Implementasi Pengembangan Kecerdasan Emosional dalam Perkembangan Anak


Seorang psikolog Harvard, Jerome Kagan, mengemukakan bahwa temperamen seorang anak mencerminkan suatu rangkaian emosi bawaan tertentu dalam otaknya. Sebuah cetak biru untuk ekspresi emosi-sekaligus perilakunya sekarang dan di masa mendatang. Menurut Kagan, seorang anak yang pemalu lahir dengan amigdala yang mudah terangsang, barang kali karena kecenderungan turunan untuk mempunyai norepinofrin atau senyawa kimia otak lain berkadar tinggi yang merangsang pusat pengendali emosi pada otak secara berlebihan. Melalui penelitian bertahun-tahun, ia telah menemukan bahwa 2/3 anak yang lahir pemalu tumbuh menjadi anak yang kikuk, penyendiri dan mudah lebih cemas, penakut, dan mengalami hambatan dalam bergaul ketika dewasa. Anak-anak ini tampaknya tidak mengembangkan saluran-saluran saraf antara amigdala dan korteks yang akan memungkinkan bagian otak untuk berpikir membantu bagian otak emosi menenangkan diri.

Jika manusia telah mengetahui besarnya pengaruh kecerdasan emosi dalam menunjang kesuksesan hidup seseorang, sudah sewajarnya pula orang tua perlu menyiapkan anak-anak untuk mencapai kecerdasan emosi pada kadar yang tinggi. Karena EQ tidak berkembang secara alamiah, artinya seseorang dengan tidak sendirinya memiliki kematangan EQ semata-mata didasarkan pada perkembangan usia biologisnya. Sebaliknya kecerdasan emosi sangat bergantung pada proses pelatihan dan bimbingan yang kontinue.

Dengan contoh hasil penelitian tersebut, maka mekanisme pengembangan kecerdasan emosi pada anak dapat dimulai sejak anak masih bayi, karena bayi juga mempunyai kecenderungan-kecenderungan yang apabila tidak diperhatikan secara seksama dapat berdampak pada perkembangan emosinya tatkala ia besar nanti.

Anak-anak (dan orang tua yang kurang dewasa) cenderung memandang dunia sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Ketika anak bertambah umur tujuh hingga delapan tahun, mereka menjadi lebih mudah berunding, berkompromi dan toleran. Tepat, seperti apa yang diketahui orang tua, proses ini mengalami pasang surut pada masa remaja. Banyak yang dapat dilakukan orang tua setiap hari untuk mengajarkan anak cara mengambil perspektif berbeda. Untuk dapat memahami kehidupan bayi dan anak-anak yang masih sangat muda, maka kita harus banyak menyadarkan diri pada observasi tingkah laku anak-anak tersebut, sebab anak-anak itu tidak dapat bercerita tentang keadaan diri sendiri, dan tidak mampu mengungkapkan kehidupan psikisnya.

Adapun pembentukan kecerdasan emosi pada anak dapat dilakukan melalui pemberian pelatihan EQ, menurut pandangan Goleman isi pelatihan emosional adalah sebagai berikut :
  1. Kesadaran diri
  2. Pengelolaan emosi
  3. Ketekunan
  4. Memotivasi diri
  5. Empati

Fungsi Kecerdasan Emosi Bagi Guru dan Anak.


Sebenarnya berbicara tentang fungsi kecerdasan emosi apabila ditinjau secara umum sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, yaitu agar seseorang dapat meraih kesuksesan dalam hidupnya. Walaupun kesuksesan itu sendiri masih dianggap sebagai sesuatu yang belum jelas, apakah kesuksesan dari segi materi atau non materi. Terlepas dari sukses dari segi materi atau non materi tersebut, disini peneliti akan mencoba menggagas tentang fungsi kecerdasan emosi bagi guru dan siswa dalam berbagai aspek, agar pendidikan memperoleh hasil yang maksimal.

Bertolak dari pemikiran seperti di atas, kesuksesan bagi seorang siswa di sekolah seringkali diasumsikan sebagai yang berhasil dalam prestasi akademiknya. Sehingga sangatlah wajar apabila dari siswa yang memiliki intelegensi yang tinggi diharapkan dapat diperoleh prestasi belajar yang   tinggi pula.

Untuk membahas kesuksesan siswa dengan menekankan kecerdasan emosi ini, peneliti akan melihat dulu pada apa yang dikatakan Gardner mengenai berbagi kecerdasan yang sebenarnya dimiliki anak.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Implementasi Pengembangan Kecerdasan Emosional dalam Perkembangan Anak"

Post a Comment