PERAN FARMAKOEKONOMI DAN HTA DALAM PELAYANAN KESEHATAN

Tak seorang pun yang menginginkan jatuh sakit. Oleh karena itu orang melakukan berbagai cara untuk tetap sehat atau kembali sehat, karena kesehatan adalah hak asasi manusia. Namun untuk mendapatkan kesehatan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Biaya pelayanan kesehatan terus meningkat, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kedokteran dan farmasi. Di lain pihak, dengan semakin tingginya biaya kesehatan, di berbagai Negara semakin dituntut agar kualitas dari teknologi kesehatan juga semakin baik sebanding dengan kenaikan biayanya. Istilah ini dikenal dengan “Value for Money”, yaitu nilai dari teknologi kesehatan tersebut sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Salah satu teknologi kesehatan yang mendapatkan proporsi yang besar dalam biaya pelayanan kesehatan adalah obat.

Agar masyarakat mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan yang memadai dan menyeluruh dengan biaya yang terjangkau, jaminan kesehatan nasional (universal health coverage, UHC) menjadi kebijakan dari berbagai Negara, termasuk di Indonesia. UHC merupakan jawaban atas keterbatasan masyarakat untuk membayar sendiri biaya pelayanan kesehatan (out of pocket). Namun dengan keterbatasan anggaran kesehatan yang tersedia, dibutuhkan adanya pemilihan prioritas terhadap teknologi kesehatan, terutama obat, yang digunakan dan mengalokasikan sumberdaya yang tersedia seefisien mungkin, sesuai skala prioritas yang dibuat secara obyektif. Untuk melakukan pemilihan obat yang dapat dijamin pembiayaannya oleh pemerintah yang menerapkan sistem jaminan kesehatan, perlu dilakukan ‘evaluasi ekonomi’.

Evaluasi ekonomi dalam kajian obat akan sangat dibutuhkan dan bermanfaat bila disampaikan bersama dengan 3 jenis evaluasi, masing-masing memiliki pertanyaan:
1. Can it work? Apakah prosedur, pelayanan atau program kesehatan memberikan manfaat dibandingkan bahaya bagi masyarakat (do more good than harm). Evaluasi jenis ini ingin membuktikan Efficacy
2. Does it work in reality? Apakah prosedur, pelayanan atau program kesehatan do more good than harm kepada masyarakat yang ditawari pelayanan/ prosedur tsb? Evaluasi yang mempertimbangkan efficacy serta penerimaan (acceptance) oleh masyarakat tsb, merupakan evaluasi efektifitas atau manfaat obat . Evaluasi ini menjawab aspek Effectiveness
3. Apakah mencapai sasaran mereka yang membutuhkan dan accessible? Evaluasi jenis ini memperhatikan aspek ketersediaan (availability)
Pertanyaan dalam evaluasi ekonomi untuk obat dan alkes kemudian menjawab pertanyaan “Is it worth doing it, compared to other things we could do with the same money?“ Pertanyaan ini berkaitan dengan Cost-effectiveness = Efficiency
Artinya, tidak cukup dengan efficacy, safety, quality bahkan efektifitas saja tanpa membandingkan dengan sumberdaya yang dikorbankan juga dianggap belum cukup. Kemudian farmakoekonomi melengkapi kebutuhan akan jawaban apakah “worth it” (sepadan pengorbanan dengan hasil) melalui kajian Cost-Effectiveness Analysis.
Farmakoekonomi adalah bidang studi yang melakukan evaluasi perilaku atau kesejahteraan individu, perusahaan dan pasar, yang relevan dengan penggunaan produk farmasi, pelayanan, dan program. Fokusnya terutama pada biaya (input) dan konsekuensi (outcome) dari penggunaannya. Farmakoekonomi juga terkait dengan aspek klinis, ekonomi, dan kemanusiaan pada intervensi pelayanan kesehatan (sering digambarkan sebagai model ECHO, dalam pencegahan, diagnosa, pengobatan dan manajemen penyakit). Farmakoekonomi juga dapat didefinisikan sebagai ilmu yang menggambarkan perbandingan antara biaya (cost) dari suatu obat dengan luaran (outcome) yang dihasilkan.
Metode yang dapat dilakukan dalam analisis farmakoekonomi adalah cost-minimization, cost-effectiveness, cost-utility, cost-benefit, cost of illness, cost-consequence dan teknik analisis ekonomi lainnya yang memberikan informasi berharga kepada para pengambil keputusan pelayanan kesehatan untuk alokasi sumber daya yang terbatas.
Cost Minimization Analysis (CMA) digunakan ketika efek dari dua atau lebih intervensi (atau obat) yang dibandingkan adalah sama atau hampir sama (completely/ or almost identical), dengan demikian yang dipilih adalah opsi dengan biaya terendah (the least cost option). Cost-effectiveness analysis (CEA) digunakan untuk membandingkan biaya dan outcome dari dua atau lebih intervensi yang memiliki tujuan yang sama. Meski lebih mahal, suatu opsi mungkin dipilih karena hasil pencapaian tujuan juga tinggi sehingga biaya per satuan outcomenya lebih rendah atau cost-effective. Bila outcome yang digunakan adalah perspektif konsumen (utility) maka dikenal sebagai Cost Utility Analysis (CUA). Biaya yang dihitung bisa biaya dari sisi provider, dari sisi konsumen (pasien) atau keduanya. Atau bisa juga dari sisi pemerintah atau publik (societal). Hal ini disebut dengan perspektif dari biaya, yang akan mempengaruhi perhitungan dalam analisis.
Ilmu farmakoekonomi telah berkembang dengan pesat di berbagai negara termasuk di Asia-Pasifik. Data farmakoekonomi semakin dibutuhkan di banyak negara, seperti Thailand, Korea Selatan, Filipina dan Taiwan, terutama sebagai bukti pendukung dalam pengambilan keputusan obat apa saja yang akan dimasukkan dalam formularium, daftar obat esensial atau untuk persetujuan obat baru. Sedangkan di Indonesia, ilmu ini masih baru berkembang, sehingga penerapannya belum banyak dilakukan dalam pengambilan keputusan penggunaan obat. Sedangkan kajian farmakoekonomi di tingkat lokal Indonesia sangat dibutuhkan untuk menyediakan data pendukung dalam proses HTA dan seleksi obat Formularium.
Farmakoekonomi sangat penting dalam membantu upaya pengendalian biaya obat, terutama dalam penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam pemilihan obat, faktor efikasi dan keamanan (safety dan efficacy) merupakan salah satu pertimbangan yang penting, namun pertimbangan ekonomi menjadi sangat penting dalam hal keterbatasan anggaran. Diterapkannya JKN di Indonesia sejak tahun 2014, dengan terbatasnya anggaran yang tersedia, maka aspek pengendalian mutu sekaligus biaya obat, menjadi salah satu hal penting yang mendapatkan perhatian. Untuk itu Kementerian Kesehatan telah menetapkan Formularium Nasional sebagai acuan penggunaan obat, yang mempertimbangkan semua aspek tersebut (safety, efficacy, economy) yang berbasis bukti (EBM) dalam proses seleksi obat.
Dengan demikian, dalam pelayanan kesehatan berbasis jaminan sosial, saat ini Indonesia membutuhkan banyak data analisis farmakoekonomi dengan setting lokal. Mengingat terbatasnya studi atau analisis bidang ini di Indonesia, akan menyebabkan pengambilan keputusan didasarkan pada hasil analisis dari Negara lain. Hal ini tidak selamanya dapat dilakukan, terutama jika hasil studi dari luar negeri tersebut tidak relevan dengan kondisi Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan banyak studi farmakoekomi dan HTA untuk memenuhi kebutuhan data dalam negeri, yang sesuai dengan populasi dan pembiayaan di Indonesia.
Untuk melakukan analisis farmakoekonomi dibutuhkan dua data utama yaitu data biaya dan data klinis (outcome). Kedua jenis data ini dapat diperoleh secara langsung dari pengumpulan data di fasilitas kesehatan atau pasien (data primer), maupun diperoleh dari studi lain yang sudah ada atau literatur (data sekunder). Selanjutnya kedua data tersebut dianalisis dengan metode yang sesuai atau dilakukan analisis menggunakan permodelan ekonomi yang sesuai untuk mengetahui rasio dari biaya dan outcome. Dengan demikian dapat diketahui apakah obat (atau teknologi kesehatan) tersebut memiliki outcome yang sebanding dengan biayanya (value for money). Hasil dari analisis inilah yang diambil untuk dijadikan rekomendasi terhadap kebijakan, baik kebijakan setempat (misalnya di rumah sakit), maupun Nasional.
Sebagai tahap awal dalam penerapan farmakoekonomi dalam pelayanan kesehatan di Indonesia, Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah menerbitkan buku Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi pada tahun 2013. Pedoman ini merupakan acuan yang dapat dimanfaatkan oleh penyelenggara pelayanan kesehatan dalam melakukan kajian farmakoekonomi. Dengan demikian, diharapkan pedoman ini dapat menjadi pembuka jalan penerapan farmakoekonomi dalam pelayanan kesehatan dan penggunaan obat atau menjadi literatur yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu farmakoekonomi di Indonesia. (egn)
Sumber :
1. Bootman J.L, et al, 2005, Principles of Pharmacoeconomics, 3rd ed, Harvey Whitney Books Company : USA
2. Drummond, M.F., M.J. Sculpher, G.W. Torrance, B.J. O’Brien, and G.L. Stoddard, 2005. Methods for the Economic Evaluation of Health Care Programmes, 3rd Edition, Oxford University Press, Oxford.
3. FKM UI, 2012. Laporan Akhir Kajian Telaah Kepustakaan dan Studi Kualitatif mengenai HTA, Kemenkes RI, Jakarta.
4. Kementerian Kesehatan RI, 2013. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi, Kemenkes RI, Jakarta.
Tags:
Farmakoekonomi, biaya obat, farmasi, value for money, analisis farmakoekonomi, HTA

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PERAN FARMAKOEKONOMI DAN HTA DALAM PELAYANAN KESEHATAN"

Post a Comment