebuah sistem yang berkelanjutan yang memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara melalui seperangkat instrumen publik, terhadap kesulitan ekonomi dan sosial yang berakibat pada tidak terpenuhinya kebutuhan dasar warga negara, baik disebabkan karena terhentinya, turunnya, atau tidak mencukupinya penghasilan, sakit, hamil, kecelakaan, cacat, hari tua, kematian, bencana alam maupun kerusuhan sosial.
Dengan pengertian seperti tersebut di atas maka perlindungan sosial memiliki beberapa prinsip dasar sebagai berikut:
1. Merupakan program publik, dalam arti bahwa perlindungan sosial ditujukan kepada dan bersifat wajib bagi seluruh warga negara yang pengelolaanya dilakukan di bawah pengawasan negara berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2. Perlindungan, yang berarti bahwa memberikan perlindungan yang bersifat dasar untuk menjaga harkat dan martabat manusia yang memungkinkan seseorang dapat memenuhi kebutuhan fisik dasar dalam berproduksi secara sosial dan ekonomi.
3. Risiko Sosial-Ekonomis, perlindungan dalam menghadapi risiko berbagai peristiwa sosial-ekonomis yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar fisik warga negara.
4. Berkelanjutan, dalam arti jika diperlukan, perlindungan bersifat jangka panjang maupun jangka pendek yang berkesinambungan
5. Lintas sektor, dalam arti bahwa perlindungan sosial perlu dilakukan melalui kerjasama dan koordinasi yang baik antarsektor, seperti ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan, sosial, keuangan, kependudukan, perindustrian, perdagangan, dan sektor lainnya.
Dari sisi jenis dan cara pendanaan, perlindungan sosial mencakup beberapa aspek sebagai berikut:
A) Sistem Jaminan Sosial Formal, dengan ciri-ciri utama: (1) kepesertaan bersifat wajib bagi setiap warga negara, (2) jaminan bersifat kebutuhan fisik dasar seseorang yang sifatnya bukan bencana lokal atau masal, (3) didanai dari penduduk, dan (4) dikelola dengan tujuan bukan mencari keutungan bagi pengelola (not for profit). Sebuah Sistem Jaminan Sosial Formal biasanya didanai dengan mekanisme:
a) Asuransi Sosial, dimana seluruh warga negara atau sekelompok penduduk membayar iuran yang bersifat wajib guna mendanai kebutuhan finansial masa depan akibat suatu risiko sosial-ekonomi yang dialami, TANPA memperhatikan besaran iuran atau kontribusi yang telah dibayarkan oleh seorang peserta. Kewajiban mengiur ini berlaku bagi warga negara yang telah mampu memenuhi kebutuhan fisik minimumnya, sehingga pembayaran iuran wajib tidak akan membuatnya menjadi miskin absolut.
b) Bantuan Sosial, yaitu sebuah mekanisme pendanaan, baik pendanaan akibat risiko maupun pendanaan pembayaran iuran, penanggulangan risiko sosial-ekonomi yang BUKAN berasal dari orang yang dijamin oleh sistem jaminan sosial. Umumnya negara memberikan bantuan sosial dalam bentuk subsidi sebagian atau sepenuhnya iuran jaminan sosial kepada warga negara yang sehari-hari tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimumnya.
c) Tabungan, dimana warga negara yang memliki penghasilan diwajibkan untuk menabung sejumlah tertentu dari penghasilannya untuk yang biasanya ditujukan untuk tunjangan pasca karya dalam bentuk uang pensiun bulanan atau dana lump sum, yang dapat digunakan untuk modal atau pembelian rumah. Dalam mekanisme tabungan, peserta akan menerima jaminan SESUAI dengan besaran iuran yang telah disetorkannya ditambah dengan hasil pengembangan dana iuran tersebut.
B) Sistem Bantuan Bersifat Sementara. Bentuk perlindungan sosial seperti ini sering juga disebut “bantuan sosial” bahkan tidak jarang yang menyebutnya ‘jaminan sosial”. Berbeda dengan Sistem Jaminan Sosial Formal yang biasanya diatur dengan undang-undang yang mencakup mekanisme pendanaan, besaran jaminan, dan masa berlaku jaminan bagi seluruh penduduk atau sekelompok tertentu penduduk; Sistem Bantuan Bersifat Sementara biasanya bersifat ad hoc untuk mengatasi ketidak-berdayaan penduduk dalam mememenuhi kebutuhan dasarnya yang bersifat sementara akibat suatu bencana alam, epidemi, paceklik, atau hal-hal lain yang sifatnya sementara dan seringkali tidak terkait dengan status sosial dan ekonomi seseorang. Sumber dana bantuan ini dapat bersumber dari pemerintah ataupun masyarakat di lingkungan sekitar atau bahkan dari negara-negara lain. Bantuan bagi penduduk yang tertimpa musibah tsunami Aceh di tahun 2004 merupakan salah satu contoh dari sistem bantuan bersifat sementara.
Di samping kedua kelompok di atas (sistem jaminan sosial formal dan bantuan sementara), terdapat kategori lainnya yaitu Asuransi Komersial, yang kepesertaannya bersifat sukarela dan pengelolaannya bersifat jual-beli/komersial (dapat betujuan mencari laba for-profit maupun tidak mencari laba—sekedar memenuhi biaya produksi). Kategori ini tidak dimasukkan ke dalam kerangka SPJS mengingat sifatnya yang sukarela jual-beli, dan sangat bergantung pada kemauan seseorang untuk mendapatkannya. Sasaran dari asuransi komersial pada umumnya adalah penduduk berpenghasilan tinggi dan karenanya diasumsikan hanya dibeli oleh mereka yang kebutuhan fisik dasarnya telah terpenuhi. Karena motif pengelolaan pada umumnya adalah for profit (mengambil keuntungan), maka pengelolaannya/perkembangannya diserahkan kepada mekanisme pasar, dan pemerintah hanya mengeluarkan regulasi-regulasi guna menjaga kepentingan publik.
Dengan demikian terdapat tiga pilar yang menopang terbentuknya sistem perlindungan sosial[1]. Pilar pertama, menggunakan mekanisme bantuan sosial (sosial assistance) kepada penduduk yang kurang mampu, baik dalam bentuk bantuan uang tunai, iuran kepesertaan jaminan sosial, maupun pelayanan tertentu, untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak. Pendanaan bantuan sosial dapat bersumber dari anggaran negara dan atau dari masyarakat. Mekanisme bantuan sosial sementara biasanya diberikan kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yaitu masyarakat yang benar-benar membutuhkan, seperti penduduk miskin, sakit, lanjut usia, atau ketika terpaksa menganggur.
Pilar kedua, menggunakan mekanisme asuransi sosial atau tabungan sosial yang bersifat wajib atau compulsory insurance, yang dibiayai dari kontribusi atau iuran yang dibayarkan oleh peserta. Dengan kewajiban menjadi peserta, sistem ini dapat terselenggara secara luas bagi seluruh rakyat, terjamin kesinambungannya dan profesionalisme penyelenggaraannya. Pesertanya adalah tenaga kerja di sektor formal, seperti pegawai negeri atau pegawai swasta. Iuran dibayarkan oleh setiap tenaga kerja atau pemberi kerja atau secara bersama-sama sebesar persentase tertentu dari upah/gaji. Praktek yang umum di dunia adalah bahwa iuran ditanggung bersama antara pegawai dan majikan (pekerja dan pemberi kerja).
Mekanisme asuransi sosial merupakan tulang punggung pendanaan jaminan sosial, dan merupakan tulang punggung pendanaan publik di hampir semua negara. Mekanisme ini merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar layak penduduk dengan mewajibkan mereka secara aktif membayar iuran untuk mengatasi risiko di masa depan. Besar iuran dikaitkan dengan tingkat pendapatan atau upah masyarakat (biasanya persentase tertentu upah/gaji yang tidak memberatkan peserta) untuk menjamin bahwa semua peserta mampu mengiur.
Kepesertaan wajib merupakan solusi dari ketidakmampuan penduduk melihat risiko masa depan dan ketidakdisiplinan penduduk menabung untuk masa depan. Dengan demikian sistem jaminan sosial juga mendidik masyarakat untuk merencanakan masa depan. Karena sifat kepesertaan yang wajib, pengelolaan dana jaminan sosial dilakukan sebesar-besarnya untuk meningkatkan perlindungan sosial ekonomi bagi peserta. Karena sifatnya yang wajib, maka jaminan sosial ini harus diatur oleh UU tersendiri.
Di berbagai negara yang telah menerapkan sistem jaminan sosial dengan baik, perluasan cakupan peserta dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat dan pemerintah, serta kesiapan penyelenggaraannya. Tahapan biasanya dimulai dari tenaga kerja di sektor formal (tenaga kerja yang mengikatkan diri dalam hubungan kerja), selanjutnya diperluas kepada tenaga kerja di sektor informal, untuk kemudian mencapai tahapan cakupan seluruh penduduk. Upaya penyelenggaraan jaminan sosial sekaligus kepada seluruh penduduk akan berakhir pada kegagalan karena kemampuan pendanaan dan manajemen memerlukan akumulasi kemampuan dan pengalaman.
Kelompok penduduk yang selama ini hanya menerima bantuan sosial, umumnya penduduk miskin, dapat menjadi peserta program jaminan sosial, dimana sebagian atau seluruh iuran bagi dirinya dibayarkan oleh pemerintah. Secara bertahap bantuan ini dikurangi untuk menurunkan ketergantungan kepada bantuan pemerintah. Untuk itu pemerintah perlu memperhatikan perluasan kesempatan kerja dalam rangka mengurangi bantuan pemerintah membiayai iuran bagi penduduk yang tidak mampu.
Pilar ketiga menggunakan mekanisme asuransi komersial (voluntary insurance) atau mekanisme tabungan sukarela yang iurannya atau preminya dibayar oleh peserta (atau bersama pemberi kerja) sesuai dengan tingkat risikonya dan keinginannya. Pilar ketiga ini adalah jenis asuransi yang sifatnya komersial, dan sebagai tambahan setelah yang bersangkutan menjadi peserta asuransi sosial. Di Indonesia, penyelenggaraan asuransi komersial diatur dengan UU No. 2 Tahun 1992 tentang Asuransi, dan pelaksanaannya diatur dan diawasi oleh Departemen Keuangan.
Fokus dalam pengembangan sistem perlindungan sosial diarahkan pada jaminan sosial dengan pendanaan bersumber dari asuransi sosial, bantuan sosial dan tabungan. Tantangan utamanya adalah bagaimana mengembangkan sistem jaminan sosial yang secara cepat mencakup sebanyak-banyak warga negara dan mengefektifkan bantuan sosial agar benar-benar dapat diterima oleh warga negara yang benar-benar membutuhkannya. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa perluasan ini memerlukan komitmen pemerintah, penegakan hukum yang konsisten, dan terdapatnya sejumlah pekerja di sektor formal yang memadai jumlahnya.
Tujuan sistem perlindungan sosial pada akhirnya adalah mendorong sebanyak mungkin warga negara yang mau dan mampu menjadi peserta jaminan sosial sehingga warga negara yang memperoleh bantuan sosial menjadi semakin kecil. Semakin banyak warga negara yang tercakup dalam skema jaminan sosial akan memperkecil kemungkinan warga negara tersebut jatuh ke jurang kemiskinan manakala pendapatannya berkurang atau hilang tiba-tiba akibat suatu penyakit, PHK, kecelakaan, pensiun, atau sebab lain. Selain itu, perlu terus diupayakan untuk mempertajam berbagai program bantuan sosial yang dilakukan oleh berbagai sektor agar bantuan sosial yang diberikan dapat tepat sasaran, terkoordinasi, efisien dan efektif.
Setiap warga negara yang berpenghasilan wajib menjadi peserta jaminan sosial yang dalam prakteknya dapat diprioritaskan pada hal-hal yang sangat mendesak dibutuhkan. Misalnya, program jaminan kesehatan dapat didahulukan daripada program jaminan kematian atau jaminan pensiun, sesuai dengan tingkat upah atau kemampuan ekonomi penduduk. Penduduk yang memiliki penghasilan tinggi di samping menjadi peserta jaminan sosial dapat menjadi peserta asuransi komersial yang memberikan manfaat lebih besar sesuai yang diinginkannya. Sementara penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimumnya setelah memenuhi persyaratan tertentu (antara lain melalui tes kebutuhan --mean test) dapat memperoleh bantuan sosial yang bersifat subsidi iuran dari pemerintah agar dalam memberikan manfaat jaminan sosial, penyelenggara tidak membedakan antara yang kaya dan yang miskin. Dengan kerangka seperti itu diharapkan setiap warga negara dapat memperoleh kehidupan yang layak untuk mampu berproduksi secara ekonomis dan hidup sejahtera sesuai dengan cita-cita pembangunan bangsa.

0 Response to "Pilar Perlindungan Sosial "
Post a Comment