PENDIDIKAN UNTUK MEMBANGUN KARAKTER: MULAI DARI MANA?.

Mulai dengan yang Paling Dibutuhkan
Pembangunan karakter tidak hanya untuk sebuah idealisme namun hal ini juga hendaknya memiliki makna nyata dalam membangun kesejahteraan hidup masyarakat. Sebab itu, pembangunan karakter pada tataran individu dan tataran masyarakat luas perlu bersifat kontekstual. Artinya, untuk Indonesia, karakter utama apa saja yang perlu dikuatkan agar bangsa Indonesia lebih mampu secepat mungkin meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Paterson dan Seligman, mengidentifikasikan 24 jenis karakter yang baik atau kuat (character strength). Karakter-karakter ini diakui sangat penting artinya dalam berbagai agama dan budaya di dunia. Dari berbagai jenis karakter, untuk Indonesia ada lima jenis karakter yang sangat penting  dan sangat mendesak dibangun dan dikuatkan sekarang ini yaitu: kejujuran, kepercayaan diri, apresiasi terhadap kebhinekaan, semangat belajar, dan semangat kerja. Karakter ini sangat diperlukan sebagai modal dasar untuk memecahkan masalah besar yang menjadi akar dari kemunduran bangsa Indonesia selama ini yaitu korupsi, konflik horizontal yang berkepanjangan, perasaan sebagai bangsa kelas dua, semangat kerja dan semangat belajar yang  rendah. 

Lima jenis karakter ini hendaknya menjadi tema pengembangan karakter pada tataran nasional, tidak hanya pada tataran individual. Artinya, seluruh substansi, proses, dan iklim pendidikan di Indonesia, secara langsung atau tidak langsung hendaknya menyampaikan pesan yang jelas kepada setiap warga negara, apapun latar belakang suku, agama, ras dan golongan mereka, bahwa tidak ada bangsa Indonesia yang  sejahtera, berkeadilan dan bermartabat di masa depan tanpa kemampuan untuk bersatu dan maju bersama dalam kebhinekaan, tanpa kejujuran, tanpa kepercayaan diri, tanpa   belajar dan tanpa kerja keras. Dari lima karakter tersebut tidak ada yang sangat spesifik Indonesia, karena bangsa-bangsa lainpun mencapai kemajuan lewat usaha yang sungguh-sungguh untuk membangun negara yang relatif bersih dari korupsi, belajar memanfaatkan kebhinekaan sebagai kekuatan, belajar memecahkan konflik secara damai, terbuka untuk belajar dari mana saja, dan kerja keras. Masalahnya adalah bahwa Indonesia, dalam perjalanan sejarahnya selama setengah abad terakhir ini telah mengalami kemerosotan yang luar biasa, dalam lima karakter yang paling dasar yang diperlukan untuk menghela kemajuan dan kemakmuran bangsa. 

Membangun dan Menguatkan Kesadaran mengenai akan Habis dan Rusaknya  Sumber Daya Alam Indonesia.
Sumberdaya alam kini sudah tidak bisa lagi dijadikan tumpuan untuk menciptakan kesejahteraan. Kalau Indonesia belum berhasil menciptakan tumpuan kesejahteraan baru yang bersumber dari kecerdasan, kredibilitas, kohesivitas, dan semangat kerja masyarakatnya, maka Indonesia akan tetap menjadi salah satu negara yang paling tertinggal di dunia. Dalam keadaan seperti itu, masa depan bangsa kita akan dikendalikan orang atau bangsa lain, atau dengan kata lain kita akan merelakan diri menjadi ’negara jajahan’ di era moderen. Memang proses penjajahan kini tidak dijalankan dengan kekerasan seperti di masa lalu, namun dilakukan dengan cara-cara yang sangat elegan, seperti membanjiri pasar Indonesia dengan barang-barang baru yang lebih kompetitif, mempengaruhi cara berpikir serta  kebijakan-kebijakan pembangunan. Adalah menjadi kewajiban moral generasi sekarang ini untuk mencegah terjadinya keadaan buruk seperti itu.

Kesadaran di atas dibangun dan diperkuat pada setiap warga masyarakat, pada anak-anak, pada pemuda, pada orang tua, di semua daerah, di semua sektor kehidupan. Membangun kesadaran baru ini adalah langkah utama dalam upaya bangsa ini untuk mendidik dirinya sendiri, mengembangkan semangat belajar, dan semangat kerja.  Ini menjadi tugas setiap orang, apapun peran dia: orang tua, guru, jurnalis, pejabat negara, politisi, pegawai pemerintah, aktivis LSM, pengusaha, pekerja swasta, rohaniwan. 

Membangun dan Menguatkan Kesadaran serta Keyakinan Bahwa Tidak Ada Keberhasilan Sejati di Luar Kebajikan.

Pada banyak orang di Indonesia sekarang ini berkembang pandangan bahwa kejujuran akan menjadi penghambat dalam mencapai keberhasilan usaha atau pengembangan karir. Pandangan ini banyak dianut di lingkungan orang-orang yang bekerja di lingkungan birokrasi pemerintah dan perusahan yang banyak mendapat proyek dari pemerintah. Pandangan seperti ini nampaknya didasarkan pada pengamatan tentang adanya orang-orang yang dikenal jujur lalu ’tidak dipakai’ di kalangan birokrasi dan banyak media menampilkan tokoh yang disebut ’berhasil’ namun di mata publik tokoh tersebut dianggap berbisnis dengan tidak mengindahkan etika dan memanfaatkan koneksinya dengan para pemegang kekuasaan. Dalam menjalankan fungsinya untuk membangun karakter, tugas besar pendidikan di Indonesia adalah membongkar pandangan seperti ini. Pendidikan di Indonesia dengan cara-cara  yang kreatif hendaknya dapat membangun kesadaran dan keyakinan pada guru dan siswa atau mahasiswa bahwa dalam kehidupan ini tidak ada keberhasilan sejati di luar kebajikan; bahwa kehidupan yang membawa rahmat bagi masyarakat luas adalah kehidupan yang dibangun dengan  kebajikan, dan salah satu dari kebajikan tersebut adalah kejujuran. Proses dan lingkungan pendidikan hendaklah dapat menumbuhkan dan menguatkan kesadaran dan keyakinan bahwa tidak ada cara yang benar untuk melakukan hal yang salah (there is no right way to do the wrong things); bahwa keberhasilan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh apa yang dia capai, tetapi juga oleh cara-cara mencapainya. Pendidikan hendaknya dapat menjauhkan masyarakat Indonesia dari sikap ’tujuan menghalalkan cara’.

Membangun Kesadaran dan Keyakinan bahwa Kebhinekaan Sebagai Hal yang Kodrati dan Sumber Kemajuan.
Hanya sedikit sekali bangsa di dunia yang dianugrahi kebhinekaan seperti Indonesia. Indonesia sangat bhineka dari berbagai aspek: flora, fauna, suku, adat istiadat, bahasa, agama dan sistem kepercayaan. Kebhinekaan dalam kehidupan di bumi ini adalah hal yang kodrati. Kebhinekaan secara biologis telah menjadi sumber kekuatan. Bibit-bibit unggul atau generasi baru yang lebih baik, lahir dari persilangan beraneka jenis species atau varietas. ’Persilangan’ dari yang sejenis tidak akan membawa keunggulan, bahkan akan mewariskan kelemahan. Kehidupan di dunia ini tidak akan berlangsung lama apabila tidak ada kebhinekaan, atau apabila hanya ada sejenis tumbuhan, atau sejenis hewan, sejenis manusia, dan semuanya berfikir dengan cara yang sama.

Dalam pendidikan formal ini berarti, substansi, sistem, dan lingkungan pendidikan perlu secara sistematik mencegah tumbuhnya arogansi sosial yang didasari keyakinan agama, suku, atau golongan atau ras, mencegah berkembangnya eksklusifisme, kecenderungan bersikap diskriminatif dan pada saat yang sama menganjurkan berkembangnya inklusivisme. Pendidikan hendaknya memberikan perhatian yang lebih besar pada upaya menemukan kesamaan di tengah-tengah perbedaan, bukan sebaliknya justru hanya membesar-besarkan perbedaan dan mengabaikan kesamaan.

Membangun Kesadaran dan Menguatkan Keyakinan Bahwa  Tidak Ada Martabat yang Dapat Dibangun dengan Menadahkan Tangan.
Berpuluh-puluh tahun Indonesia menyandarkan pembangunan ekonominya pada hutang luar negeri. Setiap tahun, selama lebih dari 30 tahun pejabat tinggi republik ini ber-ramai-ramai pergi ke luar negeri untuk minta kerelaan para pemilik dana untuk bersedia meminjamkan uangnya–dibungkus dengan nama bantuan -kepada Indonesia. Hal yang mengganggu bukanlah hutangnya, namun sikap pejabat kita ketika mendapatkan hutang. Di media masa, selama bertahun-tahun ditimbulkan kesan bahwa misi para pejabat ini makin berhasil apabila pinjamannnya makin besar. Para pembesar lebih bangga kalau dapat hutang lebih besar. Karena ’pesan’ seperti ini terus menerus disampaikan melalui media masa dan diikuti oleh masyarakat luas, lama-kelamaan terjadi anggapan bahwa menadahkan tangan itu normal, bahkan membanggakan. Pendidikan untuk membangun karakter bangsa harus mengikis pandangan seperti ini. Substansi, proses dan lingkungan pendidikan hendaknya menjauhkan generasi muda Indonesia, masyarakat Indonesia pada umumnya, dari kebiasaan hidup menadahkan tangan, dan membangun keyakinan bahwa seseorang atau suatu bangsa tidak akan pernah menjadi orang atau bangsa yang bermartabat, apabila orang atau bangsa bersangkutan senang menadahkan tangan, menjadi peminta-minta, atau hidup dengan meminta dari orang atau bangsa lain. Sebaliknya, pendidikan haruslah dapat menumbuh dan menguatkan kesadaran dan keyakinan bahwa kemajuan dan keberhasilan yang sebenarnya memerlukan usaha keras, perjuangan, dan keteguhan hati. Pada dasarnya, dalam hidup ini tidak ada yang namanya ’makan siang gratis’; yang mau berhasil harus berusaha dan bekerja keras dan bekerja cerdas serta  bisa mengendalikan diri. 

Menumbuhkan Kebanggaan Berkontribusi.
Seorang warga negara yang selalu setia membayar pajak sesuai dengan peraturan pada suatu hari ditanya oleh rekannya, mengapa dia melakukan hal itu, sementara orang-orang lain selalu berusaha mencarai akal untuk tidak membayar pajak, atau menghindari pajak. Dia menjawab singkat, ’dalam hidup ini, saya bangga sebagai seorang kontributor’.

Suatu negara tidak akan pernah maju apabila para pemegang kekuasaan dan kroni-kroninya ramai-ramai menggerogoti atau merampoknya, namun sedikit orang yang berkontribusi untuk kemajuannya. Indonesia termasuk salah satu negara yang digerogoroti beramai-ramai oleh sebagian warganya sendiri melalui tindakan korupsi atau tidak melakukan kewajiban sebagai warga negara yang baik.

John F. Kennedy sangat terkenal dengan pidato pelantikannya sebagai Presiden Amerika Serikat yang berjudul ’Ask not what the country can do for you; ask what you can do for your country’ [6]. Pesan pidato ini sangat jelas, yaitu mengobarkan semangat untuk berkontribusi. Pesan ini sebenarnya berlaku bagi setiap warga negara dari negara manapun di dunia yang menginginkan negaranya berjaya. Semangat  seperti inilah yang telah ditunjukkan dalam tindakan nyata oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia, yang menghantarkan bangsa ini kepada kemerdekaan, jauh sebelum John F Kennedy menjadi presiden Amerika Serikat.  Sayangnya, di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan dengan berkembangnya kebiasaan menadahkan tangan pada pemilik modal luar negeri dan membiaknya kleptokrasi, surut juga semangat untuk berkontribusi. Banyak orang memakai kekuasaan yang dipercayakan kepadanya, bukan untuk berkontribusi, tetapi untuk mencuri atau merampas kekayaan negara.

Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia, secara sistematik perlu diarahkan untuk mengembangkan kembali kebanggaan berkontribusi ini. Kebiasaan memberi atau menyumbang, dalam bentuk apapun, sekecil apapun, untuk kebaikan masyarakat hendaknya dijadikan salah satu fokus perhatian dalam membangun karakter. Kebiasaan seperti ini haruslah diberi apresiasi atau diberi penghargaan.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PENDIDIKAN UNTUK MEMBANGUN KARAKTER: MULAI DARI MANA?. "

Post a Comment