Akibat-akibat pada Kebudayaan Jawa di Yogykarta


Tentu saja, penelitian tentang perubahan kebudayaan itu kurang lengkap kalau hanya menyelidiki penyebab-penyebab perubahan kebudayaan dan bukan akibat-akibatnya atau bagian-bagian mana dari kebudayaan yang mampu mengakibatkan pengaruh-pengaruh ini yang berdampak pada kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Oleh karena itu, dalam bab ini saya memaparkan bagian-bagian tertentu yang dipengaruhi sebagai akibat penyebab-penyebab (atau pengaruh-pengaruh) yang didaftar dalam bab dua. Akibat-akibat dari kebudayaan, masyarakat dan tradisi dijelaskan sesuai dengan ‘sistem-sistem’ kebudayaan [1] yang disesuaikan cara dan arah tujuan penelitian maupun minat saya sebagaimana bagian-bagian kebudayaan berikut memantulkan berbagai hal yang menarik bagi saya. 




Organisasi Sosial 



Organisasi sosial adalah bagaimana orang-orang memberikan struktur dalam hubungan-hubungan dan cara hidup mereka dengan orang-orang di sekitarnya supaya mereka mendapat identitas dan rasa keamanan dengan masyarakat dan kebudayaan mereka. Organisasi sosial itu dapat diibaratkan pendirian yang dibangun untuk mengatur kehidupan sehari-hari semua jiwa yang berada dalam masyarakat tertentu. Jadi seandainya kehidupan sehari-hari orang-orang itu mengubah berarti organisasi-organisasi sosial beraneka-ragam itu diancam karena tak relevan lagi bagi masyarakat itu yang telah memajukan lewat titik sejarah yang dahulu. 



Kedua organisasi sosial antara masyarakat Jawa di Yogyakarta itu (seperti di tempat-tempat lain di Jawa) adalah gotong royong dan musyarawah. Walaupun saya tak menyelidiki beraneka ragam pengaruh-pengaruh pada musyarawah, saya sempat meneliti cara pikiran orang-orang terhadap masa depan gotong royong antara masyarakat Jawa di Yogyakarta. Dengan pasti, kebanyakan para responden menyetujui masa sekarang sudah mengubah dalam jangka waktu dua puluh lima tahun terakhir abad ke-dua puluh ini, dan cara hidup yang lama seperti gotong royong memang diancam cara berinteraksi dan perkumpulan sosial baru yang telah muncul. 



Sewaktu para responden diberi pertanyaan misal mereka ingin membangun atau merenovasi rumah akan memakai bantuan dari anggota keluarga/teman-teman atau mengontrakkan perusahaan pembangunan/tukang untuk melakukannya, kebanyakan para responden memilih pilihan kedua. Mereka mengatakan lebih suka kalau membayar seorang ahli/tukang mengerjakannya daripada mengandalkan masyarakat atau keluarga. ada satu-dua responden yang menyampaikan penjelasan bahwa karena orang-orang semakin menghayati hidup modern melalui pindah ke daerah real estate baru atau situasi dimana kedua orang tua bekerja berarti lebih mudah membayar untuk terima jasa khusus dari tukang. 



Namun, karena mayoritas orang-orang masih tinggal di daerah perumahan biasa serta menerima upah pekerjaan yang lumayan berarti konsep yang lebih persis adalah orang-orang sekarang ini lebih cenderung oleh kebiasaan dari gelombang-gelombang kehidupan modern yang mengatakan ‘jangan mengandalkan pada orang-orang lain; menjadi lebih mandiri.’ Mungkin juga, karena Yogyakarta sekarang adalah kota yang agak modern dan maju berarti orang-orang lebih sibuk dalam pekerjaan atau segala komitmen mereka maka tak bisa membantu dalam sistem gotong royong ini. 



Sebaliknya, banyak dari para responden mengatakan bahwa di desa-desa di sekitar Yogyakarta masih ada sistem gotong royong ini yang kental, mungkin karena kekurangan pendirian modern dan juga karena masyarakat-masyarakat yang berhubungan erat. Namun, di desa-desa ini juga ada perubahan yang sedang terjadi sebagaimana saya menemukan orang-orang disini yang lebih bercenderung membayar tukang kalau ada sesuatu yang harus dilakukan daripada meminta bantuan dari masyarakat itu. Oleh karena itu, tahun-tahun mendatang akan menyaksikan perubahan di masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya dari perspektif organisasi sosial yang sesuai dengan arah tujuan masyarakat itu. 
Bahasa 



Dalam konteks studi ini bahasa itu merujuk pada bahasa Jawa yang merupakan bahasa ibu bagi mayoritas masyarakat Jawa yang tinggal di Yogyakarta. Bahasa Jawa itu terdiri atas beberapa tingkat-tingkat tutur kata berbeda yang digunakan sesuai dengan pangkat atau posisi seseorang supaya menyampaikan rasa hormat kepada mereka sewaktu disapa sehingga rasa harmonis dilestarikan antara semua anggota masyarakat Jawa. Kedua tingkat tutur utama yang dipakai masyarakat Jawa di Yogyakarta adalah tingkat krama dan ngoko. Bahasa Jawa krama itu dipakai dalam situasi formal atau kalau dua orang asing bertemu yang ingin saling menyampaikan rasa hormat tetapi bahasa Jawa ngoko itu lebih kasar dan dianggap tidak formal dan cocok dipakai antara teman-teman atau dengan orang yang seseorang sudah intim. 



Minat penelitian saya tentang bahasa Jawa itu terkait dengan bagaimana bahasa Jawa itu mampu menanggulangi tantangan-tantangan masa depan yang sekarang dihadapinya dan juga keadaannya bahasa Jawa lima puluh sampai seratus tahun dari sekarang. Yang khususnya menarik bagi saya itu kalau tingkat tutur bahasa Jawa krama itu masih akan dipakai dalam percakapan sehari-hari seperti sekarang atau kalau sejumlah orang-orang yang mengucapkannya akan semakin luntur seperti di wilayah-wilyah lain di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang menyaksikannya. Juga sama halnya dengan tingkat tutur bahasa Jawa krama inggil yang dianggap tingkat tutur tertinggi dan paling sopan maka hanya dipakai untuk menyampaikan rasa hormat pada orang-orang yang memiliki posisi yang jauh lebih tinggi daripada penuturnya. Pelestarian tingkat ini khususnya adalah warisan orang-orang yang tinggal di sekitar daerah kraton Yogyarkarta (saya yakin juga sama hal di kraton Surakarta) walaupun masih cukup banyak orang-orang yang tetap ingat cara mengucapkan tingkat tutur ini, termasuk beberapa rekan-rekan Jawa saya. 



Beberapa para responden menyatakan kelanjutan penggunaan bahasa Jawa krama serta ngoko ke masa depan tergantung generasi muda sekarang dan kalau mereka ingin berusaha tetap memakai semua tingkat tutur bahasa Jawa ini dalam interaksi sehari-harinya dengan masyarakat Jawa di Yogyakarta. Walaupun begitu sudah ironis bahwa orang yang lebih tua menyatakan begini karena bahasa ibu itu diajar sejak lahir sampai remaja maka seharusnya menjadi tanggung jawab orang tua mengajar anak-anaknya tingkat tutur bahasa Jawa itu, bukan kaum muda yang nanti belajar di sekolah atau di tempat lain. Meninggalkan pertanggungjawaban pengajaran bahasa pada guru-guru sekolah itu tak cukup memastikan rasa intim dengan penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa yang kompleks ini. Para responden lain menyatakan bahwa di masa depan mungkin hanya segenggam orang yang mengingati semua peraturan dan cara pengucapan tingkat tutur bahasa Jawa krama ini walau mayoritas memakai bahasa Jawa ngoko dan bahasa Indonesia saja. Dalam jangka waktu saya tinggal di Yogyakarta, selama menonton berita atau acara pada televisi selalu ada orang-orang yang memakai campuran bahasa Jawa ngoko dan bahasa Indonesia sewaktu menjawab pertanyaan atau memberikan komentar pada suatu masalah. Saya percaya ini juga merupakan hasil dari pengaruh kebudayaan domestik dan bahasa Indonesia yang berdampak pada masyarakat Jawa di Yogyakarta dan cara interaksi seseorang satu sama lain. 



Belum tentu kalau di masa depan orang-orang akan terus-menerus memakai bahasa Jawa ngoko dan krama atau orang-orang akan bercenderung berfokus hanya pada pelajaran bahasa Indoensia atau mungkin bahasa lain seperti bahasa Inggris yang sekarang ini merupakan ketrampilan yang dicari para majikan. Kalau memfokuskan perubahan bahasa Jawa, harus diingat bahwa bahasa Jawa itu sebenarnya terdiri atas sembilan tingkat tutur (mungkin lebih?) dan di masa lampau secara luas dipakai masyarakat Jawa. Hanya karena perubahan terkait dengan modernisasi, kenaikan penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi serta perubahan dalam struktur masyarakat berarti belajar semua tingkat tutur itu dianggap tak penting lagi dan pembuangan waktu. Oleh karena itu, sebagaimana bahasa setempat itu berubah selaras dengan perkembangan masyarakat, apakah akan masa depan terkandung perubahan dalam penggunaan dan kenangan bahasa Jawa sehingga hanya tinggal bahasa Jawa ngoko, atau akan tingkat tutur bahasa Jawa akan terus-menerus dipakai masyarakat berjenjang yang memuliakan heirarki dan tingkat-tingkat hormat? Hanya perjalanan waktu akan mengungkapkan jawabannya. 




Kesenian 



Kesenian dalam kebudayaan Jawa itu sangat beraneka ragam dan saya tak terlalu fokus pada bagian kebudayaan ini tinggal satu bagian; wayang kulit dan harapannya untuk masa depan dalam cahaya pengaruh-pengaruh yang ada sekarang ini. Wayang kulit itu memainkan peran penting dalam kebudayaan dan masyarakat Jawa melalui menunjukkan kekuatan maupun kelemahan moral dan menitikberatkan pengajaran etika dan cara hidup benar kepada para penontonnya maka saya percaya kesenian ini memainkan peran khusus membentuk intisari interaksi masyarakat Jawa. Dalam penelitian ini saya menanyakan para responden berapa sering mereka menghadiri pertunjukan wayang kulit dan pandangannya pada masa depan wayang kulit. 



Kebanyakan pada responden menyatakan mereka jarang atau bahkan tidak pernah menghadiri pertunjukan wayang kulit, bahkan ada beberapa yang hanya beberapa kali selama hidup mereka sendiri. Pada mulanya saya kaget sebab sebagai orang asing saya dikesankan bahwa setiap orang Jawa menghadiri pertunjukan wayang ini setiap minggu atau bulan seperti dikatakan brosure turis yang menarik. Walaupun, dengan cepat saya ketahui ada beberapa alasan yang menjelaskan kenapa orang-orang jarang menghadiri pertunjukan wayang kulit di Yogyakarta. Pertama, harga dhalang untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit itu semakin mahal dewasa ini maka jumlah pertunjukan itu turun. Kedua, tidak semua orang Jawa tertarik pada kesenian sebagaimana raut muka katakan. Seorang ibu dari daerah turis malioboro di Yogyakarta pun mengatakan wayang kulit itu tak sama sekali menarik bagi dia (walaupun suaminya adalah pemilik toko souvenir yang menjual barang-barang wayang kulit) dan lebih persis pertunjukannya lebih bagi para seorang asing. Ketiga, sesuasi dengan pengaruh media massa dan privatisasi perusahaan televisi setelah jatuhnya Soeharto, wayang kulit itu secara langsung ditayangkan pada masyarakat hampir setiap malam melalui perusahaan televisi baru seperti jogja tv atau melalui peniaran radio setiap minggu. 



Bukan saja orang muda yang dewasa ini lebih tertarik pada apa yang disediakan modernisasi seperti alat-alat komunikasi, televisi atau permainan-permainan, tetapi juga kelas menengah dan orang tua yang meninggalkan tradisi-tradisi agar mencari sumber-sumber baru kekayaan dan status sosial dalam masyarakat yang semakin dipengaruhi pengaruh-pengaruh seperti globalisasi, modernisasi dan media massa antara lain. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan seperti bagaiamana orang-orang muda sekarang ini akan diajar etika dan moral kalau bukan dari sumber-sumber lama seperti wayang kulit dan tingkat-tingkat tutur bahasa Jawa. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Akibat-akibat pada Kebudayaan Jawa di Yogykarta "

Post a Comment