Komunikasi Politik dan Pembentukan Citra.


Hasil Pemilihan Presiden putaran I sungguh mengejutkan! Calon-calon Presiden yang diusung oleh 2 partai besar pemenang Pemilu Legislatif justru mendapat suara di bawah calon dari partai urutan 5 di legislatif. Pasangan Wiranto-Wahid dari Golkar hanya mendapat 24 % suara, dan pasangan Mega-Hasyim dari PDI-P hanya mendapat sekitar 26 % suara, jauh di bawah suara yang dikumpulkan oleh pasangan SBY-Kala sebesar 34%. 


Bagaimana menjelaskan fenomena adanya sekian banyak calon atau kandidat Presiden, tetapi hanya SBY-Kalla yang meraih simpati lebih besar dari publik. Bila kita amati juga hasil Pemilihan Presiden putaran final, kita mendapati adanya ”perang citra” antara dua kandidat yaitu Mega-Hasyim versus SBY-Kalla, yang kemudian dimenangkan oleh SBY-Kalla. Bagaimana sebuah citra politik terhadap sosok kandidat Presiden terbentuk? Apakah media yang efektif digunakan untuk mendongkrak citra seseorang? Dan konten apa yang harus diramu dalam membangun citra (image building) seseorang agar dapat mempengaruhi perilaku memilih dikalangan masyarakat? 



Pada tahap tertentu kita meyakini adanya media politik. Ketika sampai pada media politik, maka kita harus berpaling kepada tiga aktor utama yang bermain, yaitu para politisi, wartawan (jurnalis), dan warga pemilih. Di mana masing-masing aktor memiliki motif tertentu. Bagi para politisi, tujuan media politik adalah untuk menjadikan komunikasi massa sebagai alat mobilisasi dukungan publik yang diperlukan pada saat Pemilu atau agar program-program mereka dapat dilaksanakan pada saat mereka memerintah. Bagi para jurnalis pula, media politik digunakan untuk menghasilkan cerita yang menarik audiens yang luas dan memposisikan diri sebagai ”suara yang netral dan menentukan”. Dan bagi warga pemilih, media digunakan agar para politisi lebih akuntabel (lebih bertanggung jawab) sekalipun perhatian dan upaya mereka minim.


The Candidate
Oleh: Budi Setiono

SEORANG pemuda aktivis sosial yang menarik, pintar, dan bersemangat suatu ketika didekati seorang manajer kampanye profesional. Diyakinkannya pemuda itu agar mencalonkan diri bagi jabatan pemerintah. Sang pemuda setuju. Manajer itu lantas bergerak cepat. Sebuah tim sukses dibentuknya. Ada rombongan pollster (petugas polling), pembuat film, pembuat iklan, wartawan, penulis pidato, perias, dan sebagainya. Semuanya bekerja dengan satu tujuan: mencetak, mengepak, dan menjual kandidat itu melalui kampanye periklanan massal yang canggih.
 
Pemilihan usai. Sang kandidat menang. Tapi keraguan menerpanya. Dengan rasa khawatir dia merenung, apakah dirinya benar-benar memiliki kualifikasi sebagai pejabat pemerintah. Dia kembali kepada (mantan) manajer kampanyenya, seorang bayaran yang telah siap mencari wajah baru untuk dijual, dan bertanya, “Tapi, apa yang kita lakukan sekarang?”

Adegan penutup film The Candidate itu sangat bagus dan bermuatan satiristik. Adegan itu menjelaskan bahwa “produk” tak dikenal dapat dijual kepada pemilih sebagai konsumen. Dan Nimmo, dalam karya monumentalnya Komunikasi Politik, menyebutnya sebagai objek pelajaran dalam dimensi periklanan dari persuasi politik.

Dalam pemilihan umum (Pemilu) 2004, juga Pemilu 1999, kita menyaksikan bagaimana sejumlah kandidat, entah itu legislatif maupun presiden, sudah menggunakan cara-cara komunikasi modern. Kandidat kepala daerah di sejumlah dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) mungkin sudah menerapkan pula. Mereka menerapkan apa yang dikenal dengan political marketing, yang merupakan serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, untuk menyebarkan makna politik kepada para pemilih.
 
Apa saja komponennya? Dalam pemasaran ada yang dikenal dengan istilah bauran pemasaran, lazim disingkat 4P. Product berarti kandidat dan gagasan-gagasannya. Price bisa dilihat sebagai atribut dan pernik-pernik dari sang kandidat. Promotion adalah upaya periklanan, kehumasan, dan promosi. Place merupakan tempat konstituen dapat menemukan berbagai hal tentang seorang kandidat –contohnya Warung Wiranto dalam Pilpres 2004.

Tentu saja konsep pemasaran, yang lazim untuk produk komersial, tidak bisa diterapkan begitu saja. Perlu pendekatan yang khas karena produk politik berbeda dari produk komersial. Apalagi waktunya relatif singkat. Selain itu para kandidat akan dihadapkan pada soal keterbatasan dana, jaringan yang tertata rapi dan solid, pengalaman, dan rekam jejak dalam kegiatan politik.

Di sinilah tim sukses, atau konsultasi komunikasi yang menanganinya, mesti menyiapkan dan membuat program kampanye yang bagus, tepat sasaran, dan menjual.
Mengembangkan isu. Menyusun kebijakan politik. Membangun citra personal maupun sosial. Melakukan pendekatan emosional, dan sebagainya.
 
Tim sukses mesti menentukan segmententasi terlebih dulu, baik secara demografis, geografis, psikografis, geopolitik, maupun sistem nilai. Segmentasi juga bisa didasarkan atas isu atau kepentingan politik di masing-masing wailayah yang tentu saja berbeda-beda. Skala prioritas (captive market) penting karena faktor “kepastiannya”. Seorang kandidat cenderung punya pendukung utama di wilayahnya. Faktor agama dan etnik juga bisa dipakai untuk mengikat atau memberikan penawaran kepada konstituen. Dan tak kalah penting, positioning, yang pada dasarnya bagaimana masuk di benak konsumen melalui keunggulan sang kandidat. Misalnya, ada kandidat menegaskan diri sebagai pengayom “wong cilik”.

Tim sukses juga mesti memilih media yang tepat, serta menyiapkan pendekatan, cara, dan strategi kampanye seefektif dan seefisien mungkin.
Baik melalui below the line (media cetak) maupun above the line (media elektronik). Dari situ membuat program komunikasi, melakukan analisis SWOT, menentuan khalayak sasaran, menentukan inti pesan, hingga langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menerapkan strategi kampanye. Pada akhirnya adalah penerapan dan penjabaran strategi kampanye dengan memperhatikan situasi maupun state of mind (tingkat kesadaran) khalayak sasaran. Di sini pesan sebagai inti komunikasi harus relevan, benar, dan tepat. Pesan-pesan harus berangkat dari kekuatan dan aset utama kandidat.

Dan inilah pesta demokrasi. Pesta bagi media menangguk iklan. Percetakan dan tukang sablon mendapat order. Bagi warga, yang kini bisa menentukan pemimpinnya sendiri, berebut kaos. Diperkirakan, karena hendak merebut hati pemilih, uang juga bertebaran, jalan-jalan akan mulus. Nikmati saja tanpa lupa bersikap selektif dan kritis. Mungkin pertanyaan dan jawaban sekaligus yang dibuat Dan Nimmo bisa jadi acuan:

Apakah semua persuader berbohong? Tidak, tapi banyak yang berbohong.
Apakah semua persuader menggunakan kata, tindakan, logika, dan gaya hanyalah sebagai akal-akalan penjaja untuk menyelimuti maksud mereka dan fakta yang sebenarnya? Lagi-lagi tidak, tapi ada yang dengan seksama menonjolkan tanda-tanda kecantikan dan menggunakan kosmetik untuk menutupi cacat. Apakah setiap ide itu pura-pura dan setiap akal-akalan adalah palsu? Tidak perlu, tapi biarlah pembeli waspada.
 
Untuk para kandidat, ingatlah bahwa, dalam bahasa pemasaran, membujuk kembali seorang konstituen yang kecewa akan jauh lebih sulit daripada mencari seratus simpatisan baru. Lebih parah lagi, ke-100 simpatisan tersebut akan lebih mendengar pengalaman dari orang yang kecewa itu ketimbang seratus pesan politik Anda.*



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " Komunikasi Politik dan Pembentukan Citra."

Post a Comment