BEBERAPA “KELIRUMOLOGI” SEPUTAR OBAT

 (1) PANDUAN penanganan suatu penyakit. Tanpa sepenuhnya kita sadari, kita “sangat mendewa”kan obat-obatan. Ketika kesehatan kita terganggu, kita latas mencari/meminta obat. Kita ternyata kurang memahami bahwa “penyakit-penyakit” harian (demam, batuk pilek (ISPA), diare akut) da bayak penyakit lainnya (TBC, tifus, Inefeksi saluran kemih/ISK, eksim, ampak, dst dst) sudah ada PANDUAN penanganannya. Panduan ini merupakan hasil penelitian yang sudah terjamin kekuatannya dalam membuktikan penanganan yang terbaik (yang efektif dan aman) buat penyakit-penyakit terkait. Panduan ini bisa ditemukan di berbagai textbook kedokteran dan di berbagai situs (web) terpercaya. Artinya, panduan tersebut (standar pelayanan medis [SPM]) harus diketahui oleh tenaga medisnya dan pasiennya. Sayangnya, masyarakat Indonesia tidak mengetahui adanya panduan penanganan penyakit sehingga tidak bisa membantu dunia kedokteran Indonesia agar lebih “menghormati” panduan tersebut dengan menerapkannya kepada pasien dengan penyakit terkait. Padahal, panduan tersebut “menjamin” penanganan yang tepat dan mengedepankan “safety”.
            Ketika panduan selsema tidak menakup obat apapun selain obat pereda demam seperti parasetamol, seharusnya tenaga medis dan pasien memahami dan menerapkannya dengan benar sehingga ketika flu/selesma, berapapun suhu demamnya, kita tidak mengkonsumsi antibiotik, atau obat pilek, atau obat batuk! Obat-obatan tersebut TIDAK ada dalam panduan selesma/flu.
       Pada Technical briefing seminar WHO awal tahun 2004 perihal Kebijakan Obat Esensial dikemukakan bahwa di negara sedang berkembang, jumlah obat yang diresepkan padahal sebenarnya tidak perlu diberikan sebesar 39 – 59%. Hal ini mencerminkan tingginya uang yang dibelanjakan untuk obat sebenarnya tidak perlu dikeluarkan; sungguh suatu pemborosan.

(2) Kesehatan = urusan dokter dan tenaga medis lainnya. Benarkah? Pasien/konsumen kesehatan merupakan pihak yang paling berkepentingan akan kesehatan dan kesejahteraan dirinya. Pasien merupakan pihak yang merugi ketika terjadi hal-hal yang “tidak diinginkan”. Pasien merupakan pihak yang seharusnya sangat MEMAHAMI penyakitnya dan memahami penanganannya. Tahukah anda bahwa di negara dengan sistem kesehatan yang kuat sekalipun, agka kematian akibat efek samping obat menempati urutan ke 5, di atas angka kematian akibat HIV/AIDS dan angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas.

(3) Dokter paling tahu soal obat dan sangat memahami obat-obatan. Siapa bilang? Kemajuan ilmu kedokteran dan kemajuan ilmu perihal obat-obatan sangat pesat sehingga tenaga medis sering tidak berhasil untuk senantiasa meng”up date” ilmunya.
            Masih banyak pasien yang memperoleh obat atas gejala (gejalanya 6 maka obatnya mungkin 6 atau lebih) bukan berdasarkan masalah atau diagnosis. Pengobatan gejala (simtomatik alias pengobatan untuk menghilangkan gejala) bisa “menyesatkan” karena masalah dasarnya justru tidak terdeteksi atau tidak tertangani. Masalah kedua adalah overmedicated, dimana ketika hanya butuh 1 atau 2 obat, ternyata kita memperoleh banyak obat, satu obat untuk satu gejala.
            Keprihatinan lainnya adalah, banyak obat yang di luar Indonesia sudah tidak dipergunakan, di indonesia masih diberikan khususnya untuk anak-anak. Misalnya obat pilek. Padahal, obat pilek yang mengandung dekongestan, tidak pernah terbukti efektif bakan terbukti TIDAK AMAN bagi bayi dan anak kecil. Oleh karena itu, JANGAN berikan obat pilek untuk bayi dan anak kecil (obat pilek puyer racikan mauopun obat pilek sirup bermerek) serta untuk manula. Kedua obat batuk. Batuk karena selesma dan flu tidak ada obatnya (obat batuk, obat pengencer dahak, TIDAK ada gunanya). JANGAN berikan obat untuk MENEKAN batuk karena batuk TIDAK boleh ditekan. Batuk justru membantu kita membersihkan jalan napas. Ketika kita selesma, flu atau alergi, saluran napas kita banyak dahaknya sehingga otomatis kita harus batuk agar dahak tersebut “terpental” kita telan atau kita buang atau kita muntahkan. Batuk BUKAN penyakit. Batuk bukan hal buruk. Ketika anak kita batuk karena asma, kita berikan obat asma BUKAN obat batuk. Di lain pihak, banyak sekali anak batuk yang puyernya berisi obat asma! Ketiga, obat anti muntah dan obat diare.  Diare dan muntah adalah refleks tubuh untuk MEMBUANG semua yang tidak berkenan di saluran cerna kita. Diare dan muntah JANGAN diberi obat anti muntah dan diare karena obat-obatan tersebut TIDAK MENYEMBUHKAN penyakitnya bakan potensial menyesatkan dan potensial menimbulkan efek samping. Obat satu-satunya untuk diare akut adalah ORALIT! Apabila diarenya berdarah, butuh antibiotik tetapi diare berair da diare tanpa darah JANGAN diberi antibiotika. Antibiotika justru menyebabkan diare. Obat diare untuk anak sudah tidak dipergunakan lagi di luar Indonesia, sedihnya, masih banyak anak Indonesia yang memperoleh obat anti diare dan anti muntah.

(4) Antibiotik obat dewa. Entah siapa yang ber”salah” sehingga kita semua (tenaga medis maupun konsumen kesehatan) memiliki pola pikir bahwa ketika sakit, antibiotik solusinya agar lebih secepatnya sembuh, agar tidak terjadi infeksi sekunder (infeksi tambahan) kuman, karena Indonesia beda, Indonesia banyak kuman jadi tetap butuh antibiotika. Padahal, pasien non Indonesia dengan demam dan batuk pilek, meski tinggal di Indonesia, mereka tahu bahwa mereka TIDAK perlu mengkonsumsi antibiotika.
Di beberapa negara sedang berkembang, persentase peresepan antibiotika yang sebenarnya tidak perlu diberikan sebesar 52% - 75%. Penelitian di beberapa tempat di Sumbar menunjukkan bahwa tingkat pemakaian antibiotika sebesar 90%. Tingkat penggunaan antibiotika untuk balita mencapai 83% dan 60% pada mereka di atas 5 tahun. Ironis, anak merupakan populasi yang paling terpapar pada antibiotika. Pada anak, ada 3 kondisi yang hampir selalu diberi antibiotika yaitu demam, radang tenggorkan, dan diare. Padahal ketiga penyakit ini umumnya penyebabnya virus, TIDAK butuh antibiotika. Semakin sering anak memperoleh antibiotika, SEMAKIN SERING mereka jatuh sakit.

(5) Puyer yang terbaik buat anak Indonesia. Selama ini semua orang “take it for granted” bahwa resep (khususnya buat anak) adalah puyer. Puyer adalah bagian dari “kultur”, tradisi, tak terpisahkan dari dunia kedokteran di Indonesia. Puyer dianggap yang terbaik dan paling tepat untuk Indonesia karena “murah” (padahal, tidak ada negara miskin lainnya yang memberikan peresepan puyer). Alasan agi mereka yang “pro” puyer adalah karena puyer paling tepat buat Indonesia karena (1) dosisnya bisa tepat (padahal dosis bisa akurat apabila kita mempergunakan “syringe” untuk mengukur; (2) puyer paling tepat karena praktis dan “mudah” yaitu ketika anak butuh banyak obat (padahal, gangguan kesehatan harian tidak butuh banyak obat); (3)  puyer paling tepat untuk Indonesia karena puyer = murah (padahal, penelitian menunjukkan bahwa resep-resep puyer samasekali TIDAK murah karena terdiri dari banyak obat yang tidak dibutuhkan dan obatnya kebanyakan bukan obat generik). .
  
Apa masalah yang ditimbulkan pembuatan obat racikan bentuk puyer?
Dewasa ini peresepan obat puyer di negara maju sudah sangat berkurang  karena:
1.     Kemungkinan kesalahan manusia dalam pembuatan obat racik puyer ini  tidak dapat diabaikan, misalnya kesalahan menimbang obat, atau membagi puyer dalam porsi2 yang tidak sama besar. Kontrol kualitas sulit sekali dapat dilaksanakan untuk membuat obat racikan ini.
2.     Stabilitas obat tertentu dapat menurun bila bentuk aslinya digerus, misalnya bentuk tablet salut selaput (film coated), tablet salut selaput (enteric coated), atau obat yang tidak stabil (misalnya asam klavulanat) dan obat yang higroskopis (misalnya preparat yang mengandung enzim pencernaan)
3.     Toksisitas obat dapat meningkat, misalnya preparat lepas lambat bila digerus akan kehilangan sifat lepas lambatnya.
4.     Waktu penyediaan obat lebih lama. Rata2 diperlukan waktu  10 menit untuk membuat satu resep racikan puyer, 20 menit untuk racikan kapsul, sedangkan untuk mengambil obat jadi diperlukan waktu hanya kurang dari 1 menit. Kelambatan ini berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien terhadap layanan.
5.     Efektivitas obat dapat berkurang karena sebagian obat akan menempel pada blender/mortir dan kertas pembungkus.
6.     Pembuatan obat puyer menyebabkan pencemaran lingkungan yang kronis di bagian farmasi akibat bubuk obat yang beterbangan ke sekitarnya. Hal ini dapat merusak kesehatan petugas setempat
7.     Obat racikan puyer tidak dapat dibuat dengan  tingkat higienis yang tinggi sebagaimana halnya obat yang dibuat pabrik karena kontaminasi yang tak terhindarkan pada waktu pembuatannya
8.     Pembuatan obat racikan puyer membutuhkan biaya lebih mahal karena menggunakan jam kerja tenaga di bagian farmasi sehingga asumsi bahwa harganya akan lebih murah belum tentu tercapai
9.     Dokter yang menulis resep sering kurang mengetahui adanya obat sulit dibuat puyer (difficult-to compound drugs) misalnya preparat enzim
10. Peresepan obat racik puyer meningkatkan kecenderungan penggunaan obat irasional karena penggunaan obat polifarmasi tidak mudah diketahui oleh pasien.

Peresepan puyer TIDAK akan terjadi apabila kita memperhatikan dan menghormati dua hal di bawah ini yaitu (1) Good Manufaturing Practice (cara pembuatan obat yang benar) dan (2) Good Prescribing Practice (GPP) dan EBMnya (lihat 6 langkah peresepan yang benar)
Singkatnya, urusan membuat obat merupakan rantai panjang nan rumit. Banyak persyaratan yang HARUS dipenuhi. Apakah penggerusan obat ’kembali” menjadi bubuk tidak melanggar konsep GMP? Bagaimana dengan kualitas (dan stabilitas) obat yang digerus apalagi ketika penggerusanya bersama-sama dengan berbagai obat lainnya? Apalagi Indonesia negara tropis yang lembab, patut dipertanyakan stabilitas obat apalagi yang dicampur dan digerus bersama menjadi puyer.

(6) Ke dokter = minta resep/obat. Tidak sedikit konsumen yang beranggapan bahwa konsultasi medis adalah kunjungan “berobat” alias upaya meminta obat. Di kamus bahasa Indonesia, konsultasi medis adalah perundingan antara pemberi dan penerima layanan kesehatan untuk mencari penyebab terjadinya penyakit & utk menentukan cara2 pengobatannya. Singkatnya, konsultasi medis adalah upaya advocacy, upaya berbagi informasi, upaya meminta penjelasan dan kejelasan. Memang, sudah semakin banyak konsumen yang memahami bahwa konsultasi medis tidak selalu berarti obat, karena, keputusan klinis tergantung penyebab gangguan kesehatan yang tengah dialaminya.
       Ambil contoh, bayi diare. Penyebab utamanya adalah infeksi virus dan obatnya adalah cairan rehidrasi oral (oralit) dan ASI untuk mencegah dehidrasi. Dokter memberi informasi perihal penyebab, tatalaksana, dan risiko komplikasi. Dokter menyatakan bahwa diare akan sembuh sendiri, tidak ada obat yang diperlukan selain cairan rehidrasi oral. Dengan demikian, konsultasi medis tidak senantiasa harus diakhiri dengan penulisan secarik kertas resep. Nasehat dokter yang profesional juga suatu bentuk “obat”. Pada dasarnya, tidak banyak gangguan kesehatan yang tatalaksananya harus berupa pemberian obat (di makalah terdahulu sudah dikemukakan bahwa ada 5 bentuk terapi; pemberian obat hanyalah salah satunya). Ketika butuh obat, banyak sekali faktor yang berperan dalam peresepan obat. 

(7) Obat injeksi saja biar lebih mantap. Di negara sedang berkembang, persentase pemberian obat secara injeksi (yang sebenarnya bisa diberikan secara oral) juga tinggi (20 – 76%). Sebenarnya, tidak banyak pasien yang membutuhkan pemberian obat melalui suntikan. Selain itu, dipandang dari berbagai aspek, selama obat masih dapat diberikan secara oral, pemberian melalui suntikan banyak dampak negatifnya termasuk tingginya biaya karena pasien umumnya harus rawat inap di rumah sakit dan meningkatnya risiko efek samping obat, kemungkinan masuknya bakteria ke tubuh kita saat penyuntikan dilakukan, serta terusiknya rasa nyaman. WHO melaporkan bahwa sedikitnya 15 milyun penyuntikan per tahun di seluruh belahan dunia. Separuhnya mempergunakan jarum suntik yang tidak steril. Setiap tahun, tercatat 2,3 – 4,7 juta infeksi hepatitis B/C dan 160.000 infeksi HIV akibat pemberian obat melalui suntikan. Diskusikan dengan dokter bila dinyatakan perlu obat suntik.

(8) Mahal = berkualitas. Layanan kesehatan yang berkualitas adalah layanan kesehatan yang profesional artinya mendahulukan kepentingan pasien (jika tidak butuh obat dokter harus berani mengatakan yang sebenarnya dan pasien harus menghormatinya), layanan kesehatan yang padat akal (bukan padat ongkos), layanan kesehatan yang transparan dan sesuai bukti ilmiah alias EBM atau kedokteran berbasis BUKTI.

RUD adalah pola pemberian obat yang tepat yaitu  pemilihan obat yang sesuai dengan diagnosis penyakitnya, tepat konsumsinya, tepat dosisnya,  tepat jangka waktu pemberiannya, dan aman, dengan harga semurah mungkin serta dengan pemberian informasi yang obyektif. Singkatnya, pola pemakaian obat yang aman dan efektif (cost-effective), efisien dengan good outcome. Pendekatannya sesuai alur di bawah:

1.      Pasien dan permasalahannya. Dokter harus mengumpulkan data perihal perjalanan penyakit dan pengobatan yang pernah diperoleh pasien.
2.      Diagnosis: diagnosis tepat atau akurasi tinggi. Bila tidak memungkinkan, setidaknya ada diagnosis perkiraan untuk selanjutnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang (laboratorium, pemeriksaan radiologis, dan sebagainya).
3.      Tujuan terapi: dipengaruhi jenis penyakit dan “keparahan”nya. Secara garis besar tujuan adalah kesembuhan atau berkurangnya/hilangnya  gejala/keluhan.
4.      Pemilihan obat. Dilakukan dalam dua tahapan berikut:
a.       Menetapkan obat yang akan dipilih dengan catatan, hanya sebagian gangguan kesehatan yang memang membutuhkan obat. Nasehat yang profesional juga obat. Tidak jarang, ketika pasien tidak membutuhkan obat, dokter tetap memberikan resep misalnya suplemen atau imunomodulator.
b.      Dari berbagai obat yang tersedia di tahap pertama di atas, dilakukan kajian dari berbagai aspek yaitu efektivitas, keamanan, suitability, biaya, kemudahan pemberiannya, serta persyaratan penyimpanannya. Pada anak misalnya, sirup tentunya lebih suitable ketimbang puyer (belum lagi bicara soal stabilitas obat di udara tropis). Dari sisi efektivitas versus biaya, obat generik tentunya menjadi pilihan ketimbang obat bermerek.  Ketika membutuhkan antibiotik, tentunya dipilih yang sesuai target yang dibidik.
5.      Terapi dimulai: Dokter meresepkan obat; memberi penjelasan manfaat dan efek samping obat serta tindakan seandainya terjadi reaksi efek samping obat.
c.       Hasil terapi: Dokter melakukan penilaian terhadap terapi yang sudah dilakukan agar dapat menyimpulkan  hasilnya.
d.      Kesimpulan terapi: Dokter menilai tercapai tidaknya tujuan terapi. Bila tujuan tidak/belum tercapai, dokter meninjau kembali akurasi diagnosis serta mengevaluasi kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "BEBERAPA “KELIRUMOLOGI” SEPUTAR OBAT"

Post a Comment