Kemampuan Penyesuaian Diri


sebagai Dasar Kesehatan Mental 
Oleh: Bagus Takwin 

“Calon anggota DPR harus sehat fisik maupun mental.” 

“Banyak manusia Indonesia yang tidak sehat mental.” 

“Jangan sampai calon presiden kita tidak sehat mentalnya.” 

Ketiga kutipan di atas mengandung satu istilah yang sama: sehat mental. Istilah ini belakangan banyak dibicarakan orang menjelang pemilu. Beberapa caleg dinyatakan tidak memenuhi kualifikasi dan ditolak pencalonannya karena dinilai tidak sehat mental. Apakah yang dimaksud dengan sehat mental? Apa pula yang dimaksud dengan tidak sehat mental? Dalam keseharian kita, pengertian istilah ‘sehat mental’ dan ‘tidak sehat mental’ sering kabur. Sehat mental sering dipahami dalam arti waras atau tidak gila. Sehat mental juga diarikan sebagai tidak pernah dirawat di rumah sakit jiwa. Sedangkan tidak sehat mental atau sakit mental diartikan sebagai gila, tidak waras dan tidak nyambung dengan lingkungan sekitar. 

Meskipun pengertian-pengertian itu mengandung sebagian arti yang berkesesuaian istilah ‘sehat mental’ dan ‘tidak sehat mental’ dalam pengertian ilmiah tetapi tidak memadai untuk menjelaskan apa itu ‘sehat mental’ dan ‘tidak sehat mental’. Pengertian-pengertian itu dapat mengaburkan gejala yang dirujuk oleh kedua istilah tersebut. Agar dapat memahami kondisi sebenarnya dari gejala yang dirujuk kedua istilah itu diperlukan batasan yang lebih memadai. 

Psikologi sebagai bidang ilmu yang salah satu kekhususannya adalah meneliti persoalan kesehatan mental memberikan pengertian yang lebih memadai bagi kita. Pengertian itu dapat membantu kita untuk memperjelas pemahaman tentang apa itu ‘sehat mental’ dan ‘tidak sehat mental’. 



Pengertian sehat mental dan Kesehatan Mental 

Untuk memahami pengertian sehat mental, perlu dipahami pengertian ‘sehat’ yang terkandung dalam istilah itu. Apa yang dimaksud dengan sehat? Orientasi klasik yang umumnya digunakan dalam kedokteran termasuk psikiatri mengartikan sehat sebagai kondisi tanpa keluhan, baik fisik maupun mental. Orang yang sehat adalah orang yang tidak mempunyai keluhan tentang keadaan fisik dan mentalnya. Sehat fisik artinya tidak ada keluhan fisik. Sedang sehat mental artinya tidak ada keluhan mental. 

Dalam ranah psikologi, pengertian sehat seperti ini banyak menimbulkan masalah ketika kita berurusan dengan orang-orang yang mengalami gangguan jiwa yang gejalanya adalah kehilangan kontak dengan realitas. Orang-orang seperti itu tidak merasa ada keluhan dengan dirinya meski hilang kesadaran dan tak mampu mengurus dirinya secara layak. Apakah orang-orang ini dapat dikatakan sehat karena tidak mengeluh dan merasa dirinya baik-baik saja? Lalu, jika ada orang mengeluh bahwa pekerjaannya sekarang belum memberi kepuasan kepada dirinya, apakah orang ini tidak sehat mental? Begitu juga jika orang yang memiliki cita-cita yang tinggi dan mengeluh belum dapat mencapainya, apakah orang ini pun tidak sehat mental? 

Pengertian sehat mental dari orientasi klasik kurang memadai untuk digunakan dalam konteks psikologi. Mengatasi kekurangan itu dikembangkan pengertian baru dari kata ‘sehat’. Sehat atau tidaknya seseorang secara mental belakangan ini lebih ditentukan oleh kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Orang yang memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya dapat digolongkan sehat mental. Sebaliknya orang yang tidak dapat menyesuaikan diri digolongkan sebagai tidak sehat mental. 

Dengan menggunakan orientasi penyesuaian diri, pengertian sehat mental tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan tempat individu hidup. Oleh karena kaitannya dengan standar norma lingkungan terutama norma sosial dan budaya, kita tidak dapat menentukan sehat atau tidaknya mental seseorang dari kondisi kejiwaannya semata. Ukuran sehat mental didasarkan juga pada hubungan antara individu dengan lingkungannya. Seseorang yang dalam masyarakat tertentu digolongkan tidak sehat atau sakit mental bisa jadi dianggap sangat sehat mental dalam masyarakat lain. Artinya batasan sehat atau sakit mental bukan sesuatu yang absolut. 

Berkaitan dengan relativitas batasan sehat mental, ada gejala lain yang juga perlu dipertimbangkan. Kita sering melihat seseorang yang menampilkan perilaku yang diterima oleh lingkungan pada satu waktu dan menampilkan perilaku yang bertentangan dengan norma lingkungan di waktu lain. Misalnya ia melakukan agresi yang berakibat kerugian fisik pada orang lain pada saat suasana hatinya tidak enak tetapi sangat dermawan pada saat suasana hatinya sedang enak. Dapat dikatakan bahwa orang itu sehat mental pada waktu tertentu dan tidak sehat mental pada waktu lain. Lalu secara keseluruhan bagaimana kita menilainya? Sehatkah mentalnya? Atau sakit? Orang itu tidak dapat dinilai sebagai sehat mental dan tidak sehat mental sekaligus. 

Dengan contoh di atas dapat kita pahami bahwa tidak ada garis yang tegas dan universal yang membedakan orang sehat mental dari orang sakit mental. Oleh karenanya kita tidak dapat begitu saja memberikan cap ‘sehat mental’ atau ‘tidak sehat mental’ pada seseorang. Sehat atau sakit mental bukan dua hal yang secara tegas terpisah. Sehat atau tidak sehat mental berada dalam satu garis dengan derajat yang berbeda. Artinya kita hanya dapat menentukan derajat sehat atau tidaknya seseorang. Dengan kata lain kita hanya bicara soal ‘kesehatan mental’ jika kita berangkat dari pandangan bahwa pada umumnya manusia adalah makhluk sehat mental, atau ‘ketidak-sehatan mental’ jika kita memandang pada umumnya manusia adalah makhluk tidak sehat mental. 

Pandangan yang digunakan di sini adalah pendekatan yang menegaskan manusia pada umumnya adalah makhluk sehat mental jadi istilah yang digunakan untuk menilai sehat atau tidaknya mental seseorang adalah ‘kesehatan mental’. Dengan pandangan ini penentuan sehat atau sakit mental dilihat sebagai derajat kesehatan mental. Selain itu, berdasarkan orientasi penyesuaian diri, kesehatan mental perlu dipahami sebagai kondisi kepribadian seseorang secara keseluruhan. Penentuan derajat kesehatan mental seseorang bukan hanya berdasarkan jiwanya tetapi juga berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan seseorang dalam lingkungannya. Kesehatan mental seseorang sangat erat kaitannya dengan tuntutan-tuntutan masyarakat tempat ia hidup, masalah-masalah hidup yang dialami, peran sosial dan pencapaian-pencapaian sosialnya. 

Berdasarkan orientasi penyesuaian diri, kesehatan mental memiliki pengertian kemampuan seseorang untuk dapat menyesuaikan diri sesuai tuntutan kenyataan di sekitarnya. Tuntutan kenyataan yang dimaksud di sini lebih banyak merujuk pada tuntutan yang berasal dari masyarakat yang secara konkret mewujud dalam tuntutan orang-orang yang ada di sekitarnya. M. Jahoda, seorang pelopor gerakan kesehatan mental, memberi definisi kesehatan mental yang rinci. Dalam definisinya, “kesehatan mental adalah kondisi seseorang yang berkaitan dengan penyesuaian diri yang aktif dalam menghadapi dan mengatasi masalah dengan mempertahankan stabilitas diri, juga ketika berhadapan dengan kondisi baru, serta memiliki penilaian nyata baik tentang kehidupan maupun keadaan diri sendiri.” 

Definisi dari Jahoda mengandung istilah-istilah yang pengertiannya perlu dipahami secara jelas yaitu penyesuaian diri yang aktif, stabilitas diri, penilaian nyata tentang kehidupan dan keadaan diri sendiri. 

Penyesuaiaan diri berhubungan dengan cara-cara yang dipilih individu untuk mengolah rangsangan, ajakan dan dorongan yang datang dari dalam maupun luar diri. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh pribadi yang sehat mental adalah penyesuaian diri yang aktif dalam pengertian bahwa individu berperan aktif dalam pemilihan cara-cara pengolahan rangsang itu. Individu tidak seperti binatang atau tumbuhan hanya reaktif terhadap lingkungan. Dengan kata lain individu memiliki otonomi dalam menanggapi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. 

Penyesuaian diri yang dilakukan orang sehat mental tidak menyebabkan bergantinya kepribadian. Perubahan-perubahan dalam diri individu tidak mengubah secara drastis dirinya. Pada orang sehat mental stabilitas diri dipertahankan. Dalam menyesuaian diri dengan lingkungan, individu dapat menerima apa yang ia anggap baik dan menolak apa yang ia anggap buruk berdasarkan pegangan normatif yang ia miliki. Di sini terlihat adanya otonomi diri dalam penyesuaian diri yang memperlihatkan stabilitas diri individu. Otonomi ini menandakan bahwa ada pusat diri pada manusia yang mengorganisasi keseluruhan dirinya. Meski penyesuaian diri perlu terus dilakukan namun kondisi dalam diri tetap stabil dan memiliki kesatuan. Keadaan diri yang stabil dan berkesatuan itu selalu dipertahankan oleh individu yang sehat. 

Penyesuaian diri pada orang yang sehat selalu didasarkan pada penilaian terhadap kehidupan dan keadaan diri sendiri. Pilihan cara-cara menanggapi rangsangan, ajakan dan dorongan selalu didasarkan pada pertimbangkan kondisi kehidupan yang sedang dijalaninya yang diperbandingan dengan kondisi diri sendiri. Orang yang sehat akan melihat masalah nyata apa yang dihadapinya dan bagaimana kondisi dirinya berkaitan dengan masalah itu sebelum menentukan tindakan yang akan diambil. Di sini terlihat bahwa orang yang sehat memiliki kemampuan memahami realitas internal dan eksternal dirinya. Ia tidak bereaksi secara mekanik atau kompulsif-repetitif tetapi berespons secara realistis dan berorientasi pada masalah. 

Dengan batasan-batasan kesehatan mental seperti yang diuraikan tadi, kita dapat pula mengenali tanda-tanda gangguan kesehatan mental. Individu yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan menunjukkan adanya masalah kesehatan mental. Dalam penelitian-penelitian psikologi klinis ditemukan bahwa gangguan stres berat, depresi, frustasi yang menyebabkan agresi, histeria, bahkan psikopati dan psikosis kebanyakan disebabkan oleh ketidakmampuan penderitanya dalam menghadapi kenyataan yang terjadi padanya. Begitu pula dengan individu-individu yang hanya bertindak reaktif terhadap rangsangan, dorongan dan ajakan. Mereka tidak mampu mengontrol dan menguasai diri sendiri sehingga tidak mampu menampilkan perilaku yang tepat dalam setiap kondisi yang dihadapinya. Individu yang tidak mampu mempertahankan stabilitas diri juga mengindikasikan adanya gangguan mental dalam hal otonomi dan kesatuan diri. Disintegrasi diri merupakan ciri utama pada gangguan-gangguan psikosis. Ketiadaan atau kekurangan kemampuan menilai lingkungan dan diri sendiri secara realistis sehingga tidak mampu mengambil keputusan yang tepat juga menjadi indikasi dari adanya gangguan atau hambatan dalam perkembangan mental. Gangguan yang berkaitan dengan kemampuan menilai lingkungan dan diri secara realistis ini dapat mengarahkan orang pada gangguan neurosis dan psikosis.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kemampuan Penyesuaian Diri "

Post a Comment