KARAKTER DAN PEMBANGUNAN KARAKTER
Karakter. Di sini yang dimaksud dengan karakter
adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern
of behavior found in an individual or group’ [2]. Kamus Besar Bahasa Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang
ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai: sifat batin manusia yang
mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat. Dalam
risalah ini, dipakai pengertian yang pertama, dalam arti bahwa karakter itu
berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi,
‘orang berkarakter’ adalah orang punya
kualitas moral (tertentu) yang positif. Dengan demikian, pendidikan membangun
karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku
yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik,
bukan yang negatif atau yang buruk.
Peterson dan Seligman, dalam buku ’Character
Strength and Virtue’ [3], mengaitkan
secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character
strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan
(virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’
adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya
potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang
bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Dalam kaitannya dengan kebajikan,
Peterson dan Seligman mengidentifikasikan 24 jenis karakter.
Membangun karakter.
Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan
substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong dan
memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan
sehari-hari. Kebiasaan ini tumbuh dan berkembang dengan didasari oleh
kesadaran, keyakinan, kepekaan dan sikap orang yang bersangkutan. Dengan
demikian, karakter bersifat inside-out, dalam
arti bahwa perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik ini terjadi karena
adanya dorongan dari dalam, bukan karena adanya paksaan dari luar. Ada orang
yang menyatakanan bahwa ’turis’ Indonesia yang bepergian ke Singapura atau
Jepang akan berperilaku tertib di jalan raya atau di tempat-tempat umum, karena
aturan yang sangat tegas dan keras di sana. Namun, saat pulang kembali ke
Indonesia, mereka kembali pada kebiasaan
lama, yaitu ’liar’ di jalan raya, tidak peduli tata-krama dan aturan lalu
lintas. Jadi, perilaku tertib di Singapura atau Jepang bukanlah karakter
orang-orang yang bersangkutan.
Dalam pendidikan karakter, mengetahui apa yang baik saja tidak cukup. Yang
sangat penting adalah menyemaikan kebaikan tersebut di hati dan mewujudkannya
dalam tindakan, perbuatan dan/atau perilaku. Dalam penataran Pedoman Pengamalan
dan Penghayatan Pancasila (P4) pada masa Orde Baru, semua peserta penataran
diberitahu dan jadi tahu apa yang baik. Namun dalam kenyataan, banyak mantan
peserta penataran yang tidak berperilaku atau bahkan berperilaku
bertententangan dengan hal-hal baik yang sudah diketahuinya. Sebab itu, peran
substansi pendidikan dalam pengembangan karakter pengaruhnya akan sangat
terbatas bahkan akan tidak ada apabila tidak disertai oleh proses dan suasana
pendidikan yang mendukung. Proses dan suasana inilah yang akan menggugah
kesadaran, menguatkan keyakinan, menumbuhkan sikap yang menjadi dasar dari
perilaku yang berkembang menjadi kebisaan baik dan kemudian karakter. Dalam
pendidikan karakter, menunjukkan ketauladan, mengamati dan meniru tokoh panutan
serta membangun lingkungan yang mencerminkan kebaikan, akan lebih nyata pengaruhnya daripada
memberitahu atau menyuruh seseorang berbuat baik, apalagi kalau yang
memberitahu atau menyuruhnya justru melakukan hal-hal yang tidak baik.
Membangun keyakinan, dan sikap yang mendasari kebiasaan baik bukan usaha
’sekali tembak’, namun merupakan proses yang berlangsung sedikit demi sedikit
secara berkelanjutan. Membangun karakter melalui penataran yang indoktrinatif
selama seminggu atau dua minggu atau bahkan sebulan, tidak akan banyak membawa
hasil. Jadi, upaya pembangunan karakter
melalui pendidikan dengan menjadikannya sebuah
proyek, tidak akan ada hasilnya. Pembangunan karakter hendaknya
dijalankan sebagai upaya berkelanjutan yang ditanam pada semua susbstansi,
proses dan iklim pendidikan.
Individu dan Lingkungan.
Proses pembangunan karakter pada seorang dipengaruhi oleh faktor-faktor
khas yang ada pada orang yang bersangkutan yang sering juga disebut faktor
bawaan (nature) dan lingkungan (nurture) di mana orang yang bersangkutan
tumbuh dan berkembang. Namun demikian perlu diingat, bahwa faktor bawaan boleh
dikatakan berada di luar jangkauan
masyarakat untuk mempengaruhinya. Hal yang berada dalam pengaruh kita, sebagai
individu maupun bagian dari masyarakat, adalah faktor lingkungan. Jadi, dalam
usaha pengembangan atau pembangunan
karakter pada tataran individu dan masyarakat, fokus perhatian kita adalah pada
faktor yang bisa kita pengaruhi atau lingkungan, yaitu pada pembentukan
lingkungan. Dalam pembentukan lingkungan inilah
peran lingkungan pendidikan menjadi sangat penting, bahkan sangat
sentral, karena pada dasarnya karakter
adalah kualitas pribadi seseorang yang terbentuk melalui proses belajar, baik belajar secara formal maupun
informal.
Banyaknya aktor atau media yang mempengaruhi pembentukan karakter ini
menyebabkan pendidikan untuk pengembangan karakter bukan sebuah usaha yang
mudah. Secara normatif, pembentukan atau pengembangan karakter yang baik
memerlukan kualitas lingkungan yang baik juga. Dari sekian banyak aktor atau
media yang berperan dalam pembentukan karakter, dalam risalah ini akan dilihat
peran tiga media yang saya yakini sangat besar pengaruhnya yaitu: keluarga,
media masa, lingkungan sosial, dan pendidikan formal.
Keluarga. Keluarga adalah komunitas pertama di mana manusia, sejak usia dini, belajar
konsep baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah. Dengan kata
lain, di keluargalah seseorang, sejak
dia sadar lingkungan, belajar tata-nilai
atau moral. Karena tata-nilai yang diyakini seseorang akan tercermin dalam
karakternya, maka di keluargalah proses pendidikan karakter berawal. Pendidikan
di keluarga ini akan menentukan seberapa jauh seorang anak dalam prosesnya
menjadi orang yang lebih dewasa, memiliki komitmen terhadap nilai moral
tertentu seperti kejujuran, kedermawanan, kesedehanaan, dan menentukan
bagaimana dia melihat dunia sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak
sama dengan dia –berbeda status sosial, berbeda suku, berbeda agama, berbeda
ras, berbeda latar belakang budaya. Di keluarga juga seseorang mengembangkan
konsep awal mengenai keberhasilan dalam hidup ini atau pandangan mengenai apa
yang dimaksud dengan hidup yang berhasil, dan wawasan mengenai masa depan.
Dari sudut pandang pentingnya keluarga sebagai basis pendidikan karakter,
maka tidak salah kalau krisis karakter yang terjadi di Indonesia sekarang ini
bisa dilihat sebagai salah satu cerminan gagalnya pendidikan di keluarga.
Korupsi misalnya, bisa dilihat sebagai kegagalan pendidikan untuk menanamkan
dan menguatkan nilai kejujuran dalam keluarga. Orang tua yang membangun
kehidupannya di atas tindakan yang korup, akan sangat sulit menanamkan nilai kejujuran
pada anak-anaknya. Mereka mungkin tidak menyuruh anaknya agar menjadi orang
yang tidak jujur, namun mereka cenderung tidak akan melihat sikap dan perilaku
jujur dalam kehidupan sebagai salah satu nilai yang sangat penting yang harus
dipertahankan mati-matian. Ini mungkin bisa dijadikan satu penjelasan mengapa
korupsi di Indonesia mengalami alih generasi. Ada pewarisan sikap permisif
terhadap korupsi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Media masa. Dalam era kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi
sekarang ini, salah satu faktor yang berpengaruh sangat besar dalam pembangunan
atau sebaliknya juga perusakan karakter
masyarakat atau bangsa adalah media massa,
khususnya media elektronik, dengan pelaku utamanya adalah televisi.
Sebenarnya besarnya peran media, khususnya media cetak dan radio, dalam
pembangunan karakter bangsa telah dibuktikan secara nyata oleh para pejuang
kemerdekaan. Bung Karno, Bung Hattta, Ki Hajar Dewantoro, melakukan pendidikan
bangsa untuk menguatkan karakter bangsa melalui tulisan-tulisan di surat kabar
waktu itu. Bung Karno dan Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan, keberanian
dan persatuan melalui radio. Mereka, dalam keterbatasannya, memanfaatkan secara
cerdas dan arif teknologi yang ada pada saat itu untuk membangun karakter
bangsa, terutama sekali: kepercayaan diri bangsa, keberanian, kesediaaan
berkorban, dan rasa persatuan. Sayangnya kecerdasan dan kearifan yang telah
ditunjukkan generasi pejuang kemerdekaan dalam memanfaatkan media massa untuk
kepentingan bangsa makin sulit kita temukan sekarang. Media massa sekarang
memakai teknologi yang makin lama makin canggih. Namun tanpa kecerdasan dan
kearifan, media massa yang didukung teknologi canggih tersebut justru akan
melemahkan atau merusak karakter bangsa. Saya tidak ragu mengatakan, media
elektronik di Indonesia , khususnya televisi, sekarang ini kontribusinya
’nihil’ dalam pembangunan karakter bangsa. Saya tidak bermaksud untuk
mengatakan bahwa tidak ada program televisi yang baik. Namun sebagian besar program
televisi justru lebih menonjolkan karakter buruk daripada karakter baik. Sering
kali pengaruh lingkungan keluarga yang baik justru dirusak oleh siaran media
televisi. Di keluarga, anak-anak dididik untuk menghindari kekerasan, namun
acara TV justru penuh dengan adegan kekerasan. Di rumah, anak-anak dididik
untuk hidup sederhana, namun acara sinetron di tevisi Indonesia justru
memamerkan kemewahan. Di rumah anak-anak dididik untuk hidup jujur, namun
tayangan di televisi Indonesia justru secara tidak langsung menunjukkan
’kepahlawanan’ tokoh-tokoh yang justru di mata publik di anggap ’kaisar’ atau
’pangeran-pangeran’ koruptor. Para guru agama mengajarkan bahwa membicarakan
keburukan orang lain dan bergosip itu tidak baik, namun acara televisi,
khususnya infotainment, penuh dengan
gosip. Bapak dan ibu guru di sekolah mendidik para murid untuk berperilaku
santun, namun suasana sekolah di sinetron Indonesia banyak menonjolkan perilaku
yang justru tidak santun dan melecehkan guru. Secara umum, banyak tayangan di
televisi Indonesia, justru ’membongkar’ anjuran berperilaku baik yang
ditanamkan di di rumah oleh orang tua dan oleh para guru di sekolah.
Pendidikan formal. Pendidikan formal,
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, diharapkan berperan besar dalam pembangunan
karakter. Lembaga-lembaga pendidikan formal diharapkan dapat mencerdaskan
kehidupan bangsa. Namun demikian pengalaman Indonesia selama empat dekade
terakhir ini menunjukkan bahwa sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dengan
cara-cara pendidikan yang dilakukannya sekarang belum banyak berkontribusi
dalam hal ini. Di atas telah diuraikan, kecenderungan lembaga pendidikan formal
yang merosot hanya menjadi lembaga-lembaga pelatihan adalah salah satu sumber
penyebabnya. Pelatihan memusatkan perhatian pada pengembangan keterampilan dan
pengalihan pengetahuan. Sedangkan pendidikan mencakup bahkan mengutamakan
pengembangan jati diri atau karakter, tidak terbatas hanya pada pengalihan
pengetahuan atau mengajarkan keterampilan. Harus diakui bahwa pendidikan formal
di sekolah-sekolah di Indonesia, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi,
secara umum menghabiskan bagian terbesar waktunya untuk melakukan pelatihan
daripada pendidikan. Kegiatan pendidikan telah teredusir menjadi kegiatan
’mengisi’ otak para siswa sebanyak-banyaknya, dan kurang perhatian pada
perkembangan ’hati’ mereka. Keberhasilan seorang guru diukur dari kecepatannya
’mengisi’ otak para siswanya. Sekolah menjadi ’pabrik’ untuk menghasilkan
orang-orang yang terlatih, namun belum tentu terdidik.
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa secara praktek pendidikan sama
sekali terpisah dari pelatihan. Dalam pendidikan dikembangkan juga berbagai
keterampilan. Namun pengembangan keterampilan saja tidak dengan sendirinya
berarti pendidikan, walaupun hal itu dilakukan pada lembaga yang secara resmi
diberi nama lembaga pendidikan, seperti universitas, institut teknologi, dan
yang lainnya.
Di pihak lain, seorang pelatih yang bermutu dapat dengan cerdas memakai
kegiatan pelatihan menjadi kendaraan efektif untuk pendidikan. Pelatih sepak
bola dapat memakai kegiatan pelatihan untuk menumbuhkan dan menguatkan sikap
sportif, gigih, kerjasama tim, kesediaan berbagi, berlapang dada dalam
kekalahan, dan rendah hati dalam kemenangan. Masalah kita sekarang, tanpa disadari
sudah terjadi degradasi proses-proses dan program-program yang dimaksudkan
untuk pendidikan menjadi proses dan program pelatihan. Di pihak lain belum
nampak tanda-tanda kegiatan pelatihan dimanfaatkan secara optimal sebagai
wahana untuk pendidikan.
0 Response to "KARAKTER DAN PEMBANGUNAN KARAKTER "
Post a Comment