Teologi Dogmatis kepada Spirit Rasionalisme
Bagaimanapun
resistensi para teolog Kristen terhadap perkembangan sains yang dipengaruhi
oleh pandangan hidup ilmiah Barat, hermeneutika terus menjadi diskursus yang
menarik kalangan teolog Kristen masa itu. Pertanyaan hermeneutika yang diangkat
pun bergeser menjadi bagaimana menangkap realitas yang terkandung dalam teks
kuno seperti Bible dan bagaimana menterjemahkan realitas tersebut kedalam bahasa
yang difahami oleh manusia modern. Yang selalu dimuculkan adalah masalah adanya
gap antara bahasa modern dan bahasa teks Bible, dan cara penulis-penulis Bible
berfikir tentang diri mereka dan cara berfikir masyarakat Kristen modern. Dunia
teks akhirnya dianggap sebagai representasi dari dunia mitos dan masyarakat
modern dianggap mewakili dunia ilmiah. Hermeneutika kini membahas bagaimana
kejadian dan kata-kata masa lampau menjadi berarti dan relevan bagi eksistensi
manusia tanpa menghilangkan esensi pesannya. Bagi mereka repetisi atau
reproduksi ungkapan-ungkapan dalam Bible
hanya akan membuat pesan-pesan Bible menjadi tidak relevan. Disini
hermeneutika dalam pengertian tradisional yang dikenal dalam sejarah Bible tidak
lagi menjadi disiplin ilmu yang memadahi untuk menjelaskan dan
mengkomunikasikan secara valid pesan-pesan Bible. Karena itu hermeneutika
berubah pengertiannya menjadi bukan lagi metodologi interpretasi, tapi
metodologi memahami dan obyek yang difahami pun menjadi terbuka.
Bel
pertama untuk pemakaian hermeneutika sebagai the art of interpretation
dapat ditemui dalam karya J.C.Dannheucer yang berjudul Hermeneutica Sacra
Sive Methodus exponendarum Sacrarum litterarum, (Sacred Method or the
Method of Explanation of Sacred Literature), terbit pada tahun 1654.
Disitu hermeneutika sudah mulai dibedakan dari exegesis sebagai
metodologi interpretasi. Meskipun pengertiannya tetap sama tapi obyeknya
diperluas kepada non-Biblical literature.[1]
Sejak terbitnya buku karya J.C.Dannheucer tidak hanya timbul pemahaman
hermeneutika yang meloncat keluar konteks Bible, tapi bahkan mulai timbul
pandangan bahwa intepretasi teks Bible tidak bisa dibedakan dari interpretasi
teks-teks lain. Jadi selain teks Bible itu sendiri secara tekstual bermasalah,
mereka sendiri sudah meletakkan Bible sebagai bukan kitab keagamaan yang sakral
lagi. Benedictus de Spinoza (1632-1677)
dalam karyanya tahun 1670 berjudul Tractatus theologico-politicus (Risalah
tentang politik teologi) menyatakan bahwa “standar eksegesis untuk Bible
hanyalah akal yang dapat diterima oleh semua”. Gereja Reformasi mengkritik
keras buku ini dan kemudian menghentikan peredarannya. Meskipun demikian
perlahan-lahan hermeneutika dalam pengertian baru ini diterima sebagai
alat penafsiran (exgesis) Kitab Suci, dan juga menjadi pengantar disiliplin
ilmu interpretasi.[2]
Tanda-tanda
beralihnya diskursus hermeneutika dari teologi yang dogmatis kepada semangat
rasionalisme sudah mulai nampak sejak terjadinya gerakan Reformasi Protestan
pada abad ke enam belas. Tanda ini bertambah jelas pada periode Pencerahan (Enlightenment)
pada abad berikutnya. Pernyataan Spinoza sudah merupakan bukti kuat tergesernya
peran teologi dalam hermeneutika. Di saat itu masyarakat Eropah sudah
cenderung kepada penggunaan akal dan tidak lagi percaya pada agama dan otoritas
tradisional. Cita-cita terwujudnya masyarakat liberal, sekuler dan demokratis
mulai muncul perlahan-lahan.
Peran
Universitas Halle penting bagi derasnya arus pemikiran Enlightenment ini.
Beberapa filosof dan teolog terkenal, seperti Christian Wolff (1679-1754),
Siegmund J Baumgarten (1706-1757), Johann S Semler (1725-1791) adalah dosen di
universitas ini. Kuliah-kuliah serta tulisan-tulisan mereka jelas menunjukkan
semangat penggunaan akal yang berlebihan dan protes terhadap otoritas yang
bertentangan dengan akal. Dalam soal hermeneutika Semler misalnya melontarkan
gagasan tranformasi radikal dari hermeneutika teologis, artinya interpretasi
Bible berdasarkan seperangkat doktrin harus sudah ditinggalkan dan bacaan bersifat
dogmatik harus berakhir yang tinggal adalah bacaan kritis. Tapi Semler masih berpegang bahwa tugas hermeneutika
adalah memahami teks seperti yang difahami pengarangnya. Untuk itu ia menolak
pemahaman synchronistic a la Protestan Ortodoks dan mengetrapkan bacaan diachronic,
yaitu bacaan yang mengungkap pengertian historis dan literal (sensus
litteralis historicus) teks Bible itu sendiri. Dua aturan penting bagi
teori interpretasi kritis yang diperkenalkannya adalah: 1) penafsir Bible haru
menyadari jarak historis antara dirinya dan teks Bible 2) Hermeneutic Bible
harus menghormati aturan universal dalam menginterpretasi teks.
Perkembangan
makna hermeneutika dari sekedar pengantar ilmu interpretasi menuju kepada
metodologi pemahaman, dilontarkan oleh seorang pakar filololgi Friedriech Ast
(1778-1841). Dalam bukunya Grundlinien der Grammatik Hermenutik und Kritik (Elements
of Grammar, Hermeneutic and Criticism) Ast membagi pemahaman terhadap teks
menjadi 3 tingkatan: 1) pemahaman historis, yakni pemahaman berdasarkan pada
perbandingan teks dengan teks yang lain. 2) pemahaman ketata-bahasaan, yaitu
merujuk kepada pemahaman makna kata pada teks; dan 3) pemahaman spiritual,
yakni pemahaman yang merujuk kepada semangat, wawasan, mentalitas dan pandangan
hidup pengarang, tapi terlepas dari konotasi teologis ataupun psikologis.
Disini konteksnya nampak sekali sudah diluar kitab Bible.
Pada
tingkat ini pergeseran diskursus hermeneutika dari teologi ke filsafat masih
berkutat pada perubahan fungsi hermeneutika dari teori interpretasi teks Bible
secara rasional menjadi pemahaman segala teks selain Bible. Disini hermeneutika
berkembang dalam milieu yang didominasi oleh para teolog yang telah bersentuhan
dengan pemikiran filsafat Barat. Faktor yang lebih dominan dan bertanggung
jawab dalam perkembangan hermeneutika saat itu adalah perubahan pandangan hidup
para teolog Kristen yang dipengaruhi oleh gerakan Pencerahan dan modernisasi
yang terjadi di Barat. Teori-teori yang dikemukakan sudah tentu dalam konteks
teologi Kristen dan pemikiran masyarakat Eropah masa itu.
0 Response to "Teologi Dogmatis kepada Spirit Rasionalisme"
Post a Comment