Memahami Tentang Kesehatan Reproduksi

1. Kesehatan Reproduksi

Kesehatan reproduksi menurut WHO (1996) adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecatatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Agar dapat melaksanakan fungsi reproduksi secara sehat, dalam pengertian fisik, mental maupun sosial, diperlukan beberapa prasyarat. Pertama, agar tidak ada kelainan anatomis dan fisiologis baik pada perempuan maupun laki-laki, antara lain memiliki kelenjar-kelenjar penghasil hormon yang mampu memproduksi hormon-horman yang diperlukan untuk memfasilitasi pertumbuhan fisik dan fungsi sistem dan organ reproduksinya. Agar semua pertumbuhan itu berlangsung dengan baik, perlu makanan dengan mutu gizi yang baik dan seimbang. Kedua, baik laki-laki maupun perempuan memerlukan landasan psikis yang memadai agar perkembangan emosinya berlangsung dengan baik. Ketiga, setiap orang hendaknya terbebas dari kelainan atau penyakit, baik langsung maupun tidak langsung mengenai organ reproduksinya. Setiap kelainan atau penyakit pada organ reproduksi, akan menggangu kemampuan seseorang dalam menjalankan tugas reproduksinya. Keempat, seorang perempuan hamil memerlukan jaminan bahwa ia akan dapat melewati masa tersebut dengan aman. Kehamilan adalah sebuah proses fisiologis. Meskipun demikian, kehamilan dapat pula mencelakai atau mengganggu kesehatan perempuan yang mengalaminya. Kehamilan dapat menimbulkan kenaikan tekanan darah tinggi, pendarahan, dan bahkan kematian. 



a. Ruang Lingkup Masalah Kesehatan Reproduksi

Isu-isu yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi kadang merupakan isu yang pelik dan sensitif, seperti hak-hak reproduksi, kesehatan seksual, penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS, kebutuhan khusus remaja dan perluasan jangkauan pelayanan kelapisan masyarakat kurang mampu atau meraka yang tersisih. Defenisi kesehatan reproduksi mencakup kesehatan seksual yang mengarah pada peningkatan kualitas hidup dan hubungan antar individu, jadi bukan hanya konseling dan pelayanan untuk proses reproduksi dan PMS. Sejauh mana seseorang dapat menjalankan fungsi dan proses reproduksinya secara aman dan sehat sesungguhnya tercermin dari kondisi kesehatan selama siklus kehidupannya, mulai dari saat konsepsi, masa anak, remaja, dewasa, hingga masa pasca usia reproduksi. Menurut program kerja WHO ke IX (1996-2001), masalah kesehatan reproduksi ditinjau dari pendekatan siklus kehidupan keluarga, meliputi, praktek tradisional yang berakibat buruk semasa anak-anak (seperti mutilasi, genital, deskriminasi nilai anak), masalah kesehatan reproduksi remaja (kemungkinan besar dimulai sejak masa kanak-kanak yang seringkali muncul dalam bentuk kehamilan remaja, kekerasan atau pelecehan seksual dan tindakan seksual yang tidak aman), tidak terpenuhinya kebutuhan ber-KB yang biasanya terkait dengan isu aborsi tidak aman, mortalitas dan morbiditas ibu dan anak (sebagai kesatuan) selama kehamilan, persalian dan masa nifas, yang diikuti dengan malnutrisi, anemia, berat bayi lahir rendah, Infeksi saluran reproduksi, yang berkaitan dengan penyakit menular seksual, kemandulan, yang berkaitan erat dengan infeksi saluran reproduksi dan penyakit menular seksual, sindrom pre dan post menopause dan peningkatan resiko kanker organ reproduksi, kekurangan hormon yang menyebabkan osteoporosis dan masalah ketuaan lainnya. 



b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Reproduksi

Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat berdampak buruk bagi keseshatan reproduksi:

a. Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil).

b. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan yang lain).

c. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang membeli kebebasannya secara materi).

d. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular seksual).

Pengaruh dari semua faktor diatas dapat dikurangi dengan strategi intervensi yang tepat guna, terfokus pada penerapan hak reproduksi wanita dan pria dengan dukungan disemua tingkat administrasi, sehingga dapat diintegrasikan kedalam berbagai program kesehatan, pendidikan, sosial dam pelayanan non kesehatan lain yang terkait dalam pencegahan dan penanggulangan masalah kesehatan reproduksi. Strategi kesehatan reproduksi menurut komponen pelayaanan kesehatan reproduksi komprehensif meliputi, kesehatan reproduksi remaja sebagai upaya promosi dan pencegahan masalah kesehatan reproduksi juga perlu diarahkan pada masa remaja, dimana terjadi peralihan dari masa anak menjadi dewasa, dan perubahan-perubahan dari bentuk dan fungsi tubuh terjadi dalam waktu relatif cepat. Hal ini ditandai dengan berkembangnya tanda seks sekunder dan berkembangnya jasmani secara pesat, menyebabkan remaja secara fisik mampu melakukan fungsi proses reproduksi tetapi belum dapat mempertanggungjawabkan akibat dari proses reproduksi tersebut. Informasi, penyuluhan, konseling dan pelayanan klinis perlu ditingkatkan untuk mengatasi masalah kesehatan reproduksi remaja ini.



2. Pendidik Sebaya (Peer Educator)

Peer group merupakan institusi sosial kedua setelah keluarga yang memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan remaja. Di dalam peer group terjadi proses belajar sosial, dimana individu mengadopasi kebiasaan, sikap, ide, keyakinan, nilai-nilai, dan pola-pola tingkah laku dalam masyarakat, serta mengembangkannya menjadi kesatuan sistem dalam dirinya. Selain itu, mereka juga bebas mengekspresikan sikap, penilaian, serta sikap kritisnya dan belajar mendalami hubungan yang sifatnya personal (Vembriarto, 1992: p.275). 

Dalam peer group terjalin hubungan yang erat dan bersifat pribadi. Mereka mendiskusikan tentang masalah dan menemukan sesuatu yang tidak mereka temukan di rumah. Hubungan yang bersifat pribadi menyebabkan seseorang dapat mencurahkan isi hatinya kepada teman-temannya baik sesuatu yang menyenangkan atau menyedihkan. Dalam kelompok ini terjadi kerjasama, tolong menolong, namun sering juga terjadi persaingan dan pertentangan. Ciri-ciri mendasar peer group adalah jumlah anggota relatif kecil, adanya kepentingan yang bersifat umum dan dibagi secara langsung, terjadi kerja sama dalam suatu kepentingan yang diharapkan, dan adanya pengertian pribadi serta saling hubungan yang tinggi antar anggota dalam kelompok (Vembriarto, 1992: p.277).

Pengetahuan reproduksi pada remaja sangat efektif dalam mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pengetahuan teman-teman sebayanya. Apabila teman sebaya memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi yang memadai, maka mereka akan memberikan pengetahuan ini kepada temannya. Dengan harapan mereka dapat mempengaruhi temannya untuk mengambil keputusan yang sehat dan bertanggung jawab serta mampu melakukan kontrol. Sebaliknya, apabila pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi rendah, maka yang beredar di kalangan remaja adalah informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, termasuk mitos-mitos yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi yang cenderung menyesatkan. Peer group harus berupaya mengembangkan potensi diri dan teman sebayanya, mengajak teman sebayanya untuk mengakses layanan kesehatan reproduksi serta memiliki berbagai keterampilan sebagai pendidik sebaya dan konselor sebaya, seperti keterampilan sosio emosional, keterampilan mengumpulkan informasi seputar kesehatan reproduksi, dan keterampilan membantu klien dalam mengambil keputusan.

Dalam konteks peer group, pendidikan kesehatan dilakukan melalui pendidik sebaya (peer educator). Pendidik sebaya adalah orang yang menjadi narasumber bagi kelompok sebayanya (BKKBN dan YAI, 2002: p.1). Mereka adalah orang yang aktif dalam kegiatan sosial di lingkungannya, misalnya di karang taruna, pramuka, OSIS, pengajian, PKK, dan sebagainya, serta memiliki kriteria sebagai berikut (Depkes RI, 2004: p.10-13):

(1) Mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik dan mampu mempengaruhi teman sebayanya;

(2) Mempunyai pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, hukum, agama, serta peraturan perundang-undangan mengenai kesehatan reproduksi;

(3) Mempunyai hubungan pribadi yang baik serta memiliki kemampuan untuk mendengarkan pendapat orang lain;

(4) Mempunyai perilaku yang cenderung tidak menghakimi;

(5) Mempunyai rasa percaya diri dan sifat kepemimpinan; serta

(6) Mampu melaksanakan pendidikan kelompok sebaya. 



Peer educator sangat diperlukan karena mereka menggunakan bahasa yang kurang lebih sama sehingga informasi mudah dipahami oleh teman sebayanya. Teman sebaya juga mudah untuk mengemukakan pikiran dan perasaannya di hadapan peer educator. Melalui peer educator, pesan-pesan sensitif dapat disampaikan secara lebih terbuka dan santai sehingga pengetahuan remaja, terutama masalah seksualitas dan kesehatan reproduksi banyak diperoleh (BKKBN dan YAI, 2002: p.5). Berdasarkan kriteria tersebut, maka seorang peer educator harus memainkan peran sebagai fasilitator bagi remaja perihal kesehatan reproduksi sehingga nilai-nilai yang disampaikan dalam pendidikan kesehatan reproduksi sesuai dengan kebutuhan remaja itu sendiri. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Memahami Tentang Kesehatan Reproduksi"

Post a Comment