Implementasi Sistem Kesehatan: Belajar dari Sistem Kesehatan Kuba*

Oleh: Ede Surya Darmawan** 


Pengantar 

Makalah ini diawali dengan pertanyaan yang masih relevan dengan situasi yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini yaitu: 

Mungkinkan sebuah negara miskin (seperti Indonesia) mampu memberikan pendidikan yang bermutu dan pelayanan kesehatan berkualitas tinggi bagi warga negaranya? Adakah satu negara yang begitu tinggi memberikan perhatian bagi pengembangan sumber daya manusianya, walaupun secara ekonomi negara itu menghadapi kesulitan? 



Pertanyaan-pertanyaan itu seolah mendapat jawaban ketika kami (Delegasi Indonesia) melakukan kunjungan ke Kuba pada bulan Juni 2004 lalu. Tulisan ini dibuat khusus untuk seminar yang dilaksanakn FIKES UHAMKA dan sebagai pelengkapnya dapat merujuk pada opini bertajuk Pendidikan di Negara Miskin yang telah dimuat di Republika pada tanggal 3 Juli 2004 lalu yang ditulis bersama dengan Prof. Samsuridjal Djauzi (Dosen FKUI) dan tulisan bertajuk Memperkuat Layanan Puskesmas diterbitkan dalam Harian Suara Pembaruan 11 Juli 2004. Lebih jauh, tulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang alternatif dalam pilihan kebijakan publik bidang kesehatan bagi bangsa Indonesia yang saat ini sedang berbenah karena telah memiliki pemimpin baru, pemerintahan baru, dan tentu saja harapan baru. 

Sistem Kesehatan di Negara Kuba 

Sangat sedikit mendapatkan literatur tentang Kuba di dunia internasional terutama yang berbahasa Inggris. Salah satu yang dapat kami rujuk adalah buku berjudul Development Within Underdevelopment? New trend in Cuban Medicine, karya Prof. Ernesto Mario Bravo (1998). Sumber data lainnya benar-benar melalui wawancara dan literatur berbahasa Spanyol yang diproses melalui penterjemah atas budi dari budi baik Stafff KBRI di Havana. Untuk pembanding, penulis mempergunakan arahan sistem kesehatan dari WHO, Sistem Kesehatan Nasional dari Depkes RI dan teori dari HL Blum dalam bukunya Expanding the Horizon of Health Care. 



Sistem kesehatan Kuba pada satu sisi diawali dengan rumah sakit tenda di medan pertempuran pada zaman revolusi tahun 1950an. Bentuk lain adalah beberapa praktik dokter pribadi dan layanan kesehatan yang “diwariskan penjajah” Amerika Serikat (1905-1960an). Proses pengembangan sistem itu terus melaju bersama dengan perkembangan pembangunan Kuba yang memberikan prioritas pada pembangunan sumber daya manusia. Secara umum sistem kesehatan di Kuba seperti halnya di negara lain, menempel pada sistem pemerintahan negara yang bersangkutan. Artinya ada sistem di tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten/kota yang bertanggung jawab dari layanan kesehatan primer hingga tertier. 


Layanan Kesehatan Primer 

Pelayanan kesehatan di Negara Kuba dimulai dengan layanan kesehatan primer (primary health care) atau layanan kesehatan tingkat pertama di masyarakat. Layanan kesehatan primer ii dimulai dengan menempatkan seorang dokter keluarga yang melayani 100-150 keluarga sebanding 500-750 warga atau mencakup warga satu rukun tetangga (RT) di Indonesia. Dokter keluarga di Kuba adalah dokter-dokter muda yang telah menjalani pendidikan di fakultas kedokteran lengkap dengan pendidikan profesi dan residensi selama 3 tahun di unit pelayanan kesehatan umum berupa poliklinik atau setingkat puskesmas kecamatan di Indoensia. Dokter keluarga berpraktik di sebuah kantor dokter keluarga yang umumnya berbentuk sebuah rumah berlantai dua; lantai pertama adalah klinik tempat dokter keluarga berpraktik, lantai duanya adalah rumah tinggal dokter bersama keluarganya, dan pada bagian belakang atau samping biasanya dipakai sebagai rumah tinggal para perawat. Saat ini Kuba mempekerjakan sekitar 15.000 lebih dokter keluarga yang berpraktik di seluruh negeri Kuba. 



Untuk membina dan menjaga kualitas dokter keluarga, maka pada setiap 10 dokter keluarga ditempatkan sebuah Kantor Satuan Tugas Dokter Keluarga. Satuan tugas ini terdiri atas 3 dokter spesialis yaitu spesialis penyakit dalam, spesialis kebidanan dan kandungan, dan spesialis penyakit dalam, serta seorang pekerja sosial masyarakat. Bila dibandingkan dengan pembagian wilayah administrasi di Indonesia, maka cakupan dari satuan tugas dokter keluarga di Kuba sebanding dengan sebuah desa atau kelurahan. 



Struktur tertinggi dari layanan kesehatan primer di Kuba adalah sebuah poliklinik yang melayani sekitar 40.000 penduduk untuk setiap polikilinik. Ketika rombongan Indonesia berkunjung ke salah satu Puskesmas di Havana, berbagai pemandangan menakjubkan sempat kami lihat. Pada saat itu di ruang emergensi seorang ibu sedang mendapat terapi streptokinase diaawasi oleh seorang dokter spesialis Jantung dan seorang perawat. Kami tak pernah membayangkan tindakan tersebut dapat dilakukan di Puskesmas di Indonesia. 



Fungsi Puskesmas di Kuba adalah untuk promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan penyakit, rehabilitasi, serta pertolongan kedaruratan. Puskesmas yang terletak di Distrik LaLisa ini bertanggung jawab terhadap 40 ribu penduduk dan merupakan rujukan dari 66 dokter keluarga. Tulang punggung layanan primer di Kuba adalah dokter keluarga yang menjalankan upaya penyuluhan, pencegahan, terapi sederhana, serta kesehatan lingkungan. Jika terdapat kasus yang perlu dirujuk, maka pasien akan di rujuk ke Puskesmas terdekat. 



Dalam tahun terakhir ini, Pemerintah Kuba berupaya untuk melengkapi Puskesmasnya menjadi pusat pelayanan primer yang dapa diandalkan sehingga tidak mengherankan bila di puskesmas dapat dilakukan pemeriksaan endoskopi, test alergi, operasi sederhana, dan berbagai tindakan medis yang diperlukan untuk menolong kedaruratan. Jumlah pasien yang berkunjung ke klinik-klinik penyakit dalam, paru, mata, tht, dan gigi cukup banyak meski mereka hanya datang atas rujukan dokter keluarga, kecuali kasus emergensi. 



Peralatan medis serta obat yang dipergunakan di pelayanan kesehatan di puskesmas ini hampir seluruh produk Kuba. Misalnya alat EKG, reagen test alergi, bahkan obat streptokinase yang di Indonesia harganya dapat mencapai Rp 6 juta untuk sekali pakai juga buatan Kuba. Semua layanan kesehatan di Kuba diberikan secara cuma-cuma. 

Sekitar 85% kebutuhan alat medis, reagen laboratorium, dan obat telah dapt dipernuhi sendiri oleh Kuba sehingga mereka dapat menghemat devisa dan tidak tergantung pada suplai dari luar negeri. 



Untuk peralatan kedokteran yang mereka belum mampu membuatknya sepertu beberpa perlengkapan kedokteran gigi mereka masih mengimpor meskipun harganya cukup mahal apalagi bagi Kuba yang keadaan ekonominya masih memprihatinkan. Namun karena merupakan kebutuhan masyarakat maka peralatan kedokteran itu tetap diadakan. 



Pemeliharaan peralatan kedokteran dilakukan secara cermat oleh tenaga elektro medik yang terlatih, sehingga peralatan tersebut dapat dipergunakan dalam waktu cukup lama. 

Pemeliharaan kebersihan dilakukan secara terartur sehingga meskipun kursi dan meja sudah berusia tua, namun tidak dijumpai adanya debu yang menempel dan perlengkapan kantor terjaga dengan rapih. 



Di Puskesmas yang kami kunjungi ini terdapat 106 pegawai terdiri atas dokter, perawat, tenaga administratif dan pekerja sosial. Sebagian besar dokter adaalah dokter spesialis yang merupakan tenaga bantuan dari rumah sakit. Sebagai contoh dokter penyakit dalam yang melakukan endoskopi bertugas 3 kali hanya seminggu. Namun jumlah tindakan endoskopi selama 1 tahun mencapai 1930 tindakan dan hanya 10% dari pasein yang dikirim dokter keluarga pada endoskopi didapatkan saluran pencernaannya normal. Dengan demikian kemampuan pemeriksaaan enodoskopi untuk menemukan penyakit saluaran cerna di Puskesmas ini tinggi . 



Semangat kerja para pegawai amat tinggi dan sistem pengawasan administrasi kepegawaian berlangsung secara baik meskipun menggunakan teknologi yang amat sederhana. Misalnya alat pemantauan kehadiran pegawai belum menggunakan absensi elektronik cukup mempergunakan lembaran kartu kecil. Namun untuk pengembangan wawasan dan mengakses informasi ilmiah disediakan sarana perpustakaan cetak dan elektronik dengan sambuangan internet yang disedeiakan secara cuma-cuma. 



Sesuai dengan pola penyakit di Kuba yang lebih banyak didominasi oleh penyakit kronik, maka tugas utama puskesmas adalah menumbuhkan kebiasaan hidup sehat. Masyarakat diingatkan kembali untuk menerapkan pola hidup sehat. Tugas ini dipermudah dengan tingginya pendidikan masyarakat dan sebagian besar konsep hidup sehat telah dijaarkan di sekolah. Sehingga petuga keehatan tinggal mengingatkan kembali. 



Salah satu layanan yang menarik di Puskesmas Kuba adalah rehabilitasi medik. Di Puskesmas tersedia berbagai peralatan rehabilitasi medik, baik berupa peralatan untuk menunjang fungsi gerak, pernafasan, maupun fungsi bicara. Latihan rehabilitasi ini dapat dilakukan di Puskesmas, namun juga seringkali dilakukan di rumah-rumah penduduk dengan bantuan petugas Puskesmas. 



Puskesmas mendukung upaya-upaya yang dilakukan dokter keluarga dalam pencegahan penyakit. Puskesmas mempunyai tim untuk mengunjungi rumah-rumah penduduk untuk membantu dokter keluarga melakukan upaya penanggulangan penyakit menular. Sebagai contoh, tim pemantau jentik nyamuk yang menularkan DBD berkunnjung ke rumah penduduk setiap 12 hari. Tim ini bekerja sama dengan dokter keluarga, murid sekolah, dan perhimpuan wanita. Dengan demikian pemantauan jentik dapat dilakukan setiap hari dan tidak tergantung kepada kehadiran petugas Puskesmas. Hasilnya, sejak tahun 2002 lalu, di Havana tidak pernah lagi didapatkan kasus DBD.

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Implementasi Sistem Kesehatan: Belajar dari Sistem Kesehatan Kuba*"

Post a Comment