MENGAPA KITA PERLU MEMAHAMI KONSEP RUD?
Kata-kata di atas dikutip dari seorang pakar WHO
dalam kuliahnya mengenai RUD. Beliaupun menganjurkan agar semua pihak menyadari
bahwa konsultasi medis adalah interaksi yang tidak selalu harus diikuti dengan
penulisan secarik kertas resep. Mengapa demikian? Bagaimanapun semakin banyak
saja pihak-piihak yang menyadari bahwa selain manfaat, obat juga memiliki sisi
“negatif”. Selain itu, semakin banyak konsumen yang menyadari peran dan tanggung
jawabnya sehingga turut proaktif dalam pola pengobatan dan layanan kesehatan.
BAGAIMANA OBAT BEKERJA & MENGAPA
KITA HARUS BIJAK DENGAN OBAT?
Paling tidak ada tiga hal yang perlu kita waspadai
perihal pemakaian obat:
1.
Kemungkinan interaksi antar satu obat dengan obat lainnya
2.
Kemungkinan efek samping dan pengetahuan akan indikasi
kontra pemberian suatu obat
3.
Kepedulian perihal rasio untung ruginya
Di negara maju, terbukti, konsumen menghargai
dokter yang mau memberikan penjelasan perihal kerja obat yang harus dikonsumsi
serta penjelasan perihal efek-efek yang mungkin terjadi.
Obat
bekerja melalu berbagai mekanisme. Pertama, dengan menghambat suatu reseptor di
permukaan suatu sel; melalui proses penghambatan kerja suatu ensim, atau
melalui pemblokiran reseptor di dalam suatu sel. Berbagai efek yang bisa timbul
akibat kombinasi beberapa obat:
Interaksi obat adalah suatu
kondisi dimana pemberian 2 obat atau lebih menyebabkan timbulnya efek yang
BERBEDA dari yang semula direncanakan. Misalnya, pemakaian suatu obat A bila
disertai pula dengan mengkonsumsi obat lainnya, bisa menyebabkan obat A lebih
“kuat” efeknya, atau justru lebih “lemah”.
Efek samping. Timbulnya efek negatif
suatu obat. Contoh sederhana, bila kita mengkonsumsi obat A; di samping itu,
kita juga mengkonsumsi obat B yang memiliki sifat menekan suatu ensim hati yang
fungsinya memetabolisme obat. Akibatnya, karena ensim tersebut ditekan, maka
proses metabolisme dan pembuangan opbat A pun akan terhambat, sehingga kadar
obat A di darah meningkatdan menyebabkan kemungkinan toksisitas akibat obat A
akan meningkat.
Indikasi kontra. Suatu kondisi kesehatan
yang menyebabkan yang bersangkutan dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi obat
tertentu. Misalnya, orang hipertensi sebaiknya menghindar dari obat flu.
Rasio untung rugi. Contoh, anak kita
didiagnosis (dengan catatan diagnosisnya akurat) menderita tuberkulosis/TB.
Kita harus memberikan obat anti TB yaitu 2 bulan pertama PZA, rifampisin, dan
INH dilanjutkan dengan 4 – 6 bulan lagi dengan INH dan rifampisin. Kita tahu
bahwa obat-obatan tersebut potensial menganggu fungsi hati (ringan sampai berat),
namun, obat tersebut tetap kita berikan (diawasi ketat) karena manfaatnya dalam
mengobati TB jauh lebih besar dari kerugian akibat efek sampingnya. Penelitian
membuktikan bahwa pasien yang memahami kondisi kesehatannya akan lebih patuh,
lebih proaktif dalam penanganan penyakitnya.
Apa saja
“rute” yang dapat dipakai untuk memberikan obat?
Secara garis besar ada dua alternatif, pemberian
secara enteral (melalui saluran cerna) dan pemberian secara parenteral yaitu
penyuntikan langsung ke pembuluh darah (penyuntikan intravena) atau penyuntikan
di otot.(intra muskular).
1.
Enteral (melalui saluran cerna).
Dapat dibagi menjadi 3 jalur
pemberian yaitu peroral (melalui mulut), sublingual (di taruh di bawah lidah),
atau per rektal (dimasukkan melalui anus)
2.
Parenteral (melalui “aliran darah”).
• Intravenous (IV, intravena, pembuluh darah
balik/vena)
• Intra-arterial (IA, melalui arteri)
• Subcutaneous (SC, melalui
jaringan di bawah kulit)
• Intradermal (ID, melalui kulit)
• Intramuscular (IM)
• Intraperitoneal (IP, melalui selaput
perut)
• Lungs (Inhalation, melalui paru-paru)
• Skin (Topical, terapi lokal di kulit), Eye
(Opthalmic), Ear (Otic), Vagina
• Urethra (saluran kencing),
Urinary Bladder (kandung kemih)
•
Intrathecal (langsung ke rongga otak), Epidural (rongga cairan otak di
tulang belakang)
• Langsung ke organ
sasaran.
Untung rugi pemberian
secara oral, IV, IM, SC.
Safety. Pemberian per oral
merupakan cara yang aman. Disusul dengan penyuntikan di bawah kulit, lalu
peyuntikan di otot. Risiko dampak negatif paling besar adalah pemberian intra
vena.
Kenyamanan. Begitu pula halnya
dengan kenyamanan. Pemberian secara oral merupakan cara yang paling mudah dan
enak
Biaya. Sebaliknya, biaya paling tinggi
bila obat harus diberikan secara intra vena, paling murah bila diberikan secara
per oral.
Bila pemberian per oral lebih aman, lebih nyaman, dan lebih murah, mengapa
kita mempertimbangkan cara pemberian yang lain?
Ada saat dan kondisi dimana memang diperlukan
pemberian melalui jalur lain yaitu kondisi dimana dibutuhkan konsentrasi obat
yang tinggi di tempat/jaringan yang dituju (target organ); untuk meningkatkan
efikasi obat tetapi tanpa menimbulkan
efek samping pada tubuh. Misalnya terapi inhalasi (inhale=menghirup) paru, obat
yang diletakkan di bawah lidah (sublingual) agar obat segera memasuki aliran
darah ke jantung tanpa harus masuk ke hati terlebih dahulu.
Terapi
juga dapat melalui rektum (ujung dari usus besar) bila pasien muntah-muntah dan
tidak dapat mengkonsumsi obat peroral.
HATI DAN METABOLISME OBAT – SIAPA
BILANG OBAT PASTI AMAN?
Kebanyakan obat tidak larut dalam air sehingga
perlu diproses di hati agar menjadi komponen yang larut dalam air. Setelah
larut dalam air, obat baru dapat dibuang dari tubuh, baik melalui ginjal
dibuang ke urin atau melalui usus dibuang di tinja.
Proses
metabolisme tersebut terdiri dari 2 tahapan. Tahapan pertama, ditolong oleh
suatu keluarga besar ensim P450, menghasilkan suatu zat antara yang selanjutnya
di tahapan kedua akan diolah sekelompok ensim lain di antaranya yang terpenting
adalah ensim gluthation sehingga terbentuk produk yang larut air dan siap untuk
di”buang”. Zat antara yang dihasilkan tersebut merupakan suatu radikal bebas
yang potensial mengganggu sel hati, me”racuni” sel hati. Tahap kedua merupakan
tahap “menetralisir” zat antara yang toksik tersebut. Dengan demikian, pada
dasarnya semua obat, bila penggunaannya tidak tepat, dapat menganggu fungsi
hati. Tidak tepat yang dimaksud adalah tidak tepat indikasinya, tidak tepat
penggabungannya dengan obat lain, tidak tepat dosisnya. Di lain pihak bayi baru lahir sampai usia 6
bulan kemampuan hatinya rendah sehingga kemampuan “clearance” atau pembuangan
obat juga rendah. Selain itu, kemampuan ginjal untuk mengeluarkan zat-zat yang
harus dibuang dari tubuh juga masih rendah. Oleh karena itu, pada kelompok ini
pemberian obat harus sangat berhati-hati karena risiko toksisitas obat jauh
lebih tinggi anak besar dan orang dewasa muda. Di lain pihak, pada usia sangat
lanjut, kemampuan hati juga sudah menurun sehingga kemampuan membuang zat zat
beracun juga sudah berkurang. Oleh karena itu, pemberian obat pada manula juga
harus berhati-hati. Demikian pula halnya dengan pemberian obat pada pasien
penyakit hati dan ginjal kronis.
Kerusakan
sel hati bisa terjadi kalau suatu obat diberikan bersama obat lain yang
sifatnya merangsang ensim P450 atau menghambat ensim gluthation. Sebagai
contoh:
-
Parasetamol, bila dosisnya berlebihan, dapat merusak hati.
Parasetamol di luar negeri sering dipakai remaja untuk suicide attempt.
Parasetamol juga akan meningkat toksisitasnya bila dicampur dengan obat lain
yang sifatnya merangsang ensim P450 seperti rifampisisn, fenobarbital atau INH.
Di lain sisi, pencampuran parasetamol denga luminal justru akan mengurangi
efek atipiretik parasetamol.
-
Obat anti TBC seperti pirazinamid (PZA), rifampisin dan INH,
memiliki risiko tinggi kerusakan hati. Terlebih bila digabung dengan obat lain
yang potensial merusak hati seperti obat anti kejang (asam valproat/depakene),
parasetamol.
-
Antibiotik golongan makrolid (eritromisin) dan antibiotik
kloramfenikol (kemisetin, kloramfenikol, thiamfenikol, urfamisin)
menghambat ensim P450 sehingga “clearance” atau pembuangan obat lainnya
terganggu dan mengakibatkan kadar obat kedua di darah meningkat dan meningkat
pula risiko toksisitas obat kedua. Misalnya, eritromisin digabung dengan
teofilin, maka risiko toksistas teofilin akan sangat meningkat. Di lain pihak,
teofilin sendiri tergolong obat dengan safety margin yang sempit dan indikasi
pemberiannya sebetulnya sangat terbatas.
-
Obat anti kejang; Obat sitostatika (antikanker); Hormon
PRINSIPPERESEPAN PADA ANAK
Beberapa prinsip yang harus dipikirkan saat memutuskan pemberian obat pada
populasi pediatri:
-
Apakah terapi memang dibutuhkan? Hal ini tentunya dipengaruhi
oleh akurasi diagnosis yang ditegakkan, oleh perhitungan risiko dan keuntungan
Pemilihan obat, termasuk jenis/bentuk obat dan dosisnya. Pilihan
tentunya jatuh kepada obat yang paling cocok (sirup/dropmerupakan bentuk yang
paling cocok untuk bayi/anak), yqng paling aman. Hindari pemakaian tetrasiklin.
Kloramfenikol jangan dipakai sampai bayi usia 2 bulan;
pemakaiannya seyogyanya disertai dengan pengukuran kadarnya di darah.
-
Dosis. Pilih obat yang sudah
diteliti. Dosis juga harus bersifat individuil. Pada obat tertentu pantau dosis
dengan efek yang dialami anak. Peresepan harus jelas disertai dengan instruksi
yang jelas. Tulisa terbaca dan dalam bahasa lokal.
-
Drug compliance atau kepatuhan pemakaian obat.
Oleh karena itu, penulisan resep harus disertai dengan instruksi yang mudah
dimengerti.
-
Lama terapi. Ditentukan oleh hasil kajian terkini (EBM),
perjalanan atau pola penyakitnya (nature of illness)
-
Biaya.
-
Kemungkinan kesalahan dispensing.
Oleh karena itu, kebijakan pemberian obat pada
bayi harus mengedepankan safety, efficacy berada
diurutan berikutnya. sesederhana mungkin dan dengan penjelasan yang informatif.
APAKAH ANAK BENAR-BENAR
BUTUH OBAT? APAKAH OBAT YANG DIBERIKAN OBAT YANG PALING “TEPAT”?
Pertanyaan pertama yang harus ada di kepala kita adalah Is this the best
drug? Is it safe?
Selanjutnya, pertanyakan bagaimana dampaknya
terhadap penyakit yang sedang dialami anak, berapa lama terapi harus diberikan,
apakah instruksi dosisnya jelas, efek samping yang mungkin bisa terjadi, ada
tidaknya interaksi dengan obat yang lain.

0 Response to "MENGAPA KITA PERLU MEMAHAMI KONSEP RUD?"
Post a Comment