Pengertian Pribadi Sepuh

Pribadi sepuh adalah pribadi yang memiliki nilai sebagai manusia yang dihormati dan mampu menjaga fungsinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kekecewaan dan kesedihan dijadikan sebagai nugerah sebagai makhluk Tuhan. Kesadaran bahwa hidup merupakan anugerah, amanah, tugas, takdir dan tidak kekal akan membentuk diri pribadi seseoarang menjadi sepuh. Dalam konteks menjalankan amanah dan tugas, individu Jawa akan berusaha untuk mengisi dengan hal-hal yang bersifat positif. Manusia wajib berusaha dengan sebaik-baiknya, karena amal yang dilakukan diyakini akan dipertanggungjawabkan di kehidupan kelak sesudah mati. Bukti riil sikap sehat orang Jawa yang sepuh ini adalah selalu menebarkan aroma keharuman nama dan menebarkan kebaikan kepada setiap orang (niat ingsun nebar gondo arum). 

Kasepuhan mengandung makna kompetitif yang lebih bersifat internal (persaingan dengan cara mengoptimalkan potensi pribadi) daripada eksternal (persaingan dengan cara usaha semata-mata untuk mengalahkan orang lain). Hal ini menunjukkan bahwa pribadi yang sehat dalam konteks sepuh tidak bersifat egoistik atau tidak menjadikan orang lain sebagai obyek atau sarana dalam mencapai ambisi pribadi. Relasi subjek-obyek yang sarat dengan konflik akan berganti menjadi perdamaian dan sikap saling hormat-menghormati antar sesama manusia. Kompetitif model keperibadian sepuh akan meminimalisir terjadinya konflik dalam hubungan interpersonal dan akan mengurangi efek negatif pada individu itu sendiri. Orang yang berkeperibadian sepuh ini kemudian diistilahkan dengan “girilusi jalmo tan kena kiniro”. Secara etimologi, giri berarti gunung dan lusi berarti cacing. Giri lusi yang dimaksudkan adalah cacing mungggah gunung (cacing naik ke gunung), dan giri lusi jalmo tan kena kiniro berarti cacing naik ke gunung yang ternyata tidak dapat diremehkan. Makna yang terkandung adalah bahwa orang yang sehat pribadinya merupakan orang yang tidak mudah memandang rendah terhadap orang lain. 

Bagi orang Jawa, seorang yang berkeperibadian wutuh memiliki keperibadian yang alus atau berbudi halus, elegan, bertutur-kata lembut, sopan, dan mudah beradaptasi. Bagi mereka emosi-emosi seperti kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan, kemarahan, penyerahan, harapan dan rasa kasihan tidak seharusnya diperlihatkan di depan umum. Ketegangan pribadi dan sosial, konflik dan konfrontasi dengan sangat hati-hati akan dihindari oleh orang Jawa yang menganggap kerukunan atau keharmonisan sebagai sifat yang sangat penting. Hidup dalam harmoni berarti hidup dalam permufakatan, dalam kedamaian dan ketenangan tanpa konflik dan pertentangan. Ia hidup dalam satu agar masyarakat dapat saling tolong menolong satu sama lain. 

Orang yang pribadinya wutuh mampu mengikuti traping susilo dadi sanguine pasrawungan, yaitu mampu menjaga pusaka hubungan sosial. Pusaka hubungan sosial yang harus dipegang sebagai prinsip pergaulan adalah lurus, laras dan leres. Lurus bermakna bahwa orang Jawa yang sehat adalah orang yang tetap memegang teguh aturan agama Jawi dan aturan-aturan sosial yang menjadi kesepakatan orang Jawa yang tertulis dalam ngelmu kasampurnan. Laras bermakna bahwa orang Jawa senantiasa tetap terus sejalan dengan lingkungan sosial di mana tempat berada, dan leres berarti orang Jawa harus benar atau bener. Hal seperti ini disebut sebagai orang yang tidak menyalahi kodrat, yaitu mentaati aturan agama, dan mentaati aturan sosial. 

Pemaparan di atas relevan dengan pendapat Erich Fromm (dalam Hall dan Lindzey dan Hall, 1993) yang menyatakan bahwa oleh karena manusia adalah makhluk sosial, maka salah satu ciri pribadi yang sehat adalah adanya kemampuan untuk hidup dalam masyarakat sosial. Keperibadian seseorang merupakan hasil dari proses sosial di dalam masyarakat. Sifat-sifat seseorang, keinginan-keinginannya, dan kegelisahan-kegelisahan merupakan produk dari suatu budaya. Erich Fromm (dalam Hall dan Lindzey, 1993) menyatakan bahwa keperibadian sehat adalah pribadi yang mampu hidup dalam masyarakat sosial yang ditandai oleh hubungan-hubungan yang manusiawi, diwarnai oleh solidaritas penuh cinta, dan tidak saling merusak atau menyingkirkan satu dengan lainnya. 

Pribadi tangguh adalah pribadi yang mampu menjalankan kehidupan dengan suka cita di tengah-tengah ujian dan nestapa hidup yang dialami. Orang dengan pribadi yang tangguh akan mampu meronce, merangkai peristiwa hidup dadi tumetese kanugrahan (menjadi sebuah anugerah Tuhan). Titik sentral kesejahteraan psikologis dalam pribadi tangguh terletak pada makna atau sikap tatag (tabah), yaitu mempunyai sikap keberanian, tidak memiliki rasa takut dan khawatir yang berlebihan, dan bersedia menerima kenyataan dengan apa adanya. 

Perwujudan takat adalah pribadi yang senantiasa tirakat. Tirakat berasal dari kata “takat” yang berarti tetap tegar dalam situasi apapun, baik dalam keadaan susah maupun sedih. Peribahasa Jawa mengatakan bahwa “tumetese kacuan dadio rumencenge kanugrahan”, hidup di dunia akan mengalami peristiwa hidup yang menyenangkan dan menyedihkan sekaligus. Hal yang menyenangkan dan menyedihkan menurut orang Jawa adalah bagaimana upayanya dalam menjalani dan merangkaikan kesenangan dan kesedihan menjadi sesuatu yang indah. Proses ini diyakini oleh orang Jawa dapat menjadikan seseorang dapat berfikir jernih, sehingga pengambilan solusi terhadap permasalahan dalam kehidupan menjadi mudah dilakukan. Konsep waspada menandakan bahwa orang Jawa penuh pertimbangan dalam memutuskan penyelesaian suatu masalah. Hal ini secara teoritis mengandung pengertian bahwa orang Jawa memiliki kemampuan analisis yang tinggi untuk sampai dilakukannya pengambilan keputusan. 

Cara untuk mencapai keadaan jiwa yang sehat dalam konteks budaya Jawa adalah dengan meniadakan faktor-faktor yang tidak sehat dengan kutub yang sebaliknya sebagaimana yang dilakukan oleh Abhidhamma (Lindzey dan Hall, 1993). Perilaku tersebut dilakukan dengan sebuah laku perihatin dan penanaman sikap rila, narima, sabar, eling, waspada, dan berbudi luhur. Faktor sehat yang terpenting dalam konteks budaya Jawa adalah penguasaan rasa sebagai bentuk pemahaman terhadap diri (insight), sebagai lawan dari delusi yaitu pemahaman yang tidak benar dengan perilaku nguja hawa nafsu. Kedua faktor ini dalam diri manusia tidak muncul dalam keadaan bersamaan, tetapi akan muncul satu persatu dan saling menentang. Mawas diri merupakan mindfullness dalam memahami hakekat dan keadaan diri yang membuat seseorang merasa tentram. Pemahaman diri dan sikap penuh perhatian merupakan faktor-faktor sehat yang utama yang apabila keduanya muncul dalam suatu keadaan jiwa, maka faktor-faktor sehat yang lain akan bermunculan juga. 

Dua faktor kognitif, yakni mesu raga atau andhap ashoring manah akan menghambat sikap kumenthus, dan sikap alon-alon waton klakon akan menghambat sikap kecerobohan. Kedua sikap ini akan berhubungan dengan kejujuran, yaitu melakukan penilaian secara tepat. Sikap-sikap lainnya adalah eling/pracaya, yang merupakan lawan dari sikap egoisme, yaitu kepastian yang didasarkan pada persepsi yang tepat. Sikap mesu raga, alon-alon waton klakon, dan kejujuran serta eling/pracaya akan secara bersamaan membentuk kebajikan-kebajikan yang didasarkan pada ukuran norma pribadi dan masyarakat. 
Kelompok faktor tidak sehat yang terdiri dari jail, srei (iri hati), tamak, owel, ora duwe isin, grusa-grusu, ora kuat godho, adigang-adigung adiguna, blenjanji janji, dan kecerobohan dilawan oleh faktor-faktor legawa, rila lan narima ing pandum, dermawan, ashoring manah, setiti ati-ati, tatag, semanak, tepa salira, temen dan kaprayitnan. Sikap-sikap ini mencerminkan ketenangan secara fisik dan rasa yang terjadi karena berkurangnya perasaan-perasaan yang dirasakan mengikat. Faktor tidak sehat jail, tamak, owel, ora duwe isin, grusa-grusu, ora kuat godho dapat menyebabkan seseorang ingin menguasai segalanya dan kehidupan yang berorientasi materialistik. Namun sebaliknya, faktor-faktor sehat legawa, rila, narima ing pandum, setiti ati-ati, tatag, temen dan kaprayitnan akan membuat diri seseorang melakukan petung atau perhitungan yaitu menimbang-nimbang apa keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh. Faktor-faktor ini pula yang akan menetralisir diri sehingga akan berpikir dengan ketenangan, ketentraman, dan akan melakukan penentuan pilihan kehidupan dengan kematangan, serta berpikir dan bertindak secara leluasa dan menekan keadaan-keadaan seperti depresi. Faktor-faktor sehat ini dapat menyebabkan seseorang memiliki kemampuan dalam menyesuaikan diri secara fisik dan psikis terhadap keadaan-keadaan (aku, alam dan Tuhan) yang terus mengalami dinamisasi kehidupan. adalah pribadi yang memiliki nilai sebagai manusia yang dihormati dan mampu menjaga fungsinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kekecewaan dan kesedihan dijadikan sebagai nugerah sebagai makhluk Tuhan. Kesadaran bahwa hidup merupakan anugerah, amanah, tugas, takdir dan tidak kekal akan membentuk diri pribadi seseoarang menjadi sepuh. Dalam konteks menjalankan amanah dan tugas, individu Jawa akan berusaha untuk mengisi dengan hal-hal yang bersifat positif. Manusia wajib berusaha dengan sebaik-baiknya, karena amal yang dilakukan diyakini akan dipertanggungjawabkan di kehidupan kelak sesudah mati. Bukti riil sikap sehat orang Jawa yang sepuh ini adalah selalu menebarkan aroma keharuman nama dan menebarkan kebaikan kepada setiap orang (niat ingsun nebar gondo arum). 


Kasepuhan mengandung makna kompetitif yang lebih bersifat internal (persaingan dengan cara mengoptimalkan potensi pribadi) daripada eksternal (persaingan dengan cara usaha semata-mata untuk mengalahkan orang lain). Hal ini menunjukkan bahwa pribadi yang sehat dalam konteks sepuh tidak bersifat egoistik atau tidak menjadikan orang lain sebagai obyek atau sarana dalam mencapai ambisi pribadi. Relasi subjek-obyek yang sarat dengan konflik akan berganti menjadi perdamaian dan sikap saling hormat-menghormati antar sesama manusia. Kompetitif model keperibadian sepuh akan meminimalisir terjadinya konflik dalam hubungan interpersonal dan akan mengurangi efek negatif pada individu itu sendiri. Orang yang berkeperibadian sepuh ini kemudian diistilahkan dengan “girilusi jalmo tan kena kiniro”. Secara etimologi, giri berarti gunung dan lusi berarti cacing. Giri lusi yang dimaksudkan adalah cacing mungggah gunung (cacing naik ke gunung), dan giri lusi jalmo tan kena kiniro berarti cacing naik ke gunung yang ternyata tidak dapat diremehkan. Makna yang terkandung adalah bahwa orang yang sehat pribadinya merupakan orang yang tidak mudah memandang rendah terhadap orang lain. 


Bagi orang Jawa, seorang yang berkeperibadian wutuh memiliki keperibadian yang alus atau berbudi halus, elegan, bertutur-kata lembut, sopan, dan mudah beradaptasi. Bagi mereka emosi-emosi seperti kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan, kemarahan, penyerahan, harapan dan rasa kasihan tidak seharusnya diperlihatkan di depan umum. Ketegangan pribadi dan sosial, konflik dan konfrontasi dengan sangat hati-hati akan dihindari oleh orang Jawa yang menganggap kerukunan atau keharmonisan sebagai sifat yang sangat penting. Hidup dalam harmoni berarti hidup dalam permufakatan, dalam kedamaian dan ketenangan tanpa konflik dan pertentangan. Ia hidup dalam satu agar masyarakat dapat saling tolong menolong satu sama lain. 


Orang yang pribadinya wutuh mampu mengikuti traping susilo dadi sanguine pasrawungan, yaitu mampu menjaga pusaka hubungan sosial. Pusaka hubungan sosial yang harus dipegang sebagai prinsip pergaulan adalah lurus, laras dan leres. Lurus bermakna bahwa orang Jawa yang sehat adalah orang yang tetap memegang teguh aturan agama Jawi dan aturan-aturan sosial yang menjadi kesepakatan orang Jawa yang tertulis dalam ngelmu kasampurnan. Laras bermakna bahwa orang Jawa senantiasa tetap terus sejalan dengan lingkungan sosial di mana tempat berada, dan leres berarti orang Jawa harus benar atau bener. Hal seperti ini disebut sebagai orang yang tidak menyalahi kodrat, yaitu mentaati aturan agama, dan mentaati aturan sosial. 


Pemaparan di atas relevan dengan pendapat Erich Fromm (dalam Hall dan Lindzey dan Hall, 1993) yang menyatakan bahwa oleh karena manusia adalah makhluk sosial, maka salah satu ciri pribadi yang sehat adalah adanya kemampuan untuk hidup dalam masyarakat sosial. Keperibadian seseorang merupakan hasil dari proses sosial di dalam masyarakat. Sifat-sifat seseorang, keinginan-keinginannya, dan kegelisahan-kegelisahan merupakan produk dari suatu budaya. Erich Fromm (dalam Hall dan Lindzey, 1993) menyatakan bahwa keperibadian sehat adalah pribadi yang mampu hidup dalam masyarakat sosial yang ditandai oleh hubungan-hubungan yang manusiawi, diwarnai oleh solidaritas penuh cinta, dan tidak saling merusak atau menyingkirkan satu dengan lainnya. 


Pribadi tangguh adalah pribadi yang mampu menjalankan kehidupan dengan suka cita di tengah-tengah ujian dan nestapa hidup yang dialami. Orang dengan pribadi yang tangguh akan mampu meronce, merangkai peristiwa hidup dadi tumetese kanugrahan (menjadi sebuah anugerah Tuhan). Titik sentral kesejahteraan psikologis dalam pribadi tangguh terletak pada makna atau sikap tatag (tabah), yaitu mempunyai sikap keberanian, tidak memiliki rasa takut dan khawatir yang berlebihan, dan bersedia menerima kenyataan dengan apa adanya. 


Perwujudan takat adalah pribadi yang senantiasa tirakat. Tirakat berasal dari kata “takat” yang berarti tetap tegar dalam situasi apapun, baik dalam keadaan susah maupun sedih. Peribahasa Jawa mengatakan bahwa “tumetese kacuan dadio rumencenge kanugrahan”, hidup di dunia akan mengalami peristiwa hidup yang menyenangkan dan menyedihkan sekaligus. Hal yang menyenangkan dan menyedihkan menurut orang Jawa adalah bagaimana upayanya dalam menjalani dan merangkaikan kesenangan dan kesedihan menjadi sesuatu yang indah. Proses ini diyakini oleh orang Jawa dapat menjadikan seseorang dapat berfikir jernih, sehingga pengambilan solusi terhadap permasalahan dalam kehidupan menjadi mudah dilakukan. Konsep waspada menandakan bahwa orang Jawa penuh pertimbangan dalam memutuskan penyelesaian suatu masalah. Hal ini secara teoritis mengandung pengertian bahwa orang Jawa memiliki kemampuan analisis yang tinggi untuk sampai dilakukannya pengambilan keputusan. 


Cara untuk mencapai keadaan jiwa yang sehat dalam konteks budaya Jawa adalah dengan meniadakan faktor-faktor yang tidak sehat dengan kutub yang sebaliknya sebagaimana yang dilakukan oleh Abhidhamma (Lindzey dan Hall, 1993). Perilaku tersebut dilakukan dengan sebuah laku perihatin dan penanaman sikap rila, narima, sabar, eling, waspada, dan berbudi luhur. Faktor sehat yang terpenting dalam konteks budaya Jawa adalah penguasaan rasa sebagai bentuk pemahaman terhadap diri (insight), sebagai lawan dari delusi yaitu pemahaman yang tidak benar dengan perilaku nguja hawa nafsu. Kedua faktor ini dalam diri manusia tidak muncul dalam keadaan bersamaan, tetapi akan muncul satu persatu dan saling menentang. Mawas diri merupakan mindfullness dalam memahami hakekat dan keadaan diri yang membuat seseorang merasa tentram. Pemahaman diri dan sikap penuh perhatian merupakan faktor-faktor sehat yang utama yang apabila keduanya muncul dalam suatu keadaan jiwa, maka faktor-faktor sehat yang lain akan bermunculan juga. 


Dua faktor kognitif, yakni mesu raga atau andhap ashoring manah akan menghambat sikap kumenthus, dan sikap alon-alon waton klakon akan menghambat sikap kecerobohan. Kedua sikap ini akan berhubungan dengan kejujuran, yaitu melakukan penilaian secara tepat. Sikap-sikap lainnya adalah eling/pracaya, yang merupakan lawan dari sikap egoisme, yaitu kepastian yang didasarkan pada persepsi yang tepat. Sikap mesu raga, alon-alon waton klakon, dan kejujuran serta eling/pracaya akan secara bersamaan membentuk kebajikan-kebajikan yang didasarkan pada ukuran norma pribadi dan masyarakat. 


Kelompok faktor tidak sehat yang terdiri dari jail, srei (iri hati), tamak, owel, ora duwe isin, grusa-grusu, ora kuat godho, adigang-adigung adiguna, blenjanji janji, dan kecerobohan dilawan oleh faktor-faktor legawa, rila lan narima ing pandum, dermawan, ashoring manah, setiti ati-ati, tatag, semanak, tepa salira, temen dan kaprayitnan. Sikap-sikap ini mencerminkan ketenangan secara fisik dan rasa yang terjadi karena berkurangnya perasaan-perasaan yang dirasakan mengikat. Faktor tidak sehat jail, tamak, owel, ora duwe isin, grusa-grusu, ora kuat godho dapat menyebabkan seseorang ingin menguasai segalanya dan kehidupan yang berorientasi materialistik. Namun sebaliknya, faktor-faktor sehat legawa, rila, narima ing pandum, setiti ati-ati, tatag, temen dan kaprayitnan akan membuat diri seseorang melakukan petung atau perhitungan yaitu menimbang-nimbang apa keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh. Faktor-faktor ini pula yang akan menetralisir diri sehingga akan berpikir dengan ketenangan, ketentraman, dan akan melakukan penentuan pilihan kehidupan dengan kematangan, serta berpikir dan bertindak secara leluasa dan menekan keadaan-keadaan seperti depresi. Faktor-faktor sehat ini dapat menyebabkan seseorang memiliki kemampuan dalam menyesuaikan diri secara fisik dan psikis terhadap keadaan-keadaan (aku, alam dan Tuhan) yang terus mengalami dinamisasi kehidupan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pengertian Pribadi Sepuh"

Post a Comment