Mengendalikan Keseimbangan Keinginan – Kebutuhan – Kemampuan

Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, yang dalam hubungan dengan lingkungannya merupakan organisme hidup (‘living organism’) memiliki 

keinginan, kebutuhan dan keterbatasan kemampuan. Ketiganya bersifat dinamis dan mempunyai arah gerak yang berbeda-beda, terutama keinginan kadang-kadang sulit dikendalikan, sedangkan kebutuhan dan kemampuan bersifat lebih teratur, bergerak gradual sesuai koridor yang membatasinya. Apabila orang dapat mengendalikan keinginannya (‘want’) dan dapat mengarahkannya pada alat-alat yang dianggap dapat mendukung kehidupan, maka keinginannya tersebut akn bergerak mendekati kebutuhan (‘need’). 

Alat yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan dikatakan bernilai atau mengandung nilai. Karenanya alat atau benda yang mengandung nilai dicari orang, dibentuk atau diciptakan. Selanjutnya, melalui berbagai upaya, nilai suatu alat atau benda diubah atau ditingkatkan kegunaannya sehingga memiliki nilai tambah (‘value added’). 

Dalam menanggapi munculnya keinginan dan kebutuhan, manusia akan menunjukkan reaksi sikap dan perilaku yang berbeda satu dengan lainnya. Hal ini terutama disebabkan perbedaan tingkat kemampuan dan kondisi lingkungan. Sikap sebagai kecenderungan jiwa mengarah pada potensi dan dorongan menuju pada sesuatu yang dikehendaki yang diaktualisasikan dalam bentuk perilaku (‘behavior’). 

Pola berpikir keagamaan yang menyertakan nilai-nilai ukhrawi pada setiap ikhtiar manusia merupakan solusi yang kaffah (‘holistic solution’) dalam mengendalikan gerak keinginan dan kebutuhan yang diselaraskan dengan kemampuan, yang dilandasi pada pengakuan adanya faktor eksternal yang menentukan berupa Rahmah dan InnayahNya. Proses demikian akan menghasilkan tercapainya suatu keseimbangan hidup yang lebih realistis-idealis, sederhana, penuh Ridho dan Maghfirah Allah swt. Kekurang berhasilan atau bahkan sesuatu kegagalan tidak mengurangi potensi dan dorongan untuk menggerakkan proses berikutnya dan keberhasilan akan disyukuri sebagai tambahan input amanah selanjutnya. 



Menyusun Skala Prioritas Kebutuhan. 

Manusia hidup selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya, sehubungan dengan keterbatasan kemampuan pemenuhannya diperlukan penyusunan skala prioritas kebutuhan. Secara sederhana struktur kebutuhan terbagi dua, yakni pertama kebutuhan primer meliputi makan, pakaian dan tempat tinggal, kedua kebutuhan sekunder meliputi pendidikan, pergaulan, rekreasi dan sebagainya. 

Setiap membicarakan skala kebutuhan orang segera teringat nama Abraham H Maslow, yang menyusun heirarki kebutuhan mulai yang tertinggi prioritasnya hingga prioritas akhir, sebagai berikut: 
Basic physical needs (kebutuhan fisik yang mendasar) 
Safety and security (keamanan dan kepastian) 
Belonging and social needs (kebutuhan keterikatan sosial) 
Esteem and status (penghargaan dan status) 
Self actualization and fulfillment (aktualisasi/keberadaan diri dan pemenuhannya) 

Bagi kelompok masyarakat dengan penghasilan relatip rendah, urutan nomor satu harus didahulukan yang dilanjutkan dengan urutan dua yang menyangkut keamanan dan kepastian hidup kedepan. Setiap orang memiliki kecenderungan skala prioritas yang berbeda-beda, terutama bagi kelompok orang yang berpenghasilan tinggi urutan satu dan dua tidak menjadi masalah. Sedangkan urutan prioritas tiga, empat dan lima mereka susun sesuai interest atau minat, latar belakang pendidikan dan peran sosial masing-masing, bahkan kadang-kadang berubah-ubah menurut selera dan usianya. 

Bagi manusia muslim, penyusunan skala prioritas kebutuhan sangat dipengaruhi oleh derajat ketakwaan seseorang, sehingga apabila kebutuhan pertama dan kedua sudah terpenuhi maka urutan kebutuhan berikutnya akan dipenuhinya bersamaan dengan pemenuhan kewajiban keagamaan yang berkaitan dengan tingkat penghasilan. Upaya perbaikan kualitas diri dalam melaksanakan amal ibadah akan membawanya pada pertimbangan tingkat prioritas pengeluaran lain yang dirasakan penting seperti zakat,infaq, sidqah dan ibadah yang membutuhkan dana cukup seperti haji dan umrah. 

Pada tingkat kemampuan yang lebih atas, tanpa mengabaikan kewajiban yang timbul sebagai konsekwensi interaksi ikatan sosial berupa pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi (‘belonging and social needs, esteem and status, self actualization and fulfillment) dari hati nurani yang dibimbing NurIllahi, akan muncul dorongan kehendak untuk memperbaiki kualitas hidup ummat dengan upaya-upaya sosial yang lebih besar seperti membangun masjid, madrasah, menjadi donatur tetap yayasan pendidikan dan sebagainya. 

Surat Ali Imran ayat 14 dan 15 berbunyi: 

“Dijadikan indah (pandangan) manusia kecintaan kepada segala yang diingini dari pada wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (sorga)”. 

“Katakanlah: ‘Maukah aku beritakan kepadamu dengan yang lebih baik dari yang demikian itu?’ Bagi orang-orang yang bertakwa pada sisi Tuhan mereka ada sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (ada) isteri-isteri yang disucikan dan (mendapat) keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat pada hamba-hambaNya”. 

Sebaliknya kepada orang-orang yang kikir Allah swt. menurunkan peringatan khusus kepada mereka, sesuai firmanNya dalam surat Ali Imran ayat 180: 

“Janganlah (sekali-kali) orang-orang yang kikir dengan harta yang Allah berikan kepadanya dari karuniaNya mengira, bahwa kekikiran itu baik bagi mereka, tetapi (sebenarnya) kekikiran itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan (di lehernya) kelak pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi, dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan”.

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Mengendalikan Keseimbangan Keinginan – Kebutuhan – Kemampuan "

Post a Comment