BEBERAPA PENYEBAB KRISIS KARAKTER DI INDONESIA

Terlena oleh Sumber Daya Alam yang Melimpah.
Di setiap pikiran orang Indonesia sejak puluhan tahun ditanamkan pandangan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya raya. Sumber daya alamnya melimpah.  Hal ini dijadikan salah satu unsur kebanggaan bangsa kita. Memang memiliki sumberdaya alam yang melimpah  perlu disukuri, namun dipihak lain hal itu juga bisa membawa permasalahan . Masalah   pertama, merasa bahwa persediaan sumberdaya alam identik dengan kekayaan. Padahal untuk mengubahnya menjadi kekayaan sumberdaya alam ini harus diolah melalui proses yang memerlukan kecerdasan manusia. Tanpa diintervensi kecerdasan manusia sumber daya alam tetap tidak punya nilai atau nilainya sangat rendah, bahkan bisa menjadi beban atau sumber malapetaka. Sejarah kita menunjukkan bahwa kepulauan Nusantara menjadi incaran kaum penjajah karena daya tarik sumberdaya alamnya. Karena kita kalah cerdas dari kaum penjajah, kita menjadi masyarakat jajahan selama ratusan tahun. 

Masalah kedua, karena sudah merasa kaya, lalu merasa tidak perlu kerja keras. Hidup itu bisa dinikmati begitu saja, seperti yang dinyatakan dalam lagu Kus Plus ......’Orang bilang tanah kita tanah sorga. Tongkat, kayu dan batu jadi tanaman. Kail dan jala cukup menghidupimu. Ikan dan udang menghampirimu’.....Masalah ketiga, karena merasa sudah punya kekayaan yang melimpah dari sumberdaya alam, kita lalu melupakan atau menomor duakan pengembangan sumber kekayaaan yang potensinya jauh lebih besar dan sangat diperlukan dalam sistem ekonomi modern sekarang ini yaitu kualitas manusia dan kualitas masyarakat. Karakter yang kuat di samping kecerdasan adalah kekayaan sebuah bangsa yang selalu bisa diperbaharui dan tak habis apabila dimanfaatkan. Jadi tanpa disadari Indonesia telah menjadi korban ’resource curse’, di mana  ’kekayan alam ’ telah menjadi  belenggu daripada menjadi pemicu dan pemacu dalam mencapai kemajuan yang lebih besar.

Pembangunan ekonomi yang terlalu bertumpu pada modal fisik.
Walaupun tidak dinyatakan secara resmi, namun secara tersirat sangat jelas bahwa pembangunan ekonomi selama tiga dekade pada jaman pemerintahan Presiden Suharto adalah pembangunan yang bertumpu pada modal fisik. Seolah-olah Republik ini di masa depan akan bisa berjaya selamanya dengan mengandalkan sumber daya alam dan hutang luar negeri. Seolah-olah minyak, batubara, tembaga, emas, hutan akan bisa kita pakai sebagai tumpuan kesejahteraan bangsa kita untuk selama-lamanya.

Di samping itu, ukuran keberhasilan pembangunan yang kita banggakan pun sebagian besar lebih bersifat fisik. Inilah penyebab utama mengapa selama periode tersebut kita mengabaikan pengembangan modal yang bukan bersifat fisik, atau modal yang nirwujud atau modal maya, seperti tingkat kecerdasan bangsa, pembangunan karakter bangsa, yang justru menjadi tumpuan utama kemajuan ekonomi bangsa-bangsa lain di dunia. Kita nomor duakan atau nomor tigakan  pendidikan. Pendidikan, dalam arti luas, yang menjadi media utama dalam meningkatkan kecerdasan bangsa, dan penguatan karakter bangsa, tidak menjadi prioritas utama.

Surutnya idealisme, berkembangnya pragmatisme ‘overdoses’.
Selama  tiga dekade, di masa pemerintahan Presiden Soeharto kita hidup di bawah doktrin ‘ekonomi sebagai panglima’. Ini dianggap sebagai koreksi terhadap doktrin dari pemerintah sebelumnya yang dianggap mempanglimakan politik. Sebagai konsekuansi logisnya, keberhasilan atau kemajuan cenderung hanya dilihat dari besaran-besaran yang bisa diukur dalam variabel ekonomi, khususnya pertumbuhan ekonomi. Hal-hal yang tidak bisa diukur dalam besaran ekonomi lalu cenderung  dianggap tidak penting. Atau diabaikan. Memang benar pertumbuhan ekonomi itu perlu untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk dan meningkatkan pendapatan per kapita. Namun hal itu hendaknya jangan dicapai dengan mengorbankan hal-hal yang kelihatannya tidak ‘ekonomik’, seperti harga diri bangsa, kohesivitas masyarakat dan etika. Kecenderungan yang terlalu mengedepankan keberhasilan ekonomi (jangka pendek) telah membuat  sebagian dari masyarakat terperangkap dalam pragmatisme yang overdoses, dan kemudian terjebak dalam sikap atau perilaku ‘tujuan menghalalkan cara’. Idealisme saat itu tidak penting, bahkan sering menjadi bahan cemoohan. Ini adalah era di mana banyak orang percaya bahwa orang jujur tidak bisa maju secara ekonomik

Kurang Berhasil  Belajar dari Pengalaman  Bangsa Sendiri.
Dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa kita,  untuk mencapai kemerdekaan ada perubahan cara berjuang dari berjuang dengan mengandalkan kekuatan atau modal fisik menjadi berjuang dengan mengandalkan kekuatan atau modal maya. Beberapa pahlawan Nasional kita, seperti Pattimura, Diponegoro, Teuku Umar, mengangkat senjata, mengobarkan peperangan untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia. Mereka adalah tokoh-tokoh yang gagah berani yang tidak takut mempertaruhkan nyawanya untuk sebuah cita-cita luhur. Namun demikian, mereka belum berhasil mengalahkan penjajah lewat kekuatan senjata.

Generasi berikutnya, Bung Karno, Bung Hatta, dan pejuang seangkatannya memilih memperjuangkan kemerdekaan dengan kekuatan intelektual mereka, dengan membangun modal sosial, dan membangun kredibilitas di dunia internasional. Mereka membangun partai politik, mereka meningkatkan kecerdasan rakyat, membangun kesadaran baru yaitu kesadaran sebagai satu bangsa, mengembangkan visi atau idealisme, membangkitkan kepercayaan diri, menumbuhkan rasa harga diri, membangkitkan semangat, menumbuhkan keberanian dan kerelaan berkorban. Mereka membangun kredibilitas kepemimpinan mereka di mata internasional. Semua hal yang mereka bangun bersifat maya, tidak satupun bersifat fisik. Untuk mengembangkan kemampuan membangun modal maya ini, mereka tidak segan-segan belajar dari pengalaman bangsa lain, dari pemikir dan pejuang besar di dunia.  Memang menjelang dan beberapa waktu sesudah proklamasi kemerdekaan ada perjuangan bersenjata. Namun perjuangan bersenjata tersebut adalah  bagian dari strategi perjuangan yang lebih besar yang berdasarkan kecerdasan.

Uraian ini tidak dimaksudkan untuk mengajak orang-orang kembali ke romantisme masa lalu, namun untuk menyadarkan kita bahwa konsep modal maya bukanlah hal yang sama sekali baru bagi masyarakat kita. Para pejuang kemerdekaan sudah menerapkan bahkan sebelum istilahnya dikenal, dan pernah berhasil dalam membangun dan memanfaatkannya.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "BEBERAPA PENYEBAB KRISIS KARAKTER DI INDONESIA "

Post a Comment