Contoh Latar Belakang Tentang Lembaga DPR

Latar Belakang

Sebuah aspek penting dalam proses transisi Indonesia menuju demokrasi adalah reformasi di bidang ketatanegaraan yang dijalankan melalui perubahan konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Salah satu perubahan penting adalah dibentuknya sebuah lembaga negara baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sejak perubahan itu, maka system perwakilan dan parlemen di Indonesia berubah dari sistem unikameral ke sitem bikameral.

Lahirnya DPD yang merupakan salah satu hasil amandemen ketiga UUD 1945 awalnya diharapkan akan dapat menciptakan prinsip check and balances di parlemen. Oleh sebab itu, maka DPD pun dilengkapi dengan sejumlah kewenangan. Dalam bidang legislasi, DPD memiliki kewenangan mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sumber hukum lain yang mengatur DPD adalah UU No 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk). UU ini hanya menyebutkan dua fungsi DPD, yaitu 1) pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu, 2) pengawasan atas pelaksanaan undang- undang tertentu.

DPR merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat, sedangkan DPD merupakan penyalur keanekaragaman aspirasi daerah/wilayah. Sistem perwakilan yang dianut Indonesia tersebut merupakan sistem khas Indonesia karena dibentuk sebagai perwujudan kebutuhan, kepentingan, dan tantangan bangsa dan negara Indonesia.

Kehadiran DPD membuat sistem politik Indonesia menjadi lengkap. Dalam sistem politik di Indonesia ada dua macam bentuk keterwakilan. Keterwakilan rakyat melalui partai politik (parpol) yang menjelma menjadi DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Akan tetapi, ada juga keterwakilan geopolitik atau teritorial yang mewujud dalam DPD. Dalam pemahaman ini DPD memiliki posisi kelembagaan yang seimbang dengan DPR.

Dengan legitimasi yang lebih kuat karena dipilih langsung oleh rakyat, UUD 1945 dan UU Susduk justru memberikan kewenangan minimal kepada DPD. Dari sisi fungsi, tugas, dan kewenangan, seperti terungkap pada UUD 1945 Pasal 22D, tampak bahwa DPD hanya menjadi "subordinat" dari DPR. Di situ diatur bahwa DPD "dapat mengajukan" kepada DPR dan "ikut membahas" RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu, DPD juga diberi sedikit peranan dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, peranannya hanya memberi pertimbangan kepada DPR.

Setelah perubahan UUD 1945 itu sebetulnya kritik dari berbagai kalangan segera mengalir deras terhadap kerdilnya fungsi, tugas, dan kewenangan DPD itu. Seperti yang dikemukakan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH, bahwa dalam hubungan antara DPR dan DPD, kedudukan DPD sangat lemah, karena fungsinya hanya memberi pertimbangan kepada DPR. Jadi, pendeknya, tetap saja fungsi, tugas, dan kewenangan DPD lebih rendah dari DPR. Kewenangan DPD yang cukup lemah bila dibandingkan DPR akan menimbulkan kesulitan sendiri bagi DPD untuk menjalankan fungsinya dalam menjaga hubungan pusat dan daerah yang produktif. Kelemahan wewenang ini juga akan membuat kekuatan legitimasi para anggota DPD yang lebih kuat bila dibandingkan anggota DPR tidak akan mendorong terjadinya keseimbangan dalam lembaga perwakilan Indonesia.

Lemahnya fungsi, tugas, dan kewenangan DPD membawa akibat pada hubungan DPR dan DPD yang semakin lama terlihat semakin tidak harmonis. Setelah DPR dituding tidak pernah melibatkan DPD dalam penyusunan Program Legislasi Nasiona (Prolegnas), pengangkatan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan dalam perubahan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 12 Tahun 2008, DPD kembali merasa dilemahkan dengan posisinya yang disejajarkan dengan fraksi, komisi, dan alat kelengkapan DPR dalam penyusunan Prolegnas. Perasaan dilemahkan tersebut sesungguhnya muncul dari kesadaran bahwa sesungguhnya DPR dan DPD adalah dua lembaga negara yang sejajar. Namun, kenyataan bahwa DPD hanya diberikan wewenang yang terbatas mengakibatkan muncul reaksi-reaksi seperti saat ini.

Sebenarnya dalam parlemen sistem dua kamar murni (strong bicameralism) kedua kamar diberi tugas dan wewenang menetapkan undang-undang. Artinya setiap rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR (sebagai Majelis Rendah) harus dibahas lebih lanjut dalam kamar kedua (sebagai Majelis Tinggi). Majelis tinggi ini kemudian memutuskan, menerima seluruhnya atau menolak seluruhnya RUU yang telah disetujui oleh DPR. Dengan demikian, kalau Majelis Rendah mempunyai hak amandemen, Majelis Tinggi tidak mempunyai hak amandemen.

Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH berpendapat DPD bukanlah lembaga legislatif yang bersifat tersendiri. Karena fungsinya yang jauh lebih lemah itulah maka sejauh mengenai wacana bikameralisme, dapat dikatakan UUD 1945 menganut sistem bikameralisme yang sederhana atau lemah (soft bicameralism), bukan bikameralisme yang kuat (strong bicameralism) Masalah lain dalam bidang legislasi adalah terkait dengan Prolegnas. Dalam kaitannya dengan Prolegnas, sesungguhnya pengerdilan DPD juga sudah terasa. Hal ini bisa dilihat dari diperbolehkannya DPR dan Pemerintah mengajukan RUU di luar Prolegnas, namun tidak bagi DPD (lihat UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Padahal, untuk Prolegnas tahun 2004-2009, DPD tidak diikutsertakan dalam pembahasannya. Hal ini semakin memperlihatkan betapa peran DPD dalam bidang legislasi kurang diperhitungkan

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Contoh Latar Belakang Tentang Lembaga DPR"

Post a Comment