Spiritualitas, Sebuah Kebutuhan

Spiritualitas, kerohanian, keberagamaan, tidak terlepas daaari keberadaan manusia karena manusia memang berdimensi ganda: jasmani dan rohani. Perjalanan keberagamaan seseoraang sangat dipengaruhi oleh sedikit atau banyaknya pemahaman terhadap agamanya serta intensitas perenungan/zikirnya terhadap Allah. Semakin mendalam pemahaman agamanya serta semakin mendalam zikirnya kepada Allah, selalu kontak dengan Sang Pencipta (Allah Subhana Hu wa Ta’ala) dan secara horizontal selalu kontak dengan masyrakat sekitarnya dengan wujud penyantunan, sikap yang baik (al-akhlaqul-karimah) terhadap masyarakat dan lingkungan. 

Sebaliknya, semakin sedikit pemahaman terhadap agamanya serta semakin jarangnya kontak zikir terhadap Allah –padahal spiritualitas mendesak dibutuhkan – sebisa-bisanya saja spiritualitas diraih. Tidak jarang spiritualitas yang diraih justru menjatuhkan martabat manusia ke bawah cengkeraman makhluk gaib yng ingkar kepada Allah, lagi menyesatkan. 

Betapa banyaknya tingkah laku spiritual yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam dilakukan oleh sebagian orang. Lebih-lebih jika situasi (politik, ekonomi, social, ketertiban dan keamanan) tidak menentu bagi seseorang dan masyarakat luas, sembarang tingkah laku spiritual pun merebak dilakukan. 

Rupanya benar seperti yang dinyatakan oleh Niels Mulder, bahwa telah terjadi pencampuradukan konsep dan cara berpikir Islam dengan pandangan asli (kepercayaan lokal, pen.). Pencampuradukan itu misalnya berupa penyebutan nama-nama demon (makhluk gaib yang jahat) dalam doa kepada Allah. Hal tersebut lazim terjadi dalam masyarakat Jawa yang kental Kejawen-nya. Bahkan pertunjukan/upacara Singabarong (dengan tari reog Ponorogo) dalam arak-arakan pengantin di beberapa daerah Jawa Timur, disebut sebagai “naik haji ke Makah” (van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, hlm. 14). 

Sementara penghayatan keagamaan yang kering di kalangan umat Islam karena terhambat bahasa yang tak dipahami, menyebabkan pelarian pada ritus spiritual model Kejawen yang relatif dapat dipahami melalui bahasa yang dipakai. Karena itu, ada saja orang muslim yang juga rajin memakai mantra-mantra dan ritual Kejawen untuk memuaskan gejolak spiritualitasnya. Lebih-lebih di kalangan masyarakat yang nyaris tidak tersentuh oleh nilai-nilai keagamaan, pelarian spiritual tersebut lebih sering terjadi bahkan dalam kadar lebih tinggi. Lebih-lebih lagi, jika situasi psikologis tidak menentu karena masalah-masalah social, ekonomi, politik, dialami oleh orang tersebut, pelarian spiritual lebih sering terjadi. 

Kasus pelarian spiritual pada hal-hal yang magis dan pemujaan demon terjadi, misalnya dalam bentuk tapa pendhem (bertapa mengubur diri) yang baru-baru ini dilakukan oleh seseorang di daerah Klaten. Dalam tapa pendhem itu ia merasa ditemui oleh tokoh-tokoh fiktif yang sudah menjadi mitos, seperti, Eyang Sapu Jagat, penghuni Gunung Merapi, Semar dan sebagainya. (Kompas, Edisi Jateng Yogya, Rabu 10 Maret 2004). Hal serupa juga telah dilakukan oleh seorang dari daerah Kendal pada tahun 1984. Setelah seminggu melakukan tapa pendhem, ia merasa ditemui oleh Malaikat Munkar Nakir, yang berpesan kepadanya agar selalu melaksanakan shalat lima waktu (Suara Merdeka, Kamis 7 September 1989). 

Menanggapi hal seperti itu, seorang psikiater (dr. Ismed Yusuf) menyatakan bahwa hal itu tidak terlepas dari latar belakang budaya Jawa yang memang sarat dengan fenomena spiritual. (Suara Merdeka, Jum’at 8 September 1989). Sedangkan fenomena spiritual dalam budaya Jawa sangat beragam dan tdiak terlepas dari hal-hal yang magis okultisme (ilmu kekebalan) yang menurut salah seorang penganut aliran kebatinan merupakan sisa-sisa kebudayaan kuno sebagai pengaruh faham tantrisme bangsa Dravida. Fenomena magis okultisme ini merupakan pengalaman yang keliru dan telah menyebabkan degradasi (kemunduran) budaya keraton. Demikian Drs. Warsito dalam tulisannya di Harian KAMI tahun 1972 (dibukukan dengan judul Disekitar Kebatinan Bulan Bintang, Jakarta, 1973). 

Tapa pendhem yang dilakukan oleh kedua orang tersebut tidak terlepas dari adanya mitos yang mempengaruhinya. Misalnya pelaku tapa pendhem yang merasa ditemui oleh Eyang Sapu Jagat dan Kyai Semar itu terpengaruh oleh tokoh mitos (yang adanya hanya di alam khayal) itu. Eyang Sapu Jagat adalah merupakan tokoh mitos dari sekian tokoh mitos yang disebut dhanyang (makhluk halus yang dianggap sebagai penunggu suatu tempat) yang ada di seluruh Pulau Jawa. Para dhanyang penunggu itu selalu dipuja dan dimintai tolong oleh penghayat spiritualisme magis okultisme. Gejala demikian masih merebak di dalam masyarakat grass root. 

Betapa masih beratnya tugas pembimbing umat untuk mengentaskan masyarakat dari kubangan syirik. Tampaknya ide-ide tauhid harus ditanamkan di kalangan mereka., sejak dari yang paling mendasar. Bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia, maka tidak perlu minta pertolongan kepada makhluk-makhluk gaib, namun langsung kepada Allah. Segala permohonan perlindungan hanya ditujukan kepada Allah. Mungkin, buku-buku yang mengupas tuntas masalah khurafat (mitos) seperti Kitabut Tauhid (Muhammad bin ’Abdul Wahhab) dan Fathul Majid (’Abdurrahman bin Hasan Alisy Syaikh) harus lebih banyak dikaji dan didakwahkan ke dalam masyarakat. Selain, tentu saja, juga harus memahami pola-pola pikir kaum penghayat magis okultisme agar dapat meluruskan pemahaman mereka. 

Adapun untuk mengisi spiritualisme/kerohaniannya perlu diperkenalkan Al-Azkarul-Yaumiyyah (Zikir-zikir Harian), di samping harus melakukan ibadah shalat wajib dan nafilah. Ada sebuah buku kecil yang memuat zikir-zikir harian. Hisnul Muslim min Azkaril Kitab was Sunnah (Sa’id al-Qahtaniy). Dengan memperkenalkan/membaca lafalnya dan memahami maknanya, insya Allah kebutuhan spiritualitas yang Islami terpenuhi. Jika spiritualitas Islami ini terpenuhi, sekaligus bertumpu pada aqidah yang Islami, orang tidak akan mencari pada bentuk-bentuk spiritulitas khurafiyah bid’iyah (kerohanian yang berbau khurafat dan bid’ah). Ke sanalah di antaranya dakwah diarahkan. 

Sumber: 

Suara Muhammadiyah 

Edisi 07-2002 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Spiritualitas, Sebuah Kebutuhan "

Post a Comment