Tentang Ketenagakerjaan
Pertumbuhan angkatan kerja yang relatif tinggi di KTI saat ini tidak dapat dipisahkan dari laju pertumbuhan penduduk di masa lalu. Meskipun laju pertumbuhan penduduk mulai menurun, pertumbuhan angkatan kerja di KTI masih relatif tinggi karena adanya angkatan kerja baru, yaitu penduduk usia 10 tahun ke atas.
Masalah yang krusial yang dihadapi KTI adalah masalah yang berkaitan dengan pasar kerja yaitu semakin banyaknya jumlah penganggur. Masalah ini timbul sebagai akibat adanya ketidak-seimbangan antara persediaan tenaga kerja dengan kebutuhan tenaga kerja. Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya ketidak-seimbangan pasar kerja tersebut adalah ketidak cocokan keinginan atau kebutuhan antara pasar kerja dengan pengguna tenaga kerja. Disamping itu seringkali dijumpai ketrampilan dan pendidikan yang dimiliki pencari kerja kurang sesuai dengan persyaratan yang diminta, sedang pengguna tenaga kerja umumnya mensyaratkan kualifikasi yang dibutuhkan harus sesuai dengan bidang pekerjaan yang ditawarkan baik dilihat dari tingkat pendidikan, ketrampilan, keahlian dan pengalaman kerja.
Berdasarkan data yang disajikan pada tabel berikut ini terlihat bahwa lapangan kerja yang ada di KTI belum dapat sepenuhnya menyerap tenaga kerja. Secara keseluruhan terdapat 7.92% tingkat pengangguran terbuka. Tingkat pengangguran terbuka untuk tenaga kerja perempuan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pengangguran laki-laki. Tingkat pengangguran terbuka perempuan mencapai lebih dari dua kali lipat tingkat pengangguran terbuka laki-laki yaitu 11,20% bagi perempuan dibandingkan dengan 5,36% bagi laki-laki. Pola ini agak berbeda dengan pola yang terjadi di tingkat nasional, dimana tingkat pengang-guran terbuka laki-laki relatif hampir sama dibandingkan dengan tingkat penganggur terbuka perempuan.
Tingginya tingkat pengang-guran penduduk perempuan tersebut dapat dimaklumi karena secara alam kebanyakan diantara mereka masih terikat oleh kultur yang secara tidak langsung mengekang partisipasi perempuan dalam angkatan kerja. Untuk memperlancar aktivitas pembangunan, seyogyanya perem-puan diberi kesempatan yang sebesar-besarnya dalam memasuki pasar kerja. Apabila penduduk perempuan yang terdidik tersebut dibiarkan menganggur tentunya merupakan pemborosan sumberdaya manusia yang besar pula.
Sebaliknya penduduk di KTI yang berpendidikan SD kebawah ternyata tingkat penganggurannya lebih rendah daripada penduduk yang berpendidikan lebih tinggi (SLTA keatas). Fenomena tersebut juga terlihat di KBI. Rendahnya tingkat pengangguran dikalangan penduduk yang berpendidikan rendah karena mereka mau melaksanakan pekerjaan apa saja tanpa ada perasaan malu. Pekerjaan yang mereka lakukan biasanya berkaitan dengan pekerjaan kasar seperti buruh pertanian, buruh bangunan, tukang becak, calo dan sopir. Semua pekerjaan tersebut jarang atau tidak mungkin dilakukan oleh penduduk yang berpendidikan tinggi, jika tidak terpaksa sekali.
Gambaran ini menunjukkan bahwa penduduk yang berpendidikan rendah mempunyai partisipasi yang cukup tinggi dalam kegiatan perekonomian di KTI. Hal ini tercermin dari rendahnya tingkat pengangguran di kalangan ini. Selain itu, banyak pula penduduk di KTI yang bekerja sebagai tenaga usaha penjualan, seperti usaha perdagangan, baik dalam skala besar maupun skala kecil. Pekerjaan berdagang/berjualan merupakan pekerjaan yang ringan dan resiko yang dihadapi relatif kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penduduk yang berpendidikan lebih tinggi, lebih senang menganggur daripada bekerja pada bidang yang bukan keahliannya. Banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak dapat secara langsung terserap dalam pasar kerja. Hal ini apabila tidak ditanggulangi secara seksama tentunya merupakan pemborosan sumberdaya manusia mengingat biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pendidikan cukup besar.
Gambaran di atas menunjukkan indikasi adanya ketidak sepadanan antara peluang kerja yang tersedia dengan jumlah pencari kerja. Sementara sulit bagi investor untuk mendapatkan tenaga kerja lokal yang siap pakai dan sesuai dengan kualifikasi yang diinginkan sehingga kadangkala peluang kerja yang ada di KTI diisi oleh tenaga kerja dari luar KTI. Persaingan kesempatan kerja di sektor informal banyak dijumpai di KTI. Dominasi para pendatang di KTI dalam pasar kerja, memberikan petunjuk bahwa penduduk di daerah tersebut cenderung sebagai pihak yang kalah dalam memperebutkan pasar kerja. Rendahnya kualitas penduduk, terutama dari pendidikan dan ketrampilan merupakan salah satu penyebab banyaknya penduduk KTI yang menganggur disamping karena faktor sosial budaya.
Dalam hal ini, yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa dengan terjadinya arus migran yang tinggi ke beberapa provinsi di KTI diperlukan keseimbangan dan keserasian dalam kehidupan sehari-hari antara pendatang dan penduduk setempat, terutama dalam hubungannya dengan kebutuhan untuk mengisi peluang kerja. Dengan demikian, persaingan antara penduduk asli yang kurang berpengalaman dengan pendatang yang lebih siap pakai tidak menimbulkan potensi terjadinya disintegrasi antar etnis. Dari kondisi ketenagakerjaan yang terdapat di KTI dapat disimpulkan bahwa terdapat permasalahan pokok dalam hal ini yaitu rendahnya kualitas tenaga kerja dan pencari kerja serta adanya ketidak sepadanan peluang kerja yang tersedia dengan keahlian pencari kerja. Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebabnya adalah:
1. Sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan yang tersedia belum sesuai dengan kebutuhan dan potensi perekonomian wilayah setempat
2. Belum adanya upaya atau program terpadu dari pemerintah yang mengkaitkan antara potensi yang dimiliki daerah dengan para investor dan pencari kerja
3. Kurangnya alokasi dana dari pusat dalam upaya mengembangkan KTI
4. Sikap mental dan nilai budaya dari penduduk khususnya tenaga kerja tidak mendukung dalam upaya membentuk tenaga kerja yang berkualitas, dan secara umum menjadi kendala dalam pembangunan ekonomi Indonesia secara menyeluruh.
Dalam rangka mengantisipasi keadaan ketenagakerjaan yang lebih buruk lagi, maka pemerintah harus segera turun tangan dalam mengantasi hal ini diantaranya dengan melakukan perubahan orientasi pendidikan dan pelatihan kerja yang semula bertumpu pada pemerintah, dirubah untuk lebih bertumpu pada masyarakat, utamanya para pengusaha sebagai pengguna jasa tenaga kerja. Sementara dari segi program harus lebih dikembangkan lagi program pelatihan yang bersifat multi ketrampilan serta mempunyai standar ataupun kualifikasi nasional dan internasional sehingga mampu bersaing dengan tenaga kerja dari manca negara. Sampai saat ini program pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun swasta sebenarnya sudah cukup banyak, baik yang bersifat untuk membekali ketrampilan kepada pencari kerja maupun peningkatan ketrampilan bagi yang sudah bekerja. Namun demikian banyak dari materi yang diajarkan tidak sesuai dengan kualifikasi pekerjaan yang ada atau tenaga kerja itu sendiri yang tidak mampu mengembangkan ketram-pilan yang sudah didapatnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka upaya membangun dan memberdayakan SDM di KTI tidak hanya terbatas pada peningkatan mutu pelayanan pemerintah, baik dalam bentuk kebijakan maupun program-program pemerintah, namun yang paling penting adalah mengubah dan menyesuaikan sikap mental tenaga kerja di KTI agar mempunyai ketrampilan dan etos kerja yang tinggi, profesional, yang pada saatnya mereka mampu bersaing secara global.
0 Response to "Tentang Ketenagakerjaan "
Post a Comment