Pengantar ke studi Komunikasi Politik.

 Pengantar ke studi Komunikasi Politik. Ketika bangunan jangkung setinggi 110 lantai Twin Tower World Trade Center (WTC) di kota Manhattan New York collapse (rontok) akibat serangan bunuh diri teroris yang menabrakkan pesawat komersial ke badan bangunan kembar tersebut, opini publik dunia diarahkan kepada sosok Arab bernama Osama ben Laden. Bagi publik Amerika Serikat, khususnya, sosok “menakutkan” ini merupakan otak di balik segala terror yang melanda publik dan instansi-instansi vital milik Amerika Serikat pada satu decade terakhir ini. 



Akibat peristiwa tanggal 11 September 2001 itu, dengan konstan dan cepat terbentuk opini bahwa kelompok Islam fundamentalis merupakan pelakunya di bawah komando Osama ben Laden. Meskipun Osama sendiri menafikan tuduhan-tuduhan itu. Di Amerika seorang kakek bersorban dari agama Sikh diserang oleh sekelompok pemuda yang marah, mengira sang kakek adalah orang Arab Muslim. Di Australia terjadi penyerangan terhadap mesjid-mesjid dan pelecehan terhadap penganut Agama Islam. Orang-orang Arab Muslim di Amerika merasakan ketakutan terror balik dari publik Amerika non Muslim. 



Mengapa publik dunia begitu cepat mengarahkan tuduhan kepada kelompok muslim fundamentalis ? Apa yang membentuk opini publik begitu cepat ? Mengapa tiba-tiba di dalam masyarakat rasional dan liberal seperti Amerika Serikat berubah menjadi masyarakat yang primordial dan etnosentris ? 



Kita coba menelusuri secara jelas mengenai terbentuknya opini publik dunia. Siaran TV Cabel CNN, Fox News, dan di Asia Channel News Asia berkali-kali mengutip pernyataan para pemimpin AS mulai dari Presiden Bush, Jaksa Agung Ashcroft, pejabat seperti Collin Powell (mantan Sekretaris Negara), Dick Cheney (Wapres), dan lain-lain yang berulangkali mengarahkan tuduhannya kepada Osama, meskipun yang bersangkutan sendiri menafikannya. Publik Amerika Serikat dalam polling yang diadakan oleh The New York Times dan CBS News Poll sebanyak 98 persen menjawab “setuju” untuk aksi militer terhadap negara yang melindungi para pelaku terror meskipun orang-orang sipil tak berdosa ikut terbunuh. Tergambar jelas semangat balas dendam yang membara dalam opini publik Amerika. Sebanyak 85 persen publik AS menyetujui serangan untuk menghabisi Afganistan yang dianggap melindungi Osama. Meskipun mereka tahu Afganistan merupakan negara miskin yang sedang terpuruk oleh perang saudara di dalam negeri mereka yang mengakibatkan ribuan warganya menjadi pengungsi di merata dunia. Demikian pula kasus yang terjadi pada invasi AS terhadap Iraq. 



Dari gambaran kisah dramatis di atas, secara sederhana kita dapat menarik analisis bagaimana dahsyatnya efek dari penggunaan media komunikasi seperti TV, Internet dan Koran dalam pembentukan opini publik. Kalau opini itu diciptakan dan disebar oleh pejabat politik, maka terbentuklah semacam sikap politik (opini politik). Kita ketahui, bagaimana malunya para pejabat AS bila tidak dapat melindungi masyarakatnya dari kejadian memilukan itu. Publik AS akan mempertanyakan kembali seberapa kuatkah sebenarnya militer dan intelijen AS ?, seberapa canggihkah sistem pertahanan AS untuk melindungi warganya? Dan pemerintah yang berkuasa, dalam hal ini Bush, berkepentingan merebut simpati publik bagi kepentingan politik mereka. (Ingat Bush yang berasal dari Partai Republik hanya menang tipis atas Al Gore dari Partai Demokrat dalam pemilihan Presiden AS, itupun masih terjadi perdebatan hukum di tingkat Mahkamah Agung). 



Terlalu banyak contoh tentang pembentukan opini publik dan peranan media massa untuk menjelaskan studi tentang komunikasi politik ini. Anda dapat merujuknya mulai dari pengamatan sederhana di lingkungan terdekat Anda, seperti kisah sukses dan kisah ironis di tengah proses reformasi yang sekarang ini sedang dihadapi oleh bangsa kita. Misalnya bagaimana kemampuan media massa mengeksploitasi atau dieksploitasi oleh opini publik untuk mengangkat atau menjatuhkan seseorang. Kadang-kadang seseorang yang tidak memiliki opini yang substansial dapat menjadi pemimpin opini, karena olahan media. Pasca reformasi ini kita dapat menemukan semakin tersebarnya tokoh-tokoh masyarakat yang muncul baik secara “kagetan” maupun tidak di tengah-tengah masyarakat. Apabila mereka mampu menguasai media massa, maka ia dapat memanfaatkan sumber daya ini untuk memperkuat sumber daya politiknya. Pada akhirnya ia dapat memimpin opini publik untuk membela kepentingan dirinya. 



Terbentuknya opini publik untuk kepentingan politik merupakan salah satu bidang kajian komunikasi politik. Studi komunikasi politik ini sebenarnya merupakan bidang studi yang masih sangat baru, meskipun cikal bakal studi ini sudah dirintis sejak Harold D. Lasswell meneliti tentang opini publik, propaganda dan komunikasi (1935). Sejak itu Lasswell “dinobatkan” sebagai perintis dan pelopor penelitian propaganda dan komunikasi politik. Wilbur Schramm (1980) salah satu sarjana yang objek studinya pada komunikasi menganggap Lasswell sebagai Bapak Ilmu Komunikasi. 



Di Eropa, meskipun studi komunikasi politik telah dirintis sejak tahun 1922 ketika sarjana sosiologi terkenal Ferdinand Tonnies menerbitkan hasil penelitiannya tentang sifat opini publik pada masyarakat massa, atau bahkan pada akhir abad ke-19 ketika Bagehot, Maine, David Bryce dan Graham Wallace di Inggris menelaah peranan pers dalam pembentukan opini publik, namun studi komunikasi politik sebagai disiplin yang berdiri sendiri baru hadir pada tahun 1960-an. 



Sebagai sebuah disiplin baru, studi komunikasi politik telah memanfaatkan sumbangan dari berbagai disiplin ilmu lain. Sifat multidisipliner dari studi ini ditegaskan oleh Dan Nimmo (1981) bahwa “political communication as a field of inquiry is cross disciplinary”. Misalnya: Antropologi dan Sosiologi yang mempelajari sosiolinguistik dan simbolisme berjasa bagi studi bahasa politik. Psikologi dan Psikologi Sosial memberikan kontribusi bagi landasan studi efek pesan politik, konstruk politik, dan sosialisasi politik. Retorika menyediakan metode historis, kritis, dan kuantitatif untuk menganalisis retorika politik. Ilmu politik sendiri menyediakan landasan bagi studi perilaku pemilih (voting behavior) dan pemimpin politik. Sibernetika menyediakan pendekatan system untuk memandang komunikasi politik secara holistic. Serta filsafat eksistensialisme dan fenomenologi melahirkan teori kritis dalam komunikasi politik. 



Oleh karena sifatnya yang multidisipliner, disamping memperkaya bidang kajiannya, studi komunikasi politik seringkali juga menjadi terlalu luas. Misalnya mulai dari pengkajian komunikasi politik melalui media massa seperti yang dilakukan oleh Davis & Kraus yang menerbitkan “The Effects of Mass Communications Political Behavior” (1976), simbolisme politik (perlambang) yang dirintis oleh Harold Lasswell (1935), politikolinguistik oleh Fishmen, 1970, Franck dan Weisband, 1972, sampai pada hubungan komunikasi dengan system politik oleh Chaffee 1975, dan Davis & Kraus 1976. 



Fagen mendefinisikan komunikasi politik sebagai “communicatory activity considered political by virtue of its consequences, actual and potential, that it has for the functioning of political systems” ( aktifitas komunikasi yang bersifat politis yang akibat-akibatnya, baik nyata maupun terpendam, dapat menjadikan sistem politik berjalan secara fungsional). ( R. Fagen; Politics and Communication, Little Brown, Boston, 1966, hal. 20). Komunikasi politik merupakan kegiatan berkomunikasi yang dianggap politis berdasarkan atas segala konsekuensinya baik yang nyata maupun terpendam, sehingga ia berpengaruh terhadap jalannya sistem politik. Jelas definisi ini masih terlalu luas (all encompassing). R.B. Meadow dalam tulisannya “Politics as Communication” (1980) mendefinisikan bahwa “political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system” (komunikasi politik merujuk kepada berbagai pertukaran simbol-simbol atau pesan-pesan sehingga sampai pada taraf tertentu telah diberi bentuk oleh, atau memiliki akibat bagi, sistem politik). Dan Nimmo sendiri mendefinisikan komunikasi politik sebagai “communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflict” (aktifitas komunikasi yang bersifat politis dengan segala konsekuensinya – baik nyata atau terpendam – yang mengatur perilaku manusia di bawah syarat konflik). 



Memang sulit kita menemukan sebuah definisi yang disepakati ramai ahli, sehingga setelah mempelajari materi ini anda dapat merumuskan sendiri definisi tentang komunikasi politik. Tetapi Nimmo telah menggunakan taksonomi Lasswell untuk membuka wacana tentang komunikasi politik, yaitu: Who says what with what channel to whom with what effect. 

Who says adalah para komunikator; aktifis politik, pemerintah atau pengamat. 

What adalah pesan-pesan atau simbol politik; permainan bahasa atau eufemisme untuk mempengaruhi dan meyakinkan publik melalui propaganda, iklan, dan retorika. 

What channel adalah dengan saluran atau media apa; interpersonal, organisasional, maupun massal. 

To whom adalah khalayak atau publik. 

What effect adalah kesan dan akibat dari proses komunikasi politik; terprovokasi, bertindak politik, mendukung, dan lain sebagainya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pengantar ke studi Komunikasi Politik. "

Post a Comment