PERAN EKOLOGI DALAM KESERASIAN ALAM

Ekologi berkembang karena adanya interaksi manusia (man and culture) dan alam (nature), yang sebenarnya telah berlangsung sejak sejarah mencatat eksistensi kehidupan di planet bumi ini. Ilmu ekologi berkaitan dengan manusia dibutuhkan kehadirannya dalam dunia ilmu pengetahuan, dikarenakan kemampuannya dalam memberikan landasan teoretik dan konseptual yang berguna untuk memaknai dan memahami fenomena dan fakta hubungan interaksional manusia dan alam serta perubahan sosial dan ekologis (ecological change) yang terjadi di alam. Perubahan ekologis itu, terutama berkenaan dengan munculnya destabilitas ekosistem sejak terjadinya penurunan jumlah dan kualitas sumberdaya alam oleh karena meningkatnya jumlah populasi dan kualitas aktivitas manusia. Perubahan ekologis adalah dampak yang tidak dapat dielakkan dari interaksi manusia dan alam yang berlangsung dalam konteks pertukaran (exchange). Proses pertukaran itu sendiri melibatkan energi, materi dan informasi yang saling diberikan oleh kedua belah pihak (kedua sistem yang saling berinteraksi). Sistem alam dan sistem manusia saling memberikan energi, materi dan informasi dalam jumlah dan bentuk yang berbeda satu sama lain (Gambar 1). 



Gambar 1. Pertukaran Energi, Materi dan Informasi antara Dua Sistem (Dharmawan, 2007) 

Manusia meminta materi, energi dan informasi dari alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup (pangan-sandang-papan atau sustenance needs) mereka. Sementara itu alam, lebih banyak mendapatkan energi, materi dan informasi dari manusia dalam bentuk waste and pollutant (termasuk radio-active 

waste) yang lebih banyak mendatangkan kerugian bagi kehidupan seluruh penghuni planet bumi. 

Pada Gambar 1 tersebut, sistem manusia (sistem sosial) dibangun oleh lima elemen yang saling pengaruh-mempengaruhi yaitu: organisasi sosial atau sistem pengendalian dan kelembagaan, teknologi, populasi (penduduk manusia), sistem pengetahuan, dan norma atau nilai-nilai yang dibangun masyarakat. Sementara itu, sistem ekologi dibangun oleh lima elemen yakni: tanah-air-udara yang merupakan unsur dasar yang dibawa oleh alam, tumbuh-tumbuhan dan hewan adalah komponen biotik yang ada di alam selain manusia, mikro-organisme yang berfungsi sebagai dekomposer, serta man-made infrastructure seperti jalan, bangunan, dan sebagainya. Proses pertukaran energi materi dan informasi melibatkan seluruh elemen atau komponen yang ada di kedua sub-sistem tersebut. Pertukaran materi-energi-dan-informasi sebagaimana digambarkan pada Gambar 1 di atas dapat diilustrasikan oleh contoh sebagaimana terdapat dalam Box 1 berikut ini. 

Namun, tidak selamanya proses pertukaran energi dan materi antara sistem sosial dan sistem ekologi berlangsung (dan menghasilkan pengetahuan) dalam suasana kearifan, sebagaimana mekanismenya digambarkan di atas. Pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang terus-meningkat telah mengantarkan manusia pada suatu fase, dimana manusia terdorong untuk mengembangkan tindakan-tindakan manipulatif berbentuk complex adaptive mechanism yang rumit namun eksploitatif di setiap tingkat (level) ekosistem mikro-meso-makro di seluruh pelosok planet bumi. 

Secara keseluruhan mekanisme-mekanisme adaptif (adaptive mechanism) 

tersebut menghasilkan akibat yang sama, yaitu: cenderung terus-menerus menggerus sumberdaya alam secara cepat, memperlemah daya dukung lingkungan (weakening the carrying capacity of the ecosphere) yang mengarah pada terjadinya krisis ekologi (ecological crisis) secara berkepanjangan. Krisis ekologi di planet bumi yang sangat tampak nyata itu antara lain ditunjukkan oleh situasi seperti: (1) kelangkaan sumber pangan yang mengakibatkan bencana kelaparan dan insiden gizi-buruk yang makin meluas; (2) kelangkaan sumber energi, pasca habisnya fossil-fuel energy yang makin serius; (3) pemburukan kualitas kehidupan akibat polusi dan ledakan penduduk di atas habitat yang makin sempit (4) eskalasi erosi, banjir, dan longsor akibat ekspansi kegiatan manusia hingga ke kawasan rawan bencana alam, (5) biodiversity loss akibat eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan, dan last but not least (6) kriminalitas, perilaku menyimpang, dan masalah sosial lain akibat tingginya kompetisi karena terbatasnya relung kehidupan yang memadai bagi g harus dilakukan secara cepat, telah menyebabkan mekanisme pertukaran berlangsung dalam suasana chaotic-organization dimana alam semata-mata menjadi obyek kooptasi, dominasi dan pemuasan kebutuhan manusia tanpa ada ruang dan waktu yang mencukupi baginya untuk meregenerasi dan memberdayakan kemampuannya di alam. Artinya, harkat dan martabat alam menjadi sangat rendah saat berhadap-hadapan (vis a vis) dengan martabat manusia. Proses pertukaran materi, energi dan informasi antara alam dan manusia tak hanya menjadi tidak setara (inequal) lagi, namun juga makin multi-dimensional (melibatkan faktor-faktor yang tidak sederhana: sosial, politik, ekonomi, teknologi, dan budaya) serta menghasilkan ekses-ekses yang dampaknya tidak saja lokal, melainkan juga global. 

Dalam sebuah rumahtangga alam, selalu terkandung asumsi bahwa kondisi internal suatu sistem ekologi (ekosistem) akan senantiasa berada dalam kondisi yang dinamis atau berubah-ubah sesuai bekerjanya kekuatan-kekuatan pengaruh alam (lingkungan atau environment) dan living organism (terutama manusia) dalam melakukan aktivitas. 

Pertumbuhan penduduk yang berjalan sangat pesat dan mengarah pada krisis pangan merupakan kekhawatiran pertama tentang kelangsungan hidup umat manusia di planet bumi. Setelah itu, industrialisasi yang memproduksi berbagai sampah berbahaya dan mengancam status kesehatan manusia menjadi ancaman berikutnya. Kehancuran ekosistem hutan, tanah, udara dan air sebagai akibat tekanan penduduk yang makin tinggi serta aktivitas ekonomi yang sangat eksploitatif, merupakan keprihatianan komunitas dunia yang juga dirasakan meluas. 

Dalam hal ini, krisis ekologi global yang menghantui banyak orang adalah 

berlangsungnya proses-proses technometabolism – proses pengubahan bahan dan materi melalui sentuhan teknologi yang rakus energi – yang terjadi pada masyarakat industri maju. Berbeda dengan natural metabolism, proses produksi industrial itu mengandalkan input materi, bahan baku dan sumberdaya alam serta energi extra-tinggi (yang didatangkan dari luar sistem ekologi setempat) dan sekaligus menghasilkan sampah beracun yang sangat membahayakan eksistensi bumi dan isinya. 

Proses-proses produksi berlangsung dalam suasana heavy-pressure on ecosystem, dimana aktivitas pertukaran dan perekonomian dilangsungkan melalui platform kelembagaan ekonomi korporatisme-kapitalisme yang sangat rakus terhadap sumber energi tak terbarukan. Tiga sub-sistem (biologi, sosial, dan ekologi) yang ditelaah pada sistem “masyarakat konsumsi energi tinggi” menunjukkan kecenderungan-kecenderungan yang mengkhawatirkan bila dibandingkan dengan “masyarakat berburu dan meramu ataupun pertanian tradisional”. 

Semua parameter pada masyarakat konsumsi energi tinggi mengarah pada percepatan tercapainya doomsday scenario (skenario kiamat) bagi planet bumi. Industri-industri berteknologi modern yang sangat rakus energi di kebanyakan negara-negara maju, setiap hari menghasilkan karbondioksida 12000 kali lebih besar daripada apa yang dihasilkan oleh masyarakat pertanian di seluruh planet bumi. Dampak langsung yang ditimbulkan adalah green-house effect (pemanasan global), produksi CFC (Chlorofluorocarbons) berlebihan, sampah industri berbahaya termasuk sampah nuklir, dan munculnya berbagai degenerative and infectious diseases bagi semua mahluk di planet bumi akibat aktivitas industri padat energi. 

Berkaca pada berbagai permasalahan diatas bahwa agar ekologi dapat serasi dan selaras dengan lingkungannya maka kita harus dapat menilai kualitas ekologi yang dimiliki oleh suatu tapak, melalui derajat penilaian yang menggambarkan status keadaan yang dimiliki oleh lingkungan tersebut. Status keadaan lingkungan disebut baik jika nilai kualitasnya tinggi dan sebaliknya. Penilaian kualitas ekologi suatu tapak memerlukan indikator yang berasal dari komponen ekologi. Komponen ekologi merupakan indikator yang dapat diukur secara kuantitatif atau dijelaskan secara kualitatif. Komponen tersebut ialah siklus energi, kestabilan lingkungan abiotik, daya lenting (balik) lingkungan, suksesi ekologi, biodiversitas, nilai unik tapak, dan kestabilan spesies (Thompson dan Steiner, 1997). 

Lingkungan alam memiliki suatu keteraturan. Lingkungan hidup disadari atau tidak oleh kita, memiliki kemajemukan pola, organisasi dan hubungansatu sama lain. Pola keteraturan disadari, karena unsur-unsurnya dapat diduga sebelumnya. Manusia dengan berbagai keterbatasan panca inderanya (pandangan mata dan dan penglihatan) dapat mengantisipasi alam melalui berbagai cara, walaupun umumnya mengandalkan pada generalisasi pengalamannya dimasa lampau. Manusia dengan pandangan mata dan pendengarannya, seringkali lupa bahwa makhluk hidup lain memandang lingkungan hidup berbeda dengan apa yang manusia pandang. Setiap orang dapat melihat dan mendengar di lingkungan sekitarnya, mencium bau tanpa sengaja dan memiliki cita rasa yang tidak tajam. Manusia juga telah biasa menginterpretasi fenomena alam lingkungan hidup di sekelilingnya sebagai sesuatu yang biasa terjadi. 

Kemampuan manusia memahami fenomena alam dibatasi oleh pengetahuan tentang alamnya serta skala ruang dan waktu. Pemahaman manusia terhadap lingkungannya karena indera manusia banyak dibantu oleh pemanfaatan teknologi. Manusia semakin sadar bahwa kegiatannya memiliki dampak terhadap lingkungan alam, tetapi manusia harus tahu bahwa dia merupakan bagian dari lingkungan. 

Perilaku manusia terhadap lingkungan disebabkan karena perilaku manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor dasar, pendukung, pendorong dan persepsi, serta faktor lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, seperti pada Gambar 1. Di antara faktor-faktor pengaruh adalah faktor dasar, yang meliputi pandangan hidup, adat istiadat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat. Faktor pendukung meliputi pendidikan, pekerjaan, budaya dan strata sosial. Sebagai faktor pendorong meliputi sentuhan media massa baik elektronik maupun tertulis, penyuluhan, tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Sejauh mana penyerapan informasi oleh seseorang tergantung dimensi kejiwaan dan persepsi terhadap lingkungan, untuk selanjutnya akan direfleksikan pada tatanan perilakunya. (Ritohardoyo, 2006). 

Selanjutnya tatanan perilaku seseorang dapat digambarkan dalam suatu daur bagan, yaitu rangkaian unsur hubungan interpersonal, sistem nilai, pola pikir, sikap, perilaku dan norma (Ronald, 1988 dalam Ritohardoyo, 2006). Pada dasarnya manusia sebagai anggota masyarakat sangat tergantung pada lahan dan tempat tinggalnya. Di sini terdapat perbedaan antara lahan dan tempat tinggal. Lahan merupakan lingkungan alamiah sedangkan tempat tinggal adalah lingkungan buatan (binaan). Lingkungan binaan dipengaruhi oleh daur pelaku dan sebaliknya (Gambar 2 dan 3.). 

Dalam pengelolaan lingkungan hidup kita juga membutuhkan moralitas yang berarti kemampuan kita untuk dapat hidup bersama makhluk hidup yang lain dalam suatu tataran yang saling membutuhkan, saling tergantung, saling berelasi dan saling memperkembangkan sehingga terjadi keutuhan dan kebersamaan hidup yang harmonis. Refleksi moral akan menolong manusia untuk membentuk prinsip-prinsip yang dapat mengembangkan relasi manusia dengan lingkungan hidupnya. Manusia harus menyadari ketergantungannya pada struktur ekosistem untuk dapat mendukung kehidupannya itu sendiri. Manusia harus dapat beradaptasi dengan lingkungan hidup yang menjadi tempat ia hidup dan berkembang (Mateus dalam Sunarko dan Kristiyanto, 2008) 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PERAN EKOLOGI DALAM KESERASIAN ALAM "

Post a Comment