TENTANG PERSOALAN PENDIDIKAN
Persoalan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia dewasa ini sangat kompleks. Permasalahan yang besar antara lain menyangkut soal pembiayaan pendidikan, mutu pendidikan, pemerataan pendidikan, dan manajemen pendidikan. Terkait dengan pembiayaan pendidikan adalah masalah biaya yang dikeluarkan untuk operasional dan kebutuhan pendidikan, sedangkan mutu pendidikan adalah masalah mengenai kurikukum, proses pembelajaran, evaluasi, buku ajar, mutu guru, sarana dan prasarana pendidikan. Termasuk persoalan pemerataan pendidikan adalah masih banyaknya anak umur sekolah yang tidak dapat menikmati pendidikan formal di sekolah, sedangkan persoalan manajemen menyangkut segala macam pengaturan seperti otonomi pendidikan, birokrasi, dan transparansi agar kualitas dan pemerataan pendidikan dapat terselesaikan dengan baik (Suparno, 2006: ix).
Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah pusat dan daerah selama ini untuk mengurai benang kusut pendidikan belum membuahkan hasil yang memuaskan. Kegagalan silih berganti timbul yang disebabkan masalah manajemen yang kurang tepat, penempatan tenaga pendidik dan non kependidikan tidak sesuai dengan bidang keahlian dan penanganan masalah bukan oleh ahlinya serta rendahnya anggaran/biaya untuk pendidikan yang disediakan oleh pemerintah, menyebabkan tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun dan peningkatan mutu pada setiap jenis dan jenjang pendidikan belum dapat diwujudkan.
Benang kusut dalam dunia pendidikan dewasa ini tampaknya tidak akan pernah berakhir kalau komitmen semua pihak terhadap pendidikan kurang. Selalu ada persoalan baru yang muncul ke permukaan, tidak terkecuali di Kabupaten Solok. Persoalannya begitu kompleks dan rumit. Dan semakin rumit diselesaikan ketika tidak semua lapisan memandang pendidikan itu penting untuk peningkatan sumber daya manusia di masa akan datang.
Untuk itulah pemerintah daerah memilih kebijakan pendidikan sebagai pilar pertama dan utama dalam pembangunan Kabupaten Solok guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia, namun sebagian masyarakat banyak yang meragukan kebijakan ini, karena dinilai kurang populis dan hasilnya tidak langsung dinikmati atau kelihatan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat, bahkan juga tidak sedikit yang mencemaskan kebijakan ini. Sebab pesimistis yang muncul memberikan argumen bahwasanya membangun pendidikan tidak sama dengan membangun jalan, jembatan, gedung, mewah dan bangunan fisik lainnya. Membangun pendidikan selama puluhan tahun sekalipun belum tentu akan terlihat hasilnya. Bandingkan dengan membangun jembatan, jalan, gedung mewah atau pusat perkantoran, begitu dibangun langsung terlihat hasilnya (Gusmal, 2007; 146).
Margaret E. Goertz dalam Nugroho (2008: 37) mengatakan bahwa kebijakan pendidikan berkenaan dengan efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan. Hal ini menjadi penting dengan meningkatnya kritisi publik terhadap biaya pendidikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa:
….An increased emphasis on educational adequacy and public’s concern over the high cost of education is focusing policy makers’ attention the efficiency and effectiveness of educational spending…
Namun demikian, pemerintah daerah tetap berkomitmen tinggi dalam membangun pendidikan di daerahnya dengan mempertaruhkan segalanya untuk membangun pendidikan. Langkah awal yang dilakukan adalah berusaha secara maksimal melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 4 bahwasanya sekurang-kurangnya anggaran pendidikan adalah 20% dari APBN atau APBD dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2004 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 49 ayat (1) yakni dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Pada tahun 2006, pemerintah pusat mengalokasikan sekitar Rp 44.1 triliun, atau sekitar 9,4 persen dari total anggaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan dengan tidak memasukkan pengeluaran untuk gaji guru, seperti yang dinyatakan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, total pengeluaran pemerintah pusat untuk pendidikan berjumlah hanya sekitar 7.4 persen dari APBN 2006. Melalui metode perhitungan tersebut, maka tingkat pengeluaran itu tidak cukup untuk menjangkau ketentuan 20 persen dalam anggaran pemerintah pusat (APBN). Dengan demikian, tambahan sejumlah Rp 59.2 triliun, atau 12.6 persen dari anggaran perlu dialokasikan lagi untuk sektor pendidikan agar ketentuan anggaran sebesar 20 persen dapat tercapai.
0 Response to "TENTANG PERSOALAN PENDIDIKAN "
Post a Comment