ISTILAH KECERDASAN EMOSIONAL
Istilah kecerdasan emosional pertama
kali dikemukakan oleh psikolog Peter Saloveny dari Harvard university dan John
Mayer dari Universitas of New Hampshire pada tahun 1990 yang bertujuan untuk
menjelaskan kualitas-kualitas emosional yang penting bagi keberhasilan
seseorang. Kualitas tersebut meliputi : empati, mengungkapkan dan memahami
perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri,
disukai, kemampuan menyelesaikan masalah antar pribadi, ketekunan,
kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat Saloveny dan Mayer mula-mula
mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan
sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi, baik emosi diri
sendiri maupun orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi
ini untuk membimbing pikiran dan tindakan (Lawrence E. Shapiro, 1997 : 5 - 8).
Pendapat lain dikemukakan Daniel Goleman
(2001 : 512) bahwa kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence (EI)
merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri, dan dalam hubungannya dengan orang lain. Dengan
demikian EI mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda tetapi saling melengkapi
dengan IQ. Berdasarkan pendapat ini, maka seseorang dianggap ideal jika dapat
menguasai keterampilan kognitif (daya pikir), sekaligus keterampilan sosial dan
emosional. Ciri-ciri kecerdasan emosional menurut Goleman (2002 : 45)
diantaranya : memiliki kemampuan dalam memotivasi diri sendiri, bertahan
menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, tidak melebih-lebihkan
kesenangan, mengatur suasana hati, menjaga agar beban stres tidak mengurangi
kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa.
Lebih lanjut Goleman (2002 : xiii) menyatakan aspek-aspek kecerdasan
emosional mencakup kemampuan : pengendalian diri, semangat dan ketekunan,
memotivasi diri sendiri.
Aspek-aspek kecerdasan emosional
tersebut selanjutnya diperluas menjadi beberapa kemampuan yang lain yang
menurut Solovey (Goleman, 2002 : 57 – 59) merupakan kemampuan utama, yaitu
kemampuan untuk : mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri
sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan antar sesama.
Menurut Suharsono (2004 : 120 – 121), kecerdasan emosional tidak hanya
berfungsi untuk pengendalian diri, tetapi juga mencerminkan kemampuan dalam
mengelola ide, konsep, karya, maupun produk. Ada banyak keuntungan bila seseorang memiliki
kecerdasan emosional secara memadai, diantaranya :
a. Mampu menjadi alat untuk pengendalian
diri, sehingga seseorang tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan bodoh yang
merugikan diri sendiri maupun orang lain.
b. Dapat diimplementasikan sebagai cara
untuk memasarkan atau membesarkan ide, konsep, bahkan produk.
c. Modal penting bagi seseorang untuk
mengembangkan bakat kepemimpinan dalam bidang apapun.
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(MIPA) adalah sekumpulan bidang ilmu yang sampai saat ini dianggap momok bagi peserta
didik, baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA. Hal ini karena MIPA menelaah dan
mempelajari konsep-konsep yang sebagian besar abstrak dan sulit dibayangkan.
Selain dari segi substansi MIPA itu sendiri, yang menyebabkan banyak peserta
didik ketakutan terhadap pelajaran MIPA karena hampir sebagian besar guru MIPA dianggap
berpenampilan serius dalam mengajar, terkesan galak dan killer.
Penelitian yang dilakukan E. J. Thomas
tahun 1972 (Tjipto Utomo dkk., 1994 : 185) menunjukkan peserta didik akan
mengalami penurunan konsentrasi pada menit ke-15, sehingga bila seorang
pendidik tidak menyadarinya konsentrasi peserta didik makin menurun dan
akhirnya hanya sebagian kecil materi yang dapat dipahami oleh mereka. Hal ini
bila dihubungkan dengan pembelajaran MIPA dimana materinya banyak berisi
tentang perhitungan dan konsep-konsep abstrak yang relatif kurang menarik, maka
ketika guru mengajar terlalu serius tidak akan efektif untuk menanamkan
pemahaman peserta didik. Guru perlu memberikan berbagai variasi dalam
pembelajaran MIPA agar konsentrasi yang menurun dan syaraf yang tegang dapat
dipulihkan kembali. Guru perlu memahami terhadap kondisi peserta didik, kapan
mereka harus dibawa serius dan kapan mereka harus dikendorkan syaraf otaknya.
Kemampuan memahami keadaan orang lain
(empati) merupakan salah satu bentuk EQ, dan inilah kemampuan yang harus dimiliki
oleh guru jika ingin pembelajaran yang dijalankannya berhasil dengan baik.
Terkadang guru, khususnya guru MIPA terlalu serius dalam mengajar hingga lupa
bahwa peserta didik adalah mereka yang memiliki dua bagian otak kanan dan kiri
yang keduanya harus dikembangkan secara seimbang. Hal ini artinya guru harus
dapat ”memberi makan” bagian kedua bagian otak peserta didiknya. Otak kiri dikembangkan
ketika guru mengajarkan konsep-konsep yang berkaitan dengan logika, kata /
bahasa, matematika, sedangkan otak kanan juga harus diperhatikan dengan
mengembangkan hal-hal yang berkaitan dengan musik, gambar, warna, imajinasi,
kreativitas, emosi, perasaan. Mengajar dengan memperhatikan perkembangan otak
kanan – kiri ini memerlukan kemampuan EQ yang baik.
Saat ini kemampuan guru berempati sangat
penting, melihat kondisi saat ini banyak orangtua yang terlalu sibuk hingga
”lupa” memperhatikan anak-anaknya. Sebagai pendidik yang ikhlas menjalankan
tugas, maka kita dapat menjadi pelarian dan tumpuan peserta didik yang
bermasalah dalam keluarganya dengan cara berempati terhadap masalah mereka.
Dengan demikian mereka tidak terjerumus pada pelarian masalah ke dalam hal-hal
yang menyesatkan, seperti pergaulan bebas dan NARKOBA.
Seperti
diketahui, peserta didik selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk
sosial yang selalu berhubungan dengan manusia lain, baik di lingkungan
keluarga, masyarakat maupun sekolah (Syaiful Bahri, D., dkk, 1997 : 203). Oleh
karena itu guru perlu menyadari bahwa keberhasilan dan prestasi belajar mereka
dapat tercapai bukan hanya disebabkan oleh kecerdasan dan faktor intern lainnya,
tetapi juga dipengaruhi oleh hubungan sosialnya dengan guru (faktor ektern)
(Slameto, 1993 : 54). Ketertarikan anak didik pada pembawaan guru yang ramah dan
dapat diajak bicara akan menumbuhkan motivasinya terhadap materi yang
diajarkan, sehingga berakibat positif bagi keberhasilan proses belajarnya.
Menurut
Arief Rahman (1999 : 5), seorang pendidik haruslah memiliki kemampuan empati,
yaitu kemampuan untuk menangkap sinyal-sinyal yang tersembunyi yang
mengisyaratkan apa-apa yang diperlukan dan dikehendaki orang lain. Dengan
kemampuan ini diharapkan seorang guru dapat cepat tanggap dan peka terhadap
keadaan anak didiknya dan berusaha menolongnya. Kemam-puan empati dapat dikembangkan
jika guru sering berkomunikasi dan memper-hatikan anak didiknya dengan seksama,
tidak sekedar menyampaikan materi.
Guru
merupakan orangtua di sekolah sekaligus sahabat berbagi masalah. Keberhasilan pendekatan
guru terhadap anak didiknya amat tergantung pada guru yang bersangkutan.
Seorang guru hendaknya memiliki kepekaan berpikir, pengetahuan psikologis
tentang mereka serta mampu berkomunikasi secara bersahabat tanpa rasa menggurui
(Intisari, 1994 : 72). Selain itu guru harus mampu mengikuti perkembangan
gejolak remaja masa kini, sehingga pembinaan terhadap anak didiknya relevan
dengan jamannya (era globalisasi).
Selain empati, kemampuan EQ yang lain
ditunjukkan dengan semangat bekerja yang tinggi. Hal ini juga berpengaruh
terhadap perkembangan dan karakter anak didik. Guru yang mengajar dengan
semangat tinggi, tidak loyo dan ”ogah-ogahan’ akan mampu menginspirasi belajar
anak didik untuk lebih giat sesuai dengan tauladan yang ditunjukkan gurunya.
Banyak contoh di lapangan, guru-guru yang malas mengajar yang bisanya hanya
memberi tugas dan mengajar dengan duduk tanpa atraktif dan interaktif dengan
anak didiknya, yang tentu saja ditanggapi oleh anak didik tidak bersemangat juga.
Guru ber-EQ baik jika mampu menunjukkan
bagaimana bergaul yang baik dengan peserta didiknya. Seringkali kita melihat
guru-guru yang membatasi diri untuk bergaul bahkan berbicara dengan peserta
didiknya dengan alasan yang sangat tidak rasional, yaitu takut hilang
wibawanya. Padahal tidak sedikit guru-guru yang takut wibawanya tersebut, tidak
menunjukkan tauladan yang baik bagi anak didiknya, misalnya menyetor nilai
terlambat, tugas peserta didik yang tidak pernah dikoreksi dan dikembalikan,
sampai pada cara mengajar yang tidak profesional yang justru menjatuhkan
wibawanya jauh lebih buruk di mata peserta didiknya. Bergaul dengan anak didik
bukan berarti bergaul tanpa batas. Sebagai guru pasti mengetahui batas-batas
bergaul dengan peserta didik. Berbicara di luar kelas adalah hal yang wajar
bagi seorang guru bila ia ingin dekat dan mengetahui lebih jauh kondisi dan
permasalahan anak didiknya. Bahkan memperbolehkan anak didik bertandang ke
rumah guru adalah cara efektif untuk dapat mengenali mereka dengan lebih baik.
Kalau memungkinkan gurupun dapat berkunjung ke rumah anak didik yang sedang
sakit atau mengalami musibah sebagai bentuk perhatian dan kepedulian kita
kepada orang lain (bagian dari empati) guru kepada anak didiknya.
Pembentukan karakter anak didik bukan
hanya melalui “siraman rohani” di dalam kelas, tetapi guru juga dapat
menunjukkan dalam bentuk sikap yang terpuji dan bertanggung jawab. Sebagai
contoh, selalu mencoba menjawab pertanyaan anak didik di luar kelas, selalu
memberitahu anak didik bila tidak masuk kantor / tidak dapat mengajar, selalu
minta maaf jika sebelumnya telah menjanjikan sesuatu tetapi belum bisa
menepati, dan sebagainya. Contoh-contoh sikap seperti itu meski kita tidak
berbicara, tetapi anak didik melihat, mengamati, dan menandainya sebagai sikap
yang patut ditauladani bagi mereka. Hal ini sangat efektif dalam membantu
pembentukan karakter mereka di kemudian hari.
Hal sepele sering terjadi dalam proses
pembelajaran yang tanpa kita sadari dapat mematahkan semangat anak didik hanya
karena kita sebagai guru tidak dapat memahami perasaan mereka. Sebagai contoh,
kita sering marah bila anak didik bertanya terus-menerus atau minta tolong pada
kita untuk mengulang penjelasan atau mereka tidak dapat menjawab pertanyaan
kita. Hal ini harusnya tidak terjadi, karena itu semua adalah bentuk
partisipasi mereka dalam pembela-jaran. Perlu kita pahami bahwa dalam belajar
anak didik banyak tidak tahu daripada tahu.
Guru harus memiliki kemampuan
beradaptasi yang tinggi terhadap karakter setiap anak didiknya yang memang
sangat heterogen, sebaliknya anak didiknya sendiri juga harus beradaptasi
dengan karakter gurunya. Jadi, dalam proses pembelajaran harus terjadi
kesepakatan bersama yang disetujuan kedua belah pihak, mulai dari hal yang
sederhana sampai yang kompleks. Untuk itulah di awal guru bertemu peserta didik
sebaiknya dilakukan kontrak belajar yang isinya membicarakan tentang hal-hal
apa saja yang harus disepakati bersama. Mulai dari mensiosialisasikan tujuan
mata pelajaran diberikan, tujuan pembela-jaran yang akan dicapai, sistem
pembelajaran, metode dan pendekatan, bentuk tugas, sistem penilaian, sampai
pada aturan bagaimana jika mereka terlambat masuk kelas dan berapa kali boleh
ijin / tidak masuk (kesepakatan khusus) di luar aturan sekolah secara umum
(jika perlu).
Ada satu peristiwa di Amerika Serikat yang ada kaitannya
dengan profesi guru, yaitu pada tahun 1948. Ketika itu banyak pasien masuk ke
rumah sakit besar di Amerika Serikat, ternyata yang menderita gangguan mental
17% pasien dokter, 19% petani, 30% dokter gigi, 36% ahli hukum dan ibu
rumahtangga, dan 55% guru ! (Nasution, 1987 : 121). Kenyataan ini
sangat mengejutkan, karena persen-tase terbesar penderita gangguan mental
adalah guru. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena pekerjaan sebagai guru
seringkali menimbulkan ketegangan dan frustasi. Guru yang demikian itu pastilah
guru yang tidak dapat mengenali emosi diri dan orang lain, tidak mampu
berempati terhadap keadaan orang lain, selalu mengedepankan emosi dibandingkan rasionalnya,
tidak mampu mengelola emosi dengan baik. Dengan adanya penemuan tentang
kecerdasan emosional saat ini, tentunya peristiwa tahun 1948 tersebut tidak
akan terulang lagi, karena guru diharapkan mampu mengenali dan memiliki EQ yang
memadai berkaitan dengan profesinya yang rawan ketegangan, kecemasan, dan
emosi.
0 Response to "ISTILAH KECERDASAN EMOSIONAL"
Post a Comment