Tipe dan Model Lisensi Paten


Subject of Patent License: Licensor and Licensee 

Subyek dalam perjanjian lisensi adalah para pihak yang terlibat dalam kontrak lisensi. Kontrak tersebut dibuat oleh lisensor dan lisensee atau pengguna dari teknologi yang dilisensikan. Dalam prakteknya, para pihak tersebut dapat melibatkan pemerintah, lembaga, perusahaan dan atau bahkan individu[1]


Tipe dan Model Lisensi Paten 

Pada dasarnya, terdapat dua tipe lisensi: (i) sukarela; dan (ii) lisensi wajib. Lisensi sukarela didasarkan atas perjanjian para pihak berdasarkan prinsip-prinsip umum dalam hukum kontrak, sedangkan lisensi wajib melibatkan intervensi pemerintah dalam melaksanakannya. Dalam hal ini, lisensi diberikan tanpa memerlukan perjanjian dari pemegang hak paten[2]. Di Indonesia, lisensi wajib diatur berdasarkan Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, pasal 74 - 87. 

Obyek dari ketentuan lisensi wajib ini adalah paten yang tidak digunakan. Tujuannya, untuk menjamin agar inventor, baik asing maupun domestik, dan pemegang paten national dapat melaksanakannya dalam wilayah Negara Indonesia[3], sehingga tidak menghambat pembangunan ekonomi –industri dan perdagangan- nasional. Selain itu, ketentuan ini juga ditujukan untuk mencegah impor barang yang sama ke dalam wilayah Indonesia.[4]

Ketentuan yang berkaitan dengan lisensi wajib ini merefleksikan perhatian pemerintah terhadap upaya perlindungan kepentingan nasional, kepentingan publik, dan agar teknologi yang dipatenkan tersebut tidak disalahgunakan[5]. Sejalan dengan pernyataan tersebut, berdasarkan kepentingan nasional, pertahanan keamanan, dan kepentingan publikseperti kesehatan, makanan, dan untuk mengawasi pelaksanaan suatu paten[6], UU Paten memberlakukan ketentuan tentang lisensi wajib[7] dan pembatalan atau penarikan (revocation)[8] atas suatu patent. 

Lisensi wajib diberikan oleh pengadilan niaga[9] setelah mempertimbangkan: (i) kemampuan[10] dan fasilitas yang memadai[11] dari pemohon yang mengajukan permohonan lisensi wajib untuk melaksanakan paten yang bersangkutan secar penuh; (ii) usaha wajar yang dilakukan oleh si pemohon untuk mendapatkan lisensi atas dasar persyaratan yang normal[12]; (iii) apakah paten yang bersangkutan memberikan kemanfaatan pada sebagian besar masyarakat[13]

Tampaknya, beberapa Negara berkembang berharap memperoleh teknologi asing melalui lisnsi wajib[14]. Namun demikian, sekalipun lisensi wajib diyakini sebagai instrument utama untuk mengaktifkan paten yang tidak dilaksanakan, secara praktis, hal ini tidak dapat bekerja secara maksimal[15]. Bahkan lebih ekstrim, Yanke menyarankan, agar dinyatakan bahwa secara tekhnis, lisensi wajib merupakan suatu proses yang sangat sulit karena lisensing semata-mata tanpa mentransfer know how dari pemegang paten tidak dapat diharapkan menjadi efektif dan efesien[16]

Selanjutnya, mengenai metode, secara teoritis, lisensi paten dapat dilaksanakan melalui beberapa cara: (i) exclusive[17]; (ii) non-exclusive; and (iii) license tunggal. Undang-undang Paten Indonesia mengklasifikasikannya ke dalam lisensi eksklusif dan non-eksklusif. Karakteristik dari paten yang dilisensikan itu berpengaruh dalam memutuskan apakah paten itu dilisensikan secara eksklusif[18] atau non-eksklusif.[19]


4.4.5. Prinsip-prinsip Umum dalam Perjanjian Lisensi 

Dalam proses lisensi, ada beberapa petunjuk yang dapat dipertimbangkan. Petunjuk tersebut diekstraksi dari pandangan umum tentang prinsip-prinsip hukum yang diredusir ke dalam factor-faktor yang paling sering terjadi dalam perjanjian lisensi. Prinsip tersebut merupakan cara praktis untuk mengatasi kesenjangan atau perbedaan kepentingan para pihak dan kepentingan publik. Serangkaian aturan telah dikembangkan dari analisis yang didasarkan atas prinsip-prinsip fundamental yang bersumber dari common law, dan diterapkan ke dalam kasus-kasus yang menafsirkan prinsip-prinsip normative yang selanjutnya dapat diterapkan dalam pelisensian HAKI[20] -patent- seperti yang dirumuskan oleh Melville.[21]


4.6. Konstruksi Hukum Kontrak Lisensi Paten 

Interaksi antara HAKI dan aturan kontrak selalu menjadi isu utama dalam mendistribusikan asset-aset HAKI di pasar terbuka. Interaksi tersebut merupakan titik sentral dan utama dalam mencapai kontrak yang seimbang. Kontrak sebagai instrument hukum untuk pengembangan dan pengeksploitasian asset-aset komersial dari informasi dan teknologi. 

Dalam lisensi paten, tidak ketentuan umum tentang kontrak standar. Pembatasan pada kontrak dapat bersumber dari teori-teori hukum kontrak dan kebijakan public, termasuk beberapa kebijakan yang bersumber dari paten dan bidang HAKI lainnya. Pembatasan yang lehir dari doktrin HAKI dan kebijakan lain cenderung dititikberatkan pada penghapusan praktik persaingan curang. Konstruksi kontrak lisensi yang wajar sangat tergantung pada bagaimana keadaan ketika kontrak itu dibuat. Tidak hanya kata-kata atau aturan dan pasal-pasal dalam perjanjian,[22] tetapi juga niat dari para pihak dan factor lain juga perlu dipertimbangkan oleh pengadilan[23]


4.5. Membuat Kontrak Lisensi: Pengkonstruksian Perlindungan Hukum 

Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pengusahaan hasil-hasil riset, teknologi adalah pengalihan teknologi melalui linsensi. Hal ini dapat diwujudkan melalui pembuatan kontrak pengkomersialisasian teknologi atau alih teknologi[24]. Kontrak inilah yang menjadi dasar bagi para pihak dalam bertindak guna memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing. Isi dari kontrak ini juga dapat berfungsi sebagai indicator dalam melakukan pelaksanaan, pengawasan, dan pengembangan tekonologi yang diperjanjikan. Hal yang terlebih penting lainnya adalah seluruh isi kontrak yang disepakati tersebut menjadi instrumen hukum yang paling kuat dalam melindungi kepentingan para pihak. Dengan demikian, pembuatan kontrak ini merupakan salah satu strategi yang digunakan dalam melindungi hasil-hasil riset dalam bentuk teknologi atau penemuan yang sudah dipatenkan. 

Pembuatan kontrak guna mencapai kesepakatan dalam perjanjian alih teknologi –lisensi- dapat menjadi permasalahan yang sangat kompleks.[25] Permasalahan pertama, terkait dengan kurangnya sumber informasi yang dapat diacu secara formal dan mengikat secara hukum tentang alih teknologi[26]. Tidak ada standar perjanjian alih teknologi yang dapat diterima secara internasional. Faktor-faktor tersebut telah mengakibatkan perjanjian alih teknologi sangat tergantung pada pada pengalaman dan keahlian negosiasi yang baik[27] dari masing-masing individu. Namun demikian, terdapat masalah-masalah hukum yang perlu dicatat dalam membuat kontrak alih teknologi. Masalah tersebut dapat diidentifikasi pada tiga tahapan: (i) Pra-Kontrak; (ii) Kontrak; (iii) Paska Kontrak. 

4.5.1. Pra Kontrak : Persiapan 

Dalam tahap pra kontrak ini, para pihak dapat melakukan persiapan untuk menjamin keberhasilan proses pengkomersialisasian hasil-hasil riset, teknologinya. Dalam konteks ini, para pihak dapat melakukan evaluasi atas teknologi dan aspek pengelolaannya (manajemen dan pemasaran), menilai dan memilih mitra yang potensial, mengidentifikasi pasar, mencermati masalah hukum dalam pengusahaan teknologi, dan lain sebagainya. 

Dari sudut kepentingan lisensor, dalam pengeksploitasian teknologi, Mc Keough dan Stewart menegaskan pentingnya manajemen[28] dan pemasaran teknologi[29]. Para pihak juga perlu mencermati potensi pasar yang belum terbukti, sebagai the most often challenging basic premise dalam kaitannya dengan invensi lisensor. Oleh karena itu, dalam upaya mengeliminasi resiko, lisensor perlu mengadopsi prinsip pengoptimasian[, pengayaan (enrichment) dan strategi pengamanan (safeguarding strategies)[32] dalam mengelola teknologi, dan selanjutnya, pemasaran teknologi yang baik untuk mendapatkan licensees yang potensial. 

Sedangkan dari sudut kepentingan licensee, penilaian teknologi ini sangat penting artinya untuk memastikan atau menjamin keberhasilan dalam proses alih teknologi. Oleh karena itu, sebelum memasuki tahap negosiasi yang konkrit, licensee harus dapat menilai teknologi yang dilisensikan. Sayang sekali teknologi tersebut seringkali dilisensikan pada saat potensi pasarnya tidak dapat direalisasikan. Terkadang para pihak telah menyepakati terminology lisensi, bahkan sebelum teknologi tersebut dikembangkan. Kasus ini kerap muncul sebagai bagian dari perjanjian kerjasama penelitian[34]

Selain itu, para pihak tidak selalu terlibat dalam analisis yang rinci ketika menentukan harga yang harus dibayar untuk teknologi, khususnya teknologi tahap awal. Mereka juga kerap membuat putusan berdasarkan intuisinya, dan penilaian terhadap apa yang dikehendaki oleh pihak lain dalam negosiasi. Akibatnya, para pihak sering menemukan gap awal antara harapan dan fakta yang berkaitan dengan keuangan[35]. Oleh karena itu, adalah penting untuk mengidentifikasi beberapa factor yang mempengaruhi harga teknologi tersebut[36]

Selain masalah tekhnis, diatas, masalah yang tidak kalah krusialnya adalah masalah hukum dalam tahap pra kotrak lisensi. Masalah ini berkaitan dengan permasalahan tekhnis ketika menegosiasikan dan menyepakati terminology-terminologi yang digunakan dalam kontrak alih teknologi. Penegosiasian dan perancangan proses tersebut harus diarahkan pada pengharmonisasian tujuan komersial dari lisensor dan tujuan pengembangan teknologi penerima lisensi. Dalam tahap ini, perbedaan para pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut harus saling mengenal dan mengetahui satu sama lainnya. Mereka harus dapat mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan melalui kerjasama dan mereka harus dapat mencapai kesepakatan mengenai hak yang seimbang antara keinginan masing-masing pihak. 

Secara praktis, Schlicher mengidentifikasi beberapa factor yang mempengaruhi negosiasi dalam kontrak lisensi: (i) permasalahan penawaran; (ii) alternative teknologi yang tersedia bagi penerima lisensi yang potensial; (iii) biaya transaksi lisensi; (iv) masalah litigasi yang berkaitan dengan pelanggaran; dan (v) beberapa sumber resiko. Kompleksitas dalam menegosiasikan kontrak alih teknologimensyaratkan para pihak untuk mempertimbangkan factor-faktor diatas, dan merancangnya serta mengkonstruksinya ke dalam kontrak secara hati-hati. Hal ini penting, karena perjanjian lisensi memuat hubungan yang terus menerus dan timbale balik antara lisensor dan lisensi. Untuk alasan tersebut, adalah penting untuk menelusuri kecocokan dan komitmen para pihak yang berkontrak dalam mengeksploitasi teknologi. Selain itu, obyek hubungan tersebut harus diidentifikasi secara jelas. 

Hasil negosiasi tesebut biasanya dibadankan ke dalam sebuah dokumen memorandum of understanding (MoU). Sekalipun para pihak belum terikat oleh kewajiban formal, dokumen tersebut dapat memberikan informasi yang signifikan dalam membuat kontrak. Biasanya, klausula dalam memorandum of understanding tidak jauh berbeda dengan dengan klausula-klausula yang disepakatai dalam hasil akhir perjanjian yang ditandatangani. Selain itu, nilai dari dokumen MoU sudah tentu lebih memiliki muatan moral dan komersial daripada muatan hukum. 

Umumnya, beberapa isu yang dibahas dalam negosiasi tersebut mencakup (i) identifikasi obyek dan subyek dari perjanjian, ruang lingkup lisensi, royalty, perpajakan, implied licence, jangka waktu dan berakhirnya kontrak, ketentuan pembatasan praktek persaingan curang yang berkaitan dengan lisensi, dan penyelesaian sengketa.

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to " Tipe dan Model Lisensi Paten"

Post a Comment