Dari mitologi Yunani ke teologi Kristen

Dari mitologi Yunani ke teologi Kristen.Sudah umum diketahui bahwa dalam masyarakat Yunani tidak terdapat suatu agama tertentu, tapi mereka percaya pada Tuhan dalam bentuk mitologi. Sebenarnya dalam mitologi Yunani terdapat dewa-dewi yang dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes dipercayai sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutic kemudian digunakan. Konsep ini resminya digunakan untuk kebutuhan kultural bagi menentukan makna, peran dan fungsi teks-teks kesusasteraan yang berasal dari masyarakat Yunani kuno, khususnya epik-epik karya Homer. Tapi sebenarnya dibalik itu terdapat kepecayaan bahwa dalam perkataan manusia sekalipun mengandung inspirasi Tuhan (divine inspiration). Kepercayaan seperti ini merupakan refeleksi dari suatu pandangan hidup. Tapi tuhan dalam mitologi Yunani banyak jumlahnya. Aristotle, misalnya mengatakan bahwa Tuhan yang dijuluki Unomoved Mover (menggerakkan tapi tidak bergerak) itu kuantitasnya satu secara absolute, tapi jumlahnya 55.[1]


Meskipun interpretasi hermeneutis telah dipraktekkan dalam tradisi Yunani, namun istilah hermeneutike baru pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM) Politikos, Epinomis, Definitione dan Timeus. Dalam Definitione Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu” yang tidak terbatas pada pernyataan, tapi meliputi bahasa secara umum, penterjemahan, interpretasi, dan juga gaya bahasa dan retorika. Sedangkan dalam Timaeus Plato menghubungkan hermeneutika dengan pemegang otoritas kebenaran, yaitu bahwa kebenaran hanya dapat difahami oleh “nabi”. Nabi disini maksudnya adalah mediator antara para dewa dengan manusia. Fungsi mediator inilah yang menghubungkan secara etymologis antara rumpun semantik hemeneus dan dewa perantara Hermes. 



Melihat sekilas konsep otoritas dan kenabian Plato orang dapat saja berspekulasi bahwa Plato pernah bersentuhan dengan ide-ide ini di Timur Tengah. Namun, spekulasi ini tidak didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Dalam menghadapi problema terjadinya krisis otoritas dikalangan penyair dalam memahami mitologi atau sesuatu yang bersifat divine, misalnya masyarakat Yunani menyelesaikan dengan konsep rational logos.[2] Stoicisme (300 SM) kemudian mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu intepretasi alegoris, yaitu metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam dari sekedar pengertian literal. Sejalan dengan itu maka untuk intepretasi alegoris terhadap mitologi, Stoic menerapkan doktrin inner logos dan outer logos (inner word and outer word). 



Metode alegoris kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Philo of Alexandria (20 SM-50 M), seorang Yahudi yang kemudian dianggap sebagai Bapak metode alegoris. Metode yang juga disebut typology itu intinya mengajarkan bahwa pemahaman makna spiritual suatu teks tidak berasal dari teks atau dari informasi teks, tapi melalui pemahaman simbolik yang merujuk sesuatu diluar teks. Metode hermeneutika alegoris ini kemudian ditransmisikan kedalam pemikiran teologi Kristen. Tokohnya, Origen (sekitar 185-254 M) telah berhasil menulis penjelasan Kitab Perjanjian Lama dengan metode ini. Teorinya tentang tiga lapis makna dalam Bible yang sangat terkenal itu dikembangkan oleh Johannes Cassianus (360-430 M) menjadi empat lapis makna yaitu: literal atau historis, alegoris, moral, dan anagogis (spiritual). 



Namun, metode alegoris yang berpusat di Alexandria ini ditentang oleh kelompok yang membela metode literal (grammatical) yang berpusat di Antioch. Pertentangan antara kelompok Alexandria dan Antioch mereprentasikan pertentangan metode interpretasi simbolik dan literal. Yang pertama berada dibawah pengaruh hermeneutika Plato sedangkan yang kedua berada dibawah bayang-bayang hermeneutika Aristotle. Konsep hermeneutika Aristotle (384-322 SM) melalui karyanya berjudul Peri hermeneias (Latin: De Interpretatione) itu sebenarnya ada sebelum Stoic, tapi kalangan Kristen menganggap karya-karya Aristotle yang lebih menekankan pada logika dan semantik ini berbahaya bagi keimanan Kristen. Perlu dicatat bahwa diawal mereka mengadopsi metode interpretasi asal Yunani ini kalangan Kristen sudah menghadapi masalah. Munculnya kelompok Gnosticism[3] dan Marcionisme adalah diantara buktinya. Akibat yang lebih dahsyat lagi akan kita bahas sesudah ini. 



Dari pertentangan antara dua konsep hermeneutika Alexandria dan Antioch ini seorang teolog dan filosof Kristen St.Augustine of Hippo (354-430 M) mengambil jalan tengah. Ia lalu memberi makna baru kepada hermeneutika dengan memperkenalkan teori semiotik (teori tentang simbol). Teori ini dimaksudkan untuk dapat mengontrol terjadinya distorsi bacaan alegoris teks Bible yang cenderung arbitrer, dan juga dari literalisme yang terlalu simplistik. Ia menyarankan agar Bible dibaca dalam perspektif teologis yang telah tersurat dalam teks Bible sendiri. Karena itu Magnum opus Augustine yang terkenal De Trinitate pada abad 20 dirujuk Gadamer. Meskipun munculnya St.Augustine dianggap awal terjadinya proses assimilasi teologis dalam hermeneutika, namun pemikiran St.Augustine masih belum dapat menghilangkan pengaruh worldview Yunani, khususnya Platonisme. Konsepnya tentang Tuhan, termasuk konsepnya tentang cosmos, bercampur dengan worldview Yunani. Tak ayal lagi resistensi dari kalangan gereja tidak dapat dihindari. Tokohnya Vincent of Lerins (…- 450M) mengarahkan pembacaan teks menjadi lebih formalistis dan cenderung kepada pemahaman Kristen ortodoks. Di samping itu terdapat pula tren yang mencoba memisahkan antara intepretasi Bible dengan spekulasi teologis, sesuatu yang dalam gagasan St.Augustine ingin disatukan. 



Perkembangan pemikiran hermeneutika yang patut dicatat dalam teologi Kristen terjadi pada abad pertengahan yang dibawa oleh Thomas Aquinas (1225-1274). Kemunculannya yang didahului oleh transmisi karya-karya Aristotle kedalam milieu pemikiran Islam mengindikasikan kuatnya pengaruh pemikiran Aristotle dan Aristotelian Muslim khususnya al-Farabi (870-950), Ibn Sina (980-1037) dan Ibn Rushd (1126-1198). Dalam karyanya Summa Theologia ia menunjukkan kecenderungan filsafat naturalistic Aristotle yang juga bertentangan dengan kecenderungan Neo-Platonis St.Augustine. Ia mengatakan bahwa “pengarang kitab suci adalah Tuhan” dan sesuatu yang perlu dilakukan oleh para teolog adalah pemahaman literal.[4] Pemahaman literal lebih banyak merujuk kepada hermeneutika Aristotle dalam Peri Hermenias nya. Tujuannya adalah untuk menyusun teologi Kristen agar memenuhi standar formulasi ilmiah dan sekaligus merupakan penolakannya terhadap interpretasi alegoris. 



Gabungan filsafat Aristotle dan doktrin-doktrin Kristiani merupakan sumbangan Thomas yang berharga bagi pemikiran filsafat gereja Katholik. Namun, negatifnya ia diklaim sebagai representasi kitab yang sakral (sacra scriptura) dan bahkan ajaran yang sakral (sacra doctrina). Padahal teks-teks Bible itu dieksploitir untuk menjustifikasi premis-premis teologi mereka yang telah banyak dipengaruhi pemikiran spekulatif filsafat. Itulah sebabnya Werner menganggap hermeneutika dalam pengertian Thomas itu sebagai the emerging humanist interpretation theory. Hal ini tidak lepas dari milieu pendidikan humanisme[5] yang mulai berkembang di tengah masyarakat Barat dan yang diterima oleh para pendeta waktu itu.[6] Pemikiran para teolog Kristen yang diwarnai teori interpretasi humanistis itu, sebenarnya bertentangan dengan realitas spiritual yang dianut gereja. Sebab ketika Thomas Aquinas muncul milieu pemikiran teologi dan filosof Barat tidak lagi menjadikan masalah Tuhan sebagai sentral pembahasan mereka.[7] Jikapun ada pembahasan masalah Tuhan maka ia dibahas dengan pendekatan yang seperti itu. Yang jelas tren interpretasi humanistis ini berlaku hingga akhir abad ke lima belas dan awal abad ke enam belas. Pengaruhnya ini terhadap gerakan reformasi dalam intepretasi Bible cukup kuat. 



Kondisi dan kecenderungan pemikiran seperti itu berkembang dikalangan teolog Kristen. Hal ini diperparah lagi oleh sikap para tokoh Reformasi Protestan seperti Martin Luther (1483-1456), Ulrich Zwingli (1484-1531) dan John Calvin (1509-1564) dan lain-lain yang jelas menunjukkan perlawanan terhadap otoritas gereja. Misi reformasi mereka adalah mencari aspek-aspek mana dalam tradisi dan kehidupan kerohanian Kristen yang tidak sesuai dengan kepercayaan Kristen sehingga perlu direformasi. Meskipun dalam bidang hermeneutika gerakan Kristen Protestan masih berpegang bacaan Bible yang telah dikembangkan oleh teolog pendahulu mereka, namun perubahan sikap terhadap Bible dan otoritas gereja cukup berarti bagi perubahan makna hermeneutika. Sikap ini secara umum dapat difahami sebagai penolakan mereka terhadap hermeneutika model intepretasi alegoris dan justifikasi terhadap hermeneutika model interpretasi literalis (sensus literalis), seperti yang dilakukan Aquinas 



Prinsip hermeneutika yang diyakini Protestan, khususnya Luther adalah bahwa pemahaman yang benar terhadap kata-kata dalam teks itu sendirilah sebenarnya yang membuat jiwa Kitab itu tumbuh dan bukan diluar dari teks Kitab. Dictumnya sui ipsius interperes (self interpreting) berarti bahwa kehadiran Tuhan dalam setiap kata tergantung kepada pengamalan yang dimanifestasikan melalui pemahaman yang disertai keimanan. Motto kaum Protestan ini dikenal dengan Sola Scriptura, yaitu meyakini bahwa Bible saja telah merupakan petunjuk yang cukup jelas untuk memahami Tuhan. Sikap kaum Protestan terhadap gereja, dan dictum sui ipsius interperes mereka dianggap naïve dan tidak memuaskan. Selain tidak dapat mengatasi kesulitasn bacaan suatu paragap juga tidak dapat mengelak terjadinya interpretasi yang arbitrer. Demikian pula sikap mereka yang tidak menganggapnya sebagai sumber keimanan Kristen yang dapat digali untuk membangun sistim kepercayaan mengundang reaksi. Para teolog Katholik Roma melalui Konsili Trent (1545) menolak prinsip Protestan itu dan mendukung teori dua sumber keimanan dan teologi Kristen yakni: Bible dan tradisi Kristen. Itulah kondisi teologis yang mengitari konsep hermeneutika.



Selain persoalan teologis akar masalahnya juga dapat dilacak dari problematika teks Bible sendiri.[8] Diseputar teks Bible terdapat masalah-masalah mendasar seperti otentisitas teks, bahasa teks dan bahkan kandungan teks Bible itu sendiri. Hal ini tercermin dari pernyataan Duane bahwa 

“Problem yang mereka (penulis Bible) kemukakan kebanyakan bukan problem kita, dan cara-cara berfikir mereka tidak dapat kita produksi kembali begitu saja pada hari ini. Karena itu dunia Bible umumnya asing bagi kita, dan bahasanya sulit difahami”.[9]

Karena hermeneutika masalah gap antara bahasa modern dan bahasa teks Bible dipersoalkan. Cara penulis-penulis Bible berfikir tentang diri mereka dan cara berfikir masyarakat Kristen modern dianggap berbeda. Dunia teks akhirnya dianggap sebagai representasi dari dunia mitos dan masyarakat modern dianggap mewakili dunia ilmiah. Hermeneutika dianggap jalan terbaik untuk menjembatani kesenjangan ini. 



Namun dengan kedua model hermeneutika diatas kalangan teolog Kristen tidak dapat mengatasi problem teks Bible. Mereka dibingungkan oleh pilihan antara mengikuti milieu masyarakat intelektual Barat atau setia pada teks Bible. Huston Smith mencatat bahwa “rasionalisme telah merasuki teologi pada awal Abad Pertengahan, tapi pandangan Kristen masih menguasai pikiran orang Kristen, sehingga mereka berpihak kepada pernyataan Tuhan yang ada dalam Kitab “suci” itu”.[10] Bukti yang paling jelas adalah ketika kalangan teolog Kristen – Protestan maupun Katholik – bersama-sama menolak penemuan ilmiyah Johannes Kepler (1571-1630) dan Galelio Galilie (1569-1624). 



Ini menunjukkan bahwa di awal abad pertengahan, hermeneutika masih berada dalam sangkar teologi Kristen tapi masih berada dibawah pengaruh pemikiran filsafat dan mitologi Yunani. Ketika teks Bible sendiri mulai digugat dan dan otoritas gereja mulai goyah pengaruh pandangan hidup ilmiah dan rasional Barat (scientific and rational worldview) mulai muncul membawa hermeneutika kepada makna baru yaitu filosofis. Teori-teori hermeneutika yang muncul saat itu sangat dipengaruhi oleh persoalan teks Bible dan otoritas gereja yang hegemonis. Hermeneutika bukan berasal dari tradisi pengkajian dan pemahaman Bible, tapi metode asing yang diadopsi untuk merekayasa teks Bible yang menghadapi problem orisinalitas 


Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Dari mitologi Yunani ke teologi Kristen"

Post a Comment