Farmakologi Natrium Diklofenak


1.1.1      Natrium Diklofenak adalah derivat sederhana dari asam fenil asetat yang menyerupai flurbiprofen dan meclofenamat. Potensinya lebih besar atau dari indometasin atau dari naproksen. Obat ini memiliki sifat-sifat antiinflamasi, analgesik dan antipiretik. Obat ini digunakan untuk efek-efek analgetik dan antipiretik pada symptom artritis reumatoid.
Natrium Diklofenak cepat diabsorpsi melalui saluran cerna setelah pemberian oral, efek analgetik dimulai setelah 1 jam dan mempunyai waktu paruh 1-2 jam. Natrium Diklofenak terakumulasi dalam cairan synovial setelah pemberian oral yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut (katzung, 1997).
Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala. Efek samping yang terjadi pada kira-kira 20% penderita meliputi distres saluran cerna, pendarahan saluran cerna dan timbulnya tukak lambung (Tjay. 2002).
Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini terikat 99 % pada protein plasma. Natrium Diklofenak diakumulasi dicairan sinovial yang menjelaskan efek terapi disendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut. Pemakaian obat ini harus berhati – hati pada penderita tukak lambung. Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan (Ganiswarna, 1995).
Natrium Diklofenak merupakan salah satu golongan obat antiinflamasi non steroid (OAINS) yang banyak digunakan untuk nyeri dan inflamasi. Natrium Diklofenak dalam bentuk lepas lambat terkendali adalah salah satu teknologi yang dikembangkan untuk memperbaiki toleransi Natrium Diklofenak. Beberapa studi klinis Natrium Diklofenak yang diberikan sebagai monoterapi atau kombinasi, menunjukkan obat ini efektif meredakan gejala osteoarthritis maupun rheumatoid arthritis (Anonim a , 2006).
2.1.3  Dosis Pemakaian
Dosis oral 3 kali sehari 25-50 mg setelah makan, rektal 1 kali sehari 50 mg sampai 100 mg, i.m. Pada nyeri kolik atau  serangan encok: 1-2 kali sehari 75 mg selama 1-3 hari  (Tjay. T.H, 2000).

2.2     Spektrofotometri
Spektrofotometri merupakan pengukuran suatu interaksi antara radiasi elektromagnetik dan  molekul atau atom dari suatu zat kimia. Spektrofotometer terdiri dari suatu sistem optik dengan kemampuan menghasilkan cahaya monokromatik dalam jangkauan 200 nm hingga 800 nm dan suatu alat yang sesuai untuk menetapkan serapan (Depkes RI, 1995).
2.2.1  Hukum Lambert-Beer
Menurut Lambert bila suatu cahaya monokromatis melalui suatu larutan senyawa dengan ketebalan  b, maka sebagian energi akan terabsorpsi oleh molekul dalam  larutan. Berkurangnya energi cahaya (P) tersebut berbanding lurus dengan ketebalan medium.
Istilah log (Po/P) disebut absorban dan diberi lambang A. Lambang b menyatakan panjang jalan menembus medium penyerap, biasanya dinyatakan dalam sentimeter. Nilai tetapan a atau c dalam hukum Lambert-Beer tergantung pada konsentrasi mana yang digunakan. Bila c dalam gram per liter tetapan itu disebut absorbtivitas (a) dan bila dalam  mol per liter disebut absorbtivitas molar () (Day and Underwood, 1999).
Hukum Lambert-Beer  menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan. Absorbtivitas (a) merupakan suatu konstanta yang tidak tergantung pada konsentrasi, tebal kuvet, dan intensitas yang mengenai larutan sampel. Absorbtivitas tergantung pada suhu, pelarut, struktur molekul, dan panjang gelombang  radiasi. Jika c (konsentrasi) dinyatakan dengan persen berat/volume (g/100 ml) maka absorbtivitas dapat ditulis dengan A1%1cm  dan bila konsentrasi dinyatakan dengan satuan molar maka absorbtivitasnya ditulis dengan E1%1cm.
Dalam Farmakope, metode spektrofotometri Ultra violet banyak digunakan untuk menetapkan kadar senyawa obat. Metode ini biasanya mendasarkan pada penggunaan nilai A1%1cm  suatu senyawa obat. Spektrofotometer yang digunakan harus telah dikalibrasi dengan benar jika menggunakan nilai A1%1cm.
Nilai A1%1cm   merupakan absorbansi suatu senyawa yang diukur pada konsentrasi 1% b/v (1 g/100 ml)  dengan kuvet yang mempunyai ketebalan 1 cm pada panjang gelombang dan pelarut tertentu.
Manfaat lain dari informasi A1%1cm adalah terkait dengan apakah senyawa tersebut cukup sensitif diukur dengan spektrofotometer Ultra violet. Sebagai contoh jika ada dua senyawa A dengan nilai (A1%1cm  900) dan senyawa B (A1%1cm  4) yang keduanya akan ditetapkan kadarnya dengan spektrofotometer UV,  maka dapat dikatakan  bahwa senyawa A cukup sensitif dan layak untuk dianalisis dengan spektrofotometer UV, sementara senyawa B tidak layak karena sensitivitas senyawa tersebut sangat rendah jika dianalisis dengan spektrofotometer.
Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk memilih panjang gelombang maksimal, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu.
Tahapan-tahapan penentuan kadar bahan baku dan sediaan obat secara spektrofotometri  yaitu :
1.        Mencari pelarut yang sesuai/tepat untuk melarutkan zat aktif yang terdapat dalam sediaan obat, ini dapat dilihat pada Farmakope Indonesia, Farmakope negara lain, dan literatur lain. Pelarut yang umum digunakan antara lain aquades; etanol: metanol; asam sulfat 0,1 N: asam klorida 0,1 N; natrium  hidroksida 0,1 N; kalium hidroksida 0,1 N; aseton;  kloroform.
2.        Mencari panjang gelombang maksimum dari zat yang akan ditetapkan   kadarnya, ini dapat dilihat dari Farmakope Indonesia, Clarke’s atau literatur lain.
3.        Membuat larutan  induk  baku dari  baku  pembanding  Farmakope  Indonesia (BPFI). Larutan  induk  biasanya  dengan  konsentrasi 100 mcg/ml  atau 200 mcg/ml.
4.        Menentukan panjang gelombang maksimum dan zat yang akan ditetapkan kadarnya dengan spektrofotometer yang digunakan, dan sebelumnya ditentukan terlebih dahulu konsentrasi dari pengukuran dengan menggunakan nilai A11 dari zat yang akan ditentukan kadarnya.
5.        Membuat kurva kalibrasi dari larutan baku pembanding dengan konsentasi yang  meningkat dan paling sedikit dengan 5 konsentrasi yang memberikan serapan pada batas-batas serapan menurut hukum Lamber Beer.
Dari data-data yang diperoleh dibuat kurva kalibrasi dan dihitung persamaan regresi menggunakan rumus persamaan berikut:
Y = aX + b dimana a = 
X = konsentrasi (mcg/ml)
 Y = serapan
N = banyak pengukuran serapan yang dilakukan
Dari persamaan diatas dapat dihitung harga a dan b dan dilanjutkan penentuan  koefisien korelasi (r).

6.        Kadar zat yang akan ditentukan dapat diperoieh dengan mengukur serapan zat tersebut pada panjang gelombang maksimumnya dan memasukan harga serapan yang diperoleh pada persamaan garis regresi atau meialui persamaan:

Menurut Hukum Lambert Beer, serapan berbanding lurus dengan ketebalan lapisan yang disinari. Sedangkan menurut Hukum Beer serapan berbanding lurus dengan konsentrasi. Kedua pernyataan ini dapat dijadikan satu dalam Hukum Lambert Beer, sehingga diperoleh kesimpulan bahwa serapan berbanding lurus dengan konsentrasi dan ketebalan sel yang dapat ditulis dengan persamaan.
A = ε.b.C
Dimana : A = serapan,
                 ε = absorptivitas molar,
                 b = ketebalan sel dan                         
            C = konsentrasi  ( Fessenden, 1994 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " Farmakologi Natrium Diklofenak"

Post a Comment