STRATEGI PENGEMBANGAN KELAPA

Arah dan Tujuan Pengembangan
        Arah kebijakan umum pembangunan perkebunan adalah mensinergi seluruh sumber daya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing usaha, nilai tambah, produktivitas dan mutu produk melalui partisipasi aktif masyarakat perkebunan, dan penerapan organisasi modern yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi serta didukung dengan tata kelola pemerintahan yang baik (Anonim, 2010).
  Berdasarkan arah kebijakan diatas, pengembangan komoditas kelapa diarahkan pada peningkatan proroduktivitas melalui penggunaan bibit unggul dan pengelolaan usaha tani yang efisien, pengembangan produk kelapa yang bernilai ekonomi dengan mutu yang sesuai  permintaan pasar, pemberdayaan kelompoktani atau gapoktan yang bermitra dengan industri kelapa/eksportir, bantuan teknis pembinaan dan pembiayaan bagi gapoktan dari instansi terkait yang terprogram dan berkelanjutan.
  Tujuan pengembangan kelapa adalah peningkatan pendapatan petani kelapa dan nilai tambah komoditas melalui peningkatkan efisiensi pemanfaatan potensi lahan dan potensi genetik kelapa untuk menghasilkan produkvitas yang tinggi dan mengolah produk-produk teknologi inovatif yang menghasilkan produk bernilai ekonomi cukup tinggi dan mempunyai pasaran luas.



Sasaran Pengembangan

Sasaran pengembangan kelapa adalah peningkatan pendapatan petani lebih dari Rp. 24 juta/Ha/tahun/KK. Peningkatan pendapatan ini dapat dicapai beberapa cara: 

(a) Peningkatan produktivitas kelapa minimal 2,0 ton/Ha/ tahun. 

(b) Introduksi bibit unggul pada peremajaan kelapa sebesar 50.000 Ha/tahun atau 10 % dari areal kelapa yang akan diremajakan.

(c) Pemanfaatan areal diantara kelapa dengan tanaman sela yang bernilai ekonomi dan mempunyai pasaran luas. 

(d) Penyediaan sarana produksi dan alat pengolahan yang penanganannya oleh kelompoktani/gapoktan untuk optimalisasi usahatani dan pengembangan produk. 



Prioritas Pengembangan

Berdasarkan pertimbangan potensi lahan dan nilai produk, maka prioritas pengembangan sebagai berikut:

(a) Pola usaha tani; Pola usaha tani dalam bentuk usaha polikultur, yakni campuran tanaman kelapa dengan tanaman sela dan ternak. Tanaman sela dan ternak yang diusahakan tidak mengganggu pertumbuhan kelapa, kombinasi yang dapat digunakan antara lain pisang, ubi kayu, kacang tanah, jagung, kemangi dll.

(b) Pengembangan produk; Pengembangan produk didasarkan pada kondisi wilayah, yakni perkotaan dan ketersediaan sarana transportasi, diprioritaskan pada pengembangan produk kelapa segar antara lain santan, minuman air kelapa segar, minuman air kelapa dan koktail kelapa muda, sedangkan untuk wilayah pesisir yang letaknya jauh dari perkotaan dan terbatas sarana transportasi, diarahkan pada pengembangan kopra, arang, asap cair dan serat sabut. 

(c) Inovasi teknologi; Teknologi tradisional sudah lama dikenal masyarakat pedesaan, perlu diperbaiki dengan mengoptimalkan operasi dan memperbesar kapasitas olah. Teknologi inovatif adalah pengembangan teknologi yang sudah ada untuk penyempurnaan sistem proses, sehingga biaya produksi lebih murah dan waktu proses lebih singkat. Teknologi inovatif dijumpai pada pengolahan skala menengah dengan sistem proses sebagian secara mekanis, yakni pengolahan minyak kelapa semi mekanis dan pengolahan minyak kelapa murni atau virgin coconut oil (VCO). Teknologi maju adalah teknologi proses untuk menghantarkan perusahaan menjadi market leader, produk yang dihasilkan merupakan produk baru, baik menurut kualitas maupun spesifikasinya dan dibutuhkan pasar, sehingga dukungan riset secara terus menerus agar posisi market leader tetap terpelihara. Teknologi maju dijumpai pada pengolahan skala besar, seperti industri pengolahan minyak kelapa kasar (CCO), minyak goreng yang dipurifikasi, kelapa parut kering, karbon aktif, dan penyeratan sabut. Pada pengembangan produk kelapa, teknologi harus diadopsi dan dilaksanakan dengan baik, kontinu dan konsisten baik pada skala gapoktan, UKM dan industri. Patut mencotohi negara-negara penghasil kelapa seperti Filipina, Sri Lanka dan India, yang memiliki pengalaman panjang di masa lalu dan telah berhasil mengembangankan industri kelapa melalui diversifikasi selama dua dekade (Tillekeratne, et al, 2001). Tantangan sekarang sekarang bagaimana cara mengembangkan dan mengaplikasikan teknologi dalam satu wadah yang terorganisir dengan baik, terutama pada kelompok tani/gapoktan. 

(d) Kelembagaan dan pembinaan petani; Peningkatan kelembagaan ditingkat meliputi pembentukan dan pemberdayaan organisasi yang selama ini telah ada dilingkungan petani. Petani diharapkan mampu meningkatkan posisi tawar petani, meningkatkan akses terhadap teknologi, informasi dan pembiayaan, pengelolaan usaha dan meningkatkan pemasaran melalui jalinan kerjasama antara unit pengolahan dan pemasaran. Keberhasilan Filipina, India dan Sri Lanka dalam pengembangan sumberdaya kelapa, karena penanganan dilakukan secara sungguh-sungguh dan melembaga melalui suatu Badan Otitas komoditas, yakni Filipina dengan Phillipine Coconut Authority (PCA), India dengan Indian Coconut Board (ICB) dan Sri Lanka Sri Lanka Coconut Authority.

(e) Pembinaan dan pelatihan; Pembinaan dan pelatihan diberikan kepada petani dan industri pengolah, untuk dapat menghasilkan produk yang dibutuhkan oleh pasar. Dalam rangka meningkatkan penguasaan teknologi dan melahirkan inovasi baru baik dalam hal teknologi maupun diversifikasi produk, perlu dilakukan kerjasama yang lebih aktif dengan lembaga-lembaga penelitian.

(f) Pengembangan pasar; Perlu identifikasi dan kajian pasar untuk mengetahui karakteristik pasar dan jenis produk kelapa yang disukai atau diperlukan konsumen. Identifikasi dilakukan untuk melihat peluang pasar menyerap produk-produk kelapa yang dihasilkan, untuk dalam negeri berapa banyak industri atau usaha yang menggunakan atau berpeluang menggunakan produk kelapa, jenis dan volume penggunaan pertahun, dan ada tidaknya produk substitusi. 

(g) Pembiayaan; bagi usaha kecil dan menengah (UKM) masalah pembiayaan masih merupakan kendala dalam pengembangan usaha. Kendala pembiayaan yang dihadapi dapat berupa kurang percayanya lembaga pembiayaan terhadap usaha yang dijalankan maupun kendala kemampuan akses dari UKM terhadap lembaga pembiayaan yang ada, karena faktor kesulitan prosedur ataupun persyaratan yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, diperlukan upaya fasilitasi bagi UKM ke sumber-sumber pembiayaan. Fasilitasi pembiayaan antara lain pembiayaan usaha untuk kegiatan perkebunan, industri pengolahan, usaha perdagangan dan ekspor, pembiayaan untuk pembinaan kelembagaan dan usaha, pembiayaan untuk penelitian dan pengembangan produk. Pola pembiayaan dapat berupa hibah, bantuan teknis atau pinjaman lunak. Sumber-sumber pembiayaan berasal dari dana pemerintah alokasi APBN/APBD, pemanfaatan dana pembinaan dari keuntungan BUMN, kredit komersial, bank dan lembaga keuangan lainnya.



Tahap Pengembangan



Jangka pendek (1-3 tahun)

(a) Perusahaan kelapa/pabrikan perlu mengalokasikan dana sosial dan pengembangan wilayah kerja yang cukup memadai untuk menunjang usaha pengembangan kelapa dan pengolahan, sehingga secara langsung bermanfaat bagi petani kelapa.

(b) Pemerintah bersama asosiasi kelapa, perlu menetapkan harga dasar untuk keamanan harga kopra. Penetapan harga dasar, dilakukan secara ekonomi dengan mempertimbangkan: pendapatan kopra per hektar, biaya investasi kelapa sebelum dan sesudah berproduksi, biaya pengolahan dan pajak, dengan indikasi nilai BCR (12 %) >1; Internal Rate of Return (IRR) > 12 % dan Net Present Value (NPV 12 %) > 0. Tahun 1950-1967, 1 kg kopra setara dengan 1 kg beras Nilon (Milled Rice Long Grain) sekarang sama dengan Super Win yakni Rp. 7 000-7 500/kg.



Jangka Menengah (4-6 tahun)

(a) Perlu dilakukan Peremajaan dan rehabilitasi tanaman kelapa yang sudah tua/ rusak dan kurang produktif. Percepatan program ini dapat dilakukan bekerja sama dengan industri pengolahan kayu kelapa, dan pengendalian penyakit Busuk Pucuk dengan menggunakan teknologi yang tepat, efektif dan efisien, melalui pendayagunaan potensi sumber lembaga penelitian. 

(b) Pemberdayaan secara optimal lahan dibawah pohon kelapa dengan berbagai tanaman semusim yang bernilai ekonomi dan mempunyai pasaran luas terutama pasar lokal. Mengurangi adanya potongan harga kopra akibat kadar air kopra yang tinggi. Perbaikan mutu kopra dilakukan petani, agar biaya yang menjadi beban pabrikan dapat diterima petani dalam bentuk harga kopra yang cukup tinggi.

(d) Produk yang dihasilkan baik kopra maupun produk dari tanaman sela, penanganannya harus efisiensi, efektivitas, kualitas dan fleksibilitas. Peningkatan efisiensi memerlukan biaya rendah. Efektivitas meliputi kemampuan pelayanan pemasaran dan teknis penanganan produksi. Kualitas berkaitan dengan penyediaan produk yang memenuhi persyaratan konsumen. Fleksibilitas mencakup kemampuan adaptasi terhadap perubahan harga dan penyediaan produk berkualitas.

Jangka panjang (7-10 tahun)

(a) Secara bertahap dan massal merubah copra product oriented (orientasi produk kopra) kearah coconut products diversification oriented (produk diversikasi kelapa), membutuhkan program yang sistematis dengan dukungan dana dan fasilitas alat pengolahan kopra/produk kelapa lainnya serta pengendalian pasar yang memadai. 

(b) Pelaksanaan kegiatan jangka panjang membutuhkan keterpaduan tindak dari semua pihak terkait dan diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, sebagaimana dilakukan oleh negara-negara penghasil kelapa yang telah berhasil, seperti Filipina dan Srilanka (Tillekeratne, et al, 2001). 

(c) Pemerintah Pusat melalui Kementrian Pertanian dan Daerah harus berkomitmen yang tinggi untuk membantu petani melalui kredit perbankan dengan bunga murah dan subsidi, dalam bentuk penyediaan sarana produksi, alat/mesin pengolahan dan modal kerja usahatani dan pengolahan hasil.



IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN



Optimalisasi Usahatani

Optimalisasi kegiatan perkebunan; sebagai tahap awal pengembangan kelapa, dimulai dari daerah sebagai sentra produksi kelapa. Upaya yang dilakukan antara lain : penyediaan bibit dan pembentukan pusat bibit lokal, perbaikan budidaya, pengamanan penyediaan sarana produksi pertanian, penyediaan alsintan dan distribusi produk. Pola usahatani kelapa monokultur kurang menguntungkan petani, diharapkan dikembangkan pola polikultur, yang populer dengan usaha diversifikasi horisontal, yakni penganekaragaman tanaman dan ternak diantara kelapa, untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan kelapa. 



Pengembangan usahatani diarahkan untuk meningkatkan produktivitas kelapa melalui penggunaan bibit unggul dan efisiensi pemanfaatan lahan dengan tanaman sela yang bernilai ekonomi. Pengusahaan kelapa secara monokultur berdampak pasifnya petani dalam mengelola usahataninya yang ditandai dengan pertanaman kelapa tidak terpelihara, produktivitas rendah yang berdampak pada rendahnya pendapatan petani. 

Tanaman sela pada usahatani kelapa, selain menaikkan produksi kelapa juga meningkatkan efisiensi pemakaian tenaga kerja dan input usahatani. Secara keseluruhan produktivitas usahatani polikultur lebih tinggi dan akan memberikan efek sinergisme terhadap tanaman sehingga pertumbuhan dan produksi menjadi lebih tinggi. 

Diperkirakan 75-80% lahan diantara kelapa yang belum dimanfaatkan, perakaran kelapa aktif pada radius 150-180 cm dari pangkal pohon kelapa, memungkinkan dilaksanakan diversifikasi usahatani kelapa dan tanaman sela. Beberapa jenis tanaman sela yang dapat diusahakan di bawah pohon kelapa seperti jagung, ubi kayu, nenas, pisang, jahe, jeruk ikan, padi ladang, dan kacang tanah (Tarigans, 2000). 

Pengalaman PT. Sambu Group, yang melaksanakan program PIR-TRANS, pada penanaman nenas secara tumpangsari dengan kelapa dapat meningkatkan pendapatan petani 2-3 kali lipat dibandingkan usaha monokultur. Pengusahanan tanaman sela di antara kelapa dapat meningkatkan jumlah buah dan keuntungan dibanding pola tanam monokultur (Fachry, 1997). Di Pilipina, pengusahaan pisang diantara tanaman perkebunan, dapat menghasilkan intensitas penggunaan lahan 165,9%, meningkatkan efisiensi penggunaan tenaga kerja dan pendapatan petani (Magat, 1999).

Studi di Minahasa Utara Propinsi Sulawesi Utara tahun 2010, terhadap kelompok tani yang mengusahakan ubi kayu dan pisang diantara kelapa, menunjukkan bahwa: 

(a) Penanganan kelapa sebagian besar menerapkan pola usaha monokultur, pemeliharaan kurang mendapat perhatian, ditandai pembersihan kebun setahun sekali, dan dilakukan pembersihan sekitar pertanaman kelapa pada saat panen. Pengolahan tanah, pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit kelapa jarang dilakukan. Produktivitas kelapa sangat beragam, yakni 7.000-10.000 butir kelapa kupas/ha/ tahun atau 1,5-2,0 ton setara kopra/ha/tahun. 

(b) Produksi kelapa dipasarkan dalam bentuk kelapa kupas untuk lokasi kebun yang berdekatan dengan jalan, lokasi yang jauh dari jalan dan kondisi jalan kurang memadai diolah menjadi kopra. Sabut dan tempurung digunakan sebagai bahan bakar pada pengeringan kopra. Pengolahan sabut menjadi serat, tempurung menjadi arang dan pengolahan air kelapa menjadi nata de coco terbatas dilakukan. 

(c) Penanganan tanaman pisang sebagai tanaman campuran dengan kelapa, pemeliharaannya hanya dilakukan pembabatan sekitar tanaman dan penjarangan anakan pisang yang berlebihan. Anakan pisang yang disisakan sebanyak 4-5 anakan. Panen pisang jenis raja, ambon, sepatu, gapi dan goroho membutuhkan waktu 18-20 bulan. Panen awal sebanyak satu tandan/pohon, periode panen kedua dan berikutnya 2 tandan/rumpun, dan periode panen ketiga dan seterusnya 2-3 tandan/rumpun. Periode panen ketiga dan seterusnya ukuran tandan dan buah mengecil, dan kadang-kadang sulit untuk dipasarkan. 

(d) Pengusahaan ubikayu sebagai tanaman campuran dengan kelapa, terutama pada kelapa tua yang populasinya berkisar 70-80 pohon/ha. Pemeliharaan tanaman cukup intensif terutama pada pengolahan tanah, pembumbunan pohon, penyiangan, pemupukan dan pemberantasan hama penyakit tidak dilakukan. Penanaman ubi kayu dengan jarak tanam 1x1 m², dan areal untuk penanaman ubi kayu sekitar 2,5-3,0 m dari pangkal pohon kelapa. Luas areal pertanaman ubi kayu berkisar 0,6 ha atau 6.000 bumbun/ha, setiap bubun ditanami dua stek. Produksi rata-rata 1,5 kg/ pohon, periode panen 8 bulan, produksi 18 ton/Ha. Penanaman dilakukan dua kali, tanpa pemupukan, untuk memperbaiki kesuburan tanah, tanah diberokan selama 1-2 tahun. 

(e) Petani mengetahui pemupukan akan meningkatkan kesuburan tanah dan produksi kelapa, namum tidak melakukannya, dengan alasan bahwa pupuk anorganik seperti Urea, TSP, KCl dll, membutuhkan biaya yang tinggi dan tambahan tenaga kerja untuk melaksanakannya, pengunaan pupuk organik seperti kompos dengan sumber bahan organik dari kebun petani belum memasyarakat. 

(f) Harga kelapa dan produk kelapa yang berlaku pada bulan Agustus 2010, sebagai berikut: Kelapa butiran (buah tanpa sabut) Rp. 900/kg, Kopra putih Rp. 5.500/kg, Kopra hari-hari Rp. 5.000/kg, Serat sabut Rp. 3.000/kg, Debu sabut Rp. 2.500/kg, Nata de coco lembaran Rp. 2.500/kg, dan Arang tempurung Rp. 3.000/kg. Pada pengolahan kopra sebagian besar sabut kelapa digunakan sebagai bahan bakar untuk pengeringan kopra, sehingga dalam diversifikasi di tingkat petani hanya dihasilkan adalah produk kopra dan arang tempurung. Untuk produksi kelapa sebanyak 1,5 ton kopra, setara dengan 7.500 butir kelapa dan produksi 2,0 ton kopra setara dengan 10.000 butir kelapa. 

(g) Pendapatan petani; (a) Pengusahaan kelapa dengan tanaman pisang pada produktivitas kelapa 2,0 ton/ha/tahun, dan dihasilkan produk kopra + arang tempurung + pisang, pendapatan petani sebesar Rp 26.920.000/ha /tahun, dan (b) Pengusahaan kelapa dengan ubi kayu pada produktivitas kelapa 2,0 ton/ha/ tahun, dihasilkan produk kopra + arang tempurung+ ubikayu, pendapatan petani sebesar Rp 24.760.000/ha/tahun, jauh lebih tinggi dibanding pertanaman kelapa secara monokultur yakni Rp. 11.260.000/ha/tahun (Torar dan Lay, 2010).



Dengan adanya program peremajaan baik melalaui instansi terkait maupun usaha mandiri petani, maka untuk kesinambungan produksi, peremajaan kelapa dilaksanakan secara Tebang Bertahap, yakni penebangan dilakukan selama 5 tahun, dengan proporsi 20 %/tahun. Peremajaan sebaiknya menggunakan kelapa unggul Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma lain Manado (Balitka), telah menghasilkan beberapa jenis kelapa unggul, dengan potensi produksi 3,5 ton/Ha/tahun atau lebih, seperti Kelapa Dalam Mapanget, Dalam Palu, Dalam Bali, Dalam Mamuaya dan tipe lainnya, yang dapat menghasilkan benih sebanyak 150.000 butir/tahun. Balitka telah menseleksi areal kelapa Blok Penghasil Tingg (BPT) dengan tingkat produktivitas kelapa relatif sama dengan kelapa unggul, yang tersebar di Sulawesi utara, Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan, Jambi, Lampung, Nusa Tenggara Timur dan Maluku Utara.

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "STRATEGI PENGEMBANGAN KELAPA "

Post a Comment