PENCEGAHAN DAN PENANGANAN IO

Waspada terhadap masalah yang muncul akibat dari interaksi obat, penting bagi farmasis yang bekerja di rumah sakit maupun di apotek. Untuk mencegah interaksi obat, seorang farmasis harus waspada terhadap semua obat yang digunakan oleh pasien tersebut, baik obat yang diresepkan maupun obat yang dapat dibeli bebas. Di rumah sakit, hal ini melibatkan farmasis untuk melihat daftar obat dan rekam medik pasien rawat inap; di apotek, menggunakan catatan medik pasien terkomputerisasi; dan secara umum, komunikasi dengan pasien, keluarga pasien dan dengan tim kesehatan yang lain. Pendekatan yang menyeluruh dianjurkan, dengan dititikberatkan pada pasien dan pengobatannya secara keseluruhan, tidak semata-mata memperhatikan reaksi yang timbul, namun juga terhadap keluhan akut berhubungan dengan penggunaan obat tertentu. 

Seorang farmasis harus proaktif, mengantisipasi interaksi obat yang mungkin terjadi dan bertindak sebelum muncul masalah, bukan sekedar reaktif yang hanya bertindak bila interaksi obat telah terjadi. Salah satu tujuan utama farmasi klinis dan layanan kefarmasian adalah untuk meminimumkan risiko pada pasien. Oleh karena itu, memeriksa adanya interaksi obat merupakan tugas farmasis yang utama. Sebagai tambahan, pendekatan ini dapat ditempatkan dalam konteks strategi manajemen risiko klinis secara umum dalam mendorong peningkatan kualitas. 

Dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan pada saat ini, dan berkembangnya polifarmasi, kemungkinan terjadinya interaksi obat sangat besar. Bagaimanapun, meskipun beribu-ribu laporan interaksi obat yang tidak diinginkan muncul di literatur biomedis, hanya sejumlah kecil yang bermakna secara klinis saat ini terutama terlibat dalam pengetahuan atau memperkirakan terjadinya kejadian dimana interaksi obat yang potensial terjadi mempunyai akibat yang bermakna secara klinis dan, jika demikian, langkah-langkah apa yang diambil untuk mencegah hal tersebut, atau terapi alternatif apa yang mungkin terjadi dari kombinasi dua atau lebih obat. 

Untuk memperkirakan akibat yang mungkin terjadi kombinasi dua atau lebih obat, seorang farmasis perlu memiliki: 

- Pengetahuan praktis tentang mekanisme farmakologi yang terlibat dalam interaksi obat. 

- Waspada terhadap obat-obat yang berisiko tinggi menyebabkan interakis obat. 

- Persepsi terhadap kelompok pasien yang rentan mengalami interaksi obat. 

DEFINISI 

Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan; atau bila dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berubah. Bagaimanapun, harus diperhatikan bahwa makanan, asap rokok, etanol dan bahan-bahan kimia lingkungan dapat mempengaruhi efek obat. Bila mana kombinasi terapeutik mengakibatkan perubahan yang tidak diinginkan atau komplikasi terhadap kondisi pasien, maka interaksi tersebut digambarkan sebagai interaksi yang bermakna klinis. 

Interaksi obat dapat membahayakan, baik dengan meningkatkan toksisitas obat atau dengan mengurangi khasiatnya. Namun, interaksi beberapa obat dapat menguntungkan. Sebagai contoh, efek hipotensi diuretik bila dikombinasikan dengan beta-bloker dapat berguna dalam pengobatan hipertensi. Interaksi obat juga meliputi reaksi fisikokimia diantara obat-obat parenteral bila dicampur bersama-sama, mengakibatkan pengendapan atau inaktivasi. Bagaimanapun, bab ini akan dititik beratkan interaksi obat yang terjadi di dalam tubuh, yang berpotensi merugikan perawatan pasien. 

EPIDEMIOLOGI 

Banyak penelitian gagal membedakan antara interaksi obat yang mungkin terjadi dan kejadian interaksi obat yang betul-betul merugikan atau membahayakan pasien. Jadi angka-angka yang dilaporkan terlalu tinggi. Kejadian interaksi obat yang mungkin terjadi diperkirakan berkisar antara 2,2 % - 30 % dalam penelitian pasien rawat inap di rumah sakit, dan berkisar antara 9,2 % - 70,3 % pada pasien di masyarakat (Jankel CA & Speedie SM, 1990). Dari kemungkinan tersebut hingga 11,1 % pasien yang benar-benar mengalami gejala yang diakibatkan oleh interaksi obat (Jankel CA & Speedie SM, 1990). Pada suatu penelitian selama 10 minggu, dari 691 pasien yang masuk rumah sakit, ditemukan 68 (9,8 %) pasien masuk rumah sakit karena penggunaan obat dan 3 (0,4 %) pasien disebabkan oleh interaksi obat (Stanton LA et al, 1994). Bagaimanapun, berdasarkan data yang ada, tidak mungkin kita memperoleh data yang menetapkan kejadian interaksi obat yang bermakna klinis, tetapi kemungkinan kejadian interaksi obat tersebut jumlahnya cukup kecil (kurang dari 1 %). 

Interaksi obat dapat menyebabkan seseorang masuk rumah sakit, meskipun hal ini relatif jarang terjadi. Meskipun kejadian interaksi obat yang bermakna klinis kecil, tetapi sejumlah besar pasien mempunyai resiko morbiditas (angka kesakitan) atau bahkan mortalitas (angka kematian) dalam pengobatan mereka. 



MEKANISME INTERAKSI OBAT 

Ada beberapa keadaan dimana obat berinteraksi dengan mekanisme yang unik; namun mekanisme tersebut sering dijumpai. Mekanisme tersebut dapat dibagi menjadi interaksi yang melibatkan aspek farmakokinetika obat dan interaksi obat yang mempengaruhi respon farmakodinamik obat. Beberapa interaksi obat yang dikenal merupakan kombinasi lebih dari satu mekanisme. 

1. Interaksi farmakokinetik 

Interaksi farmakokinetik dapat terjadi beberapa tahap, meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, ekskresi (tabel.1) 


Tabel.1 Interaksi farmakokinetik obat 


a. Absorpsi di saluran pencernaan 

· Kecepatan 

· Jumlah 

b. Ikatan obat protein (pendesakan obat) 

· Obat bebas (aktif) 

· Obat terikat (tidak aktif) 

c. Metabolisme hepatik 

· Induksi enzim (penurunan konsentrasi obat) 

· Inhibisi enzim (peningkatan konsentrasi obat) 

d. Klirens ginjal 

· Peningkatan ekskresi (penurunan konsentrasi obat) 

· Penurunan ekskresi (peningkatan konsentrasi obat) 


a. Absorpsi 

Kebanyakan obat diberikan secara oral mengabsorbsi melalui membran mukosa dari saluran gastrointestinal. Dan kebanyakan interaksi yang terjadi menurunkan absorbsi daripada meningkatkan absorbsi. Perbedaan yang jelas terdapat pada penurunan laju absorbsi dan mengubah absorbsi secara keseluruhan. Obat yang diberikan untuk penyakit kronis dalam dosis regimen multiple (contohnya: antikoagulan oral), laju absorbsi biasanya tidak digunakan tetapi absorbsi secara keseluruhannya tidak diubah. Selain obat yang diberikan dalam dosis tunggal dirancang agar absorbsinya obat (contoh: obat hipnotik atau analgesik), sehingga dibutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk pencapaian tersebut. Penurunan laju absorbsi biasanya menunjukan hasil yang tidak baik pada pencapaian efek terapi. 



· Efek dari perubahan pada pH saluran cerna 

Perjalanan obat melalui membran mukosa melalui difusi pasif tergantung pada jumlah bentuk non ionik larut lemak .Maka dari itu absorpsi bergantung pada pKa obat, kelarutan dalam lemak, pH saluran cerna dan parameter lain yang berhubungan dengan formulasi farmasetik obat. Oleh karena itu absorpsi asam salisilat dalam lambung lebih besar pada pH asam daripada pH basa. Secara teoritis diharapkan perubahan pH lambung oleh obat seperti H2 bloker memiliki efek absorpsi yang bermakna, tetapi kenyataannya tidak terlalu pasti karena adanya mekanisme lain seperti khelasi, adsorpsi, dan perubahan motilitas lambung yang dapat mengubahnya. Namun pada beberapa kasus efek dapat signifikan. Peningkatkan pH akibat hambatan pompa proton, H2 bloker dan antasida dapat mengurangi absorpsi Ketokonazol secara bermakna 



· Adsorpsi, khelasi dan mekanisme pembentukkan kompleks lain 

Arang aktif ditujukan sebagai agen adsorpsi dalam saluran cerna untuk pengobatan over dosis obat atau menghilangkan zat toksik, tetapi pasti akan mengubah absorpsi obat pada dosis terapeutik. Antasida juga dapat mengadsorpsi sejumlah besar obat, tetapi mekanisme lain juga berpengaruh. Contohnya tetrasiklin dapat mengkhelat logam divalen dan trivalen seperti kalsium, aluminium, bismuth dan besi, membentuk kompleks yang sangat sulit diabsorpsi dan mengurangi efek anti bakteri. 

Ion logam dapat ditemukan pada produk susu dan antasida. Pembagian dosis terpisah 2 sampai 3 jam dapat mengurangi efek interaksi ini. Reduksi bioavailibilitas penisilamin berkurang secara bermakna disebabkan antasida juga karena khelasi meskipun adsorpsi juga berpengaruh. Kolestiramin dan resin penukar ion ditujukan untuk mengikat asam empedu dan metabolik kolesterol dalam saluran cerna, mengikat sejumlah obat seperti digoksin, warfarin, levotiroksin sehingga absorpsi obat berkurang. (Tabel. 2) daftar obat yang dapat mengkhelat, mengkompleks atau adsorpsi obat lain. 



Beberapa wanita yang menggunakan kontrasepsi oral kombinasi dalam dosis rendah mempunyai risiko hamil bila pada saat yang sama, dia juga menggunakan antibiotik berspektrum luas (misalnya amoksisilin, tetrasiklin). Mekanismenya adalahgangguan siklus enterohepatik komponen estrogen akibat hilangnya bakteri usus yang berperan dalam dekonjugasi estrogen. 

Obat-obat lain dapat mempengaruhi waktu pengosongan lambung, sebagai contoh metoklorpropamid mempercepat waktu pengosongan lambung, sedangkan opiat memperlambat waktu pengosongan lambung. Bioavailabilitas levodopa berkurang bila digunakan bersama dengan obat antikolinergik. Hal ini terjadi karena perlambatan waktu pengosongan lambungakan meningkatkan paparan levodopa dengan metabolisme lokal pada mukosa usus. Interaksi ini pada umumnya lebih mempengaruhi kecepatan absorbsi obat daripada jumlah obat yang diabsorbsi. Bagaimanapun, penundaan waktu pengosongan lambungda]] dapaat meningkatkan absorbsi zat-zat yang bersifat asam dan obat-obat yang sukar larut. Sebagian besar interaksi yang berkaitan dengan absorbsi, tidak bermakna secarak klinis dan dapat diatur dengan memisahkan waktu pemberian obat, biasanya dengan selang waktu meminum 2 jam. 



b. Distribusi 

Interaksi pendesakan obat terjadi bila dua obat berkompetisi pada tempat ikatan dengan protein plasma yang sama dan satu atau lebih obat didesak dari ikatannya dengan protein tersebut. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan sementara konsentrasi obat bebas (aktif), biasanya peningkatan tersebut diikuti dengan peningkatan metabolisme atau ekskresi. Konsentrasi total obat turun menyesuaikan dengan peningkatan dengan peningkatan fraksi obat bebas. Interaksi ini melibatkan obat-obat yang ikatannya dengan protein tinggi, misalnya fenitoin, warfarin dan tolbutamid. Bagaimanapun, efek farmakologi keseluruhan minimal kecuali bila pendesakan tersebut diikuti dengan inhibisi metabolik. 



c. Metabolisme hepatik 

Banyak obat dimetabolisme di hati, terutama oleh sistem enzim sitokrom P450 monooksigenase. Induksi enzimoleh suatu obat dapat meningkatkan kecepatan metabolisme obat lain dan mengakibatkan pengurangan efek. Induksi enzim melibatkan sintesa protein, jadi efek maksimum terjadi setelah dua atau tiga minggu. Sebaliknya, inhibisi enzim dapat mengakibatkan akumulasi dan peningkatan toksisitas obat lain. Waktu terjadinya reaksi akibat inhibisi enzim merupakan efek langsung, biasanya lebih cepat daripada induksi enzim. 

Banyak enzim yang terlibat dalam metabolisme hepatik diantaranya adalah sitokrom P450. Sebagai contoh, warfarin dibersihkan dari tubuh memalui metabolisme hepatik (dimetabolisme oleh sistem oksidase P450 hepatik-the hepatic mixed function oxidase P450 system) sehingga penghambat enzim seperti simetidin dan antibiotik golongan makrolida (eritromisin, klaritomisin) memperkuat efek warfarin. 

Sebaliknya, penginduksi enzim seperti karbamazepin, barbiturat, fenitoin (dilaporkan dapat meningkatkan atau menurunkan efek) dan rifampisin, dapat menyebabkan kegagalan terapeutik warfarin. Eritromisin dapat menyebabkan peningkatan kadar lofastatin dalam darah karena eritromisin menghambat aktifitas enzim CYP 3A4 hati. 

Yang menarik, makanan kaya protein dianggap menstimulasi enzim hati, sedangkan makanan yang kaya karbohidrat mempunyai efek yang berlawanan. Zat kimia lain, seperti asap rokok dan etanol dapat meningkatkan aktifitas enzim hati. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi eliminasi dan akhirnya juga mempengaruhi keefektifan obat-obat tertentu. 



d. Eliminasi 

Obat dieliminasi melalui ginjal denga filtrasi glomerulus dan sekresi tubuler aktif. Jadi, obat yang mempengaruhi ekskresi obat melalui ginjal dapat mempengaruhi konsentrasi obat lain dalam plasma. Hanya sejumlah kecil obat yang cukup larut dalam air yang mendasarkan ekskresinya melalui ginjal sebagai eliminasi utamanya, yaitu obat yang tanpa lebih dulu dimetabolisme di hati. Gangguan pada proses ini terutama digambarkan dalam interaksi yang mempengaruhi digoksin dan Litium. 

Kuinidin, verapamil, dan amiodaron dapat meningkatkan konsentrasi digoksin dalam serum hingga dua kali lipat dengan menghambat klirens ginjal (dan non-ginjal) digoksin. Diuretik thiazida, serta furosemid dan bumetanid dengan efek yang lebih lemah, menguangi ekskresi Litium dengan meningkatkan reabsorbsi Litium dari tubulus proksimal. Interaksi ini dapat menyebabkan keracunan Litium yang serius. 

Metotreksat dan obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) berkompetisis dalam ekskresi melalui ginjal; penggunaan secara bersamaan obatobat tersebut dapat meningkatkan kadar metotreksat dan meningkatkan risiko toksisitas, namun kombinasi ini tetapa dapat diberikan dengan berhasil di bawah supervisi khusus. Yang perlu diperhatikan tentang interaksi tipe ini adalah tergantung pada jumlah obat dan/atau metabolitnya yang diekskresi melalui ginjal. 

Asam lemah dan basa lemah berkompetisi pada bagian sistem transpor tubuler ginjal yang berbeda. Hal ini merupakan dasar penggunaan probenesid untuk meningkatkan konsentrasi penisilin atau sefalosporin dalam darah. Probenesid juga meningkatkan potensi toksisitas metotreksat; simetidina mengurangi ekskresi prokainamid dengan cara yang sama.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PENCEGAHAN DAN PENANGANAN IO "

Post a Comment