PERANAN ANTROPOLOGI KESEHATAN DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT PAPUA
Dalam bagian ini saya akan menguraikan peranan Antropologi Kesehatan dalam menjalankan program-program pembangunan yang direncanakan untuk memberikan perawatan kesehatan yang lebih baik pada masyarakat Papua. Ini berarti merupakan penerapan masalah pengetahuan Antropologi Kesehatan dan konsekuensinya.
Fokus yang dibicarakan dalam bagian ini adalah mengenai antropologi tentang kesehatan atau antropologi dalam kesehatan. Ini berarti membahas kesehatan dari perspektif antropologi “sebagai ahli antropologi” dan membahas ahli antropologi sebagai pekerja kesehatan.
Untuk menjadi seorang ahli antropologi kesehatan, seseorang memerlukan dasar latihan antropologi yang baik, pengalaman penelitian, naluri terhadap masalah, simpati terhadap orang lain dan tentu saja dapat memasuki dunia kesehatan dan masyarakat kesehatan yang bersedia menerima kehadiran para ahli antropologi itu.
Ahli antropologi mempunyai banyak ladang di dalam lembaga kesehatan atau “masyarakat kesehatan” sebagai tempat kajiannya seperti rumah sakit jiwa, rumahsakit umum, dokter praktek, para pasien, sekolah-sekolah kedokteran, klinik-klinik, puskesmas dan “masyarakat kesehatan” lainnya. Metode-metode penelitian yang sama seperti yang dipergunakan ahli antropologi pada umumnya dalam penelitian tradisional dapat diterapkan kepada lingkungan-lingkungan itu (“masyarakat kesehatan”). Pranata-pranata kesehatan dalam arti yang luas adalah sejumlah lapangan penelitian yang sangat produktif bagi para ahli antropologi. Namun tidaklah cukup jika hanya pranata kesehatan saja yang dipelajari. Para ahli antropologi harus dapat memasuki pranata itu. Meneliti pranata kesehatan dalam masyarakat tradisional tidak memerlukan para tenaga kesehatan, tetapi meneliti “masyarakat kesehatan” tidak cukup seorang ahli antropologi, tetapi ia harus diterima dalam pranata masyarkat kesehatan dan membutuhkan bantuan tenaga profesional kesehatan yang lain.
1. Kondisi Ekologis dan Kebudayaan Masyarakat Papua
Papua ditinjau dari lingkungan alam sangat beranekaragam. Menurut Petocz (1987; 30-37) Lingkungan utama di Papua terdiri dari :
· Hutan Bakau, terdapat di rawa-rawa berair asin payau. Vegetasi ini tumbuh di sepanjang cekungan yang landai dan paling berkembang di daerah yang terlindung dari gamparan gelombang air laut. Hutan bakau yang paling luas terdapat di muara teluk Bintuni.
· Rawa, disepanjang pantai selatan, dataran rendah daerah Kepala Burung dan pantai utara delta Mamberamo ke arah barat sampai muara teluk Cenderawasih.
· Hutan basah dataran rendah
· Zone pegunungan bawah
· Zone pegunungan atas
· Zone Alpin
Kategori Petocz di dasarkan pada tinggi daratan diatas permukaan laut.
Walker dan Mansoben (1990), telah menggolongkan masyarakat dan kebudayaan Papua dalam tiga kategori, tipe-tipe mata pencaharian yang berkembang di tiga tipe ekologi atau lingkungan alam, yaitu :
· Daerah rawa-rawa, pantai dan banyak sungai
· Daerah kaki bukit dan lembah-lembah kecil
· Daerah dataran tinggi.
Parsudi Suparlan (1994), mengkritik kategori yang dibuat Walker dan Mansoben dengan menyebutkan bahwa apa yang telah dilakukan mereka sebenarnya telah mereduksi keanekaragaman kebudayaan-kebudayaan di Papua ke dalam kategori mata pencaharian dan ekologinya, akan banyak merugikan warga masyarakat Papua. Mata pencaharian bukanlah suatu gejala yang merupakan satuan yang berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan dan didukung oleh pengorganisasian sosial (keluarga, kelompok kekerabatan, keyakinan keagamaan, hak milik dan penguasaan atas tanah dan pohon, kekuasaan dan pertahanan, serta berbagai aspek lainnya). Selanjutnya Parsudi melihat bahwa kerugian yang dimaksud adalah diabaikannya satuan-satuan budaya yang mendukung kebudayaan ekonomi dari masyarakat setempat.
Berdasarkan kategori kebudayaan yang dibuat Walker dan Mansoben ini, oleh Parsudi Suparlan mengusulkan pembagian pola-pola kebudayaan di Papua dalam suatu penggolongan yang lebih luas yaitu :
· Wilayah pantai dan pulau, yang terdiri atas : (1) Daerah pantai utara, (2) Daerah-daerah pulau-pulau Biak-Numfor, Yapen, Waigeo dan pulau-pulau kecil lainnya, (3) Daerah pantai selatan yang penuh dengan daerah berlumpur dan pasang surut serta perbedaan musim kemarau dan hujan yang tajam.
· Wilayah pedalaman yang mencakup : (1) Daerah sungai-sungai dan rawa-rawa (2) Daerah danau dan sekitarnya (3) Daerah kaki bukit dan lembah-lembah kecil.
· Wilayah dataran tinggi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Walker dan Mansoben.
Koentjaraningrat mengelompokkan masyarakat Papua berdasarkan letak geografis dan mata pencahariannya menjadi tiga yaitu :
· Penduduk Pantai dan Hilir
Kelompok ini telah mengadakan kontak dengan dunia modern/luar kurang lebih 100 tahun yang lalu, dan sudah beragama Kristen dan Roma Khatolik. Mereka sudah mengalami pendidikan formal dan kebutuhan hidup tergantung pada pasar dengan sumber alam yang melimpah.
· Masyarakat Pedalaman
Kelompok-kelompok kecil yang tinggal di sepanjang sungai, di hutan-hutan rimba. mereka adalah peramu yang sering berpindah-pindah tempat tinggal, jumlah penduduknya tidak besar. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah orang-oranng Bauzi , Kerom, Waropen atas, Asmat hulu dan lain-lain.
· Masyarakat Pegunungan Tengah.
Kelompok masyarakat ini terdidri dari beberapa suku bangsa yang tinggal di lembah-lembah, di pengunungan tengah yang terdiri dari pegunungan Mooke, Sudirman. Dalam keadaan sekarang mereka ini pada umumnya tinggal di kebupaten Paniai dan Jayawijaya, jumlah penduduknya cukup padat. Pemeliharaan ternak babi dan pembudidayaan Ubi jalar merupakan kegiatan ekonomi yang maha penting (Giay.B; 1996, 4-5).
Sedangkan kalau kategori suku bangsa berdasarkan bahasa maka ada 271 lebih suku bangsa berarti, ada 271 lebih kebudayaan (Indek of Linguage, SIL, 1988, Jayapura)
Kategori-kategori ini mempunyai keuntungan tapi juga kerugian terhadap masyarakat. Keuntungannya adalah karena kategori ini bisa mempermudah menganlisis dan membuat rencana-rencana dan program. Kerugiannya adalah kategori ini bisa menjebak saya pada analisis-analisis yang dangkal dan kurang memperhatikan aspek-aspek yang lain. Namun untuk kepentingan ilmu, maka perlu ada klasifikasi-klasifikasi demikian. Saya tidak mau menganut klasifikasi-klasifikasi itu, tetapi orientasi saya bahwa kebudayaan ini berbeda-beda, tetapi untuk mengkategori perbedaan-perbedaan itu membutuhkan pekerjaan yang besar. Mudah-mudahan ada pakar-pakar dari Papua ini yang mau melakukan pekerjaan besar ini.
Menurut Koentjaraningrat (1994) kebudayaan di Papua menunjukkan corak yang beraneka ragam yang disebut sebagai kebhinekaan masyarakat tardisional Papua.
Dalam kepustakaan Antropologi, Papua dikenal sebagai masyarakat yang terdiri atas suku-suku bangsa dan suku-suku yang beraneka ragam kebudayaannya. Menurut Tim Peneliti Uncen (1991) telah diidentifikasi adanya 44 suku bangsa yang masing-masing merupakan sebuah satuan masyarakat, kebudayaan dan bahasa yang berdiri sendiri. Sebagian besar dari 44 suku bangsa itu terpecah lagi menjadi 177 suku. Menurut Held (1951,1953) dan Van Baal (1954), ciri-ciri yang menonjol dari Papua adalah keanekaragaman kebudayaannya, namun dibalik keanekaragaman tersebut terdapat kesamaan ciri-ciri kebudayaan mereka. Perbedaan-perbedaan kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Papua dapat dilihat perwujudannya dalam bahasa, sistem-sistem komunikasi, kehidupan ekonomi, keagamaan, ungkapan-ungkapan kesenian, struktur pollitik dan struktur sosial, serta sistem kekerabatan yang dipunyai oleh masing-masing masyarkat tersebut sebagaimana terwujud dalam kehidupan mereka sehari-hari
Walaupun terdapat keanekaragaman kebudayaan masyarakat di Papua, tetapi diantara mereka itu juga terdapat ciri-cirinya yang umum dan mendasar yang memperlihatkan kesamaan-kesamaan dalam inti kebudayaan atau nilai-nilai budaya mereka. Held mengatakan bahwa kebudayaan orang Papua bersifat longgar. Strukturnya yang longgar itu disebabkan oleh ciri-ciri orang Papua pada umumnya “Improvisator kebudayaan“, yaitu mengambil alih unsur-unsur kebudayaan dan menyatukannya dengan kebudayaannya sendiri tanpa memikirkan untuk mengintegrasikannya dengan unsur-unsur yang sudah ada dalam kebudayaannya, secara menyeluruh (Parsudi Suparland, 1994). van Baal (1951) mengatakan bahwa ciri utama kebudayaan Papua adalah tidak adanya integrasi yang kuat dari kebudayaan-kebudayaan mereka. Ciri-ciri kebudayaan tersebut muncul karena kebudayaan orang Papua yang rendah tingkat teknologinya dan yang dihadapkan pada lingkungan hidup yang keras sehingga dengan mudah menerima dan mengambil alih suatu unsur kebudayaan lain yang lebih maju atau lebih cocok.
Kebudayaan-kebudayaan Papua juga terbentuk atas interaksi diantara masyarakat-masyarakat Papua dan masyarakat di luar Papua. Interaksi dalam kategori yang terakhir diulas panjang lebar oleh Koentjaraningrat (1994). Dalam awal kontak interaksi yang memberi dampak dalam kehidupan penduduk Papua dengan akibat terjadinya perubahan-perubahan kebudayaan mereka adalah kontak interaksi dengan para pedagang yang mencari burung Cenderawasih dan menukarnya dengan kain Timor dan Manik-manik, para penyebar agama Kristen dan Katholik, yang mengkristenkan mereka melalui pendidikan formal dengan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya; Penyebaran teknologi dan penggunaan uang oleh pemerintahan jajahan Belanda di Papua dan kemudian oleh pemerintah Republik Indonesia. Kontak-kontak dengan kebudayaan dari luar telah memungkinkan orang Papua lebih terbuka dari sebelumnya, dan keterbukaan suku bangsa atau suku ini telah dimungkinkan karena ciri-ciri mereka sebagai “Improvisator” (Parsudi Suparlan, 1994).
0 Response to "PERANAN ANTROPOLOGI KESEHATAN DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT PAPUA "
Post a Comment