PEMERIKSAAN APENDISITIS
1.
Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi,
pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
b. Palpasi, pada daerah perut kanan bawah
apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan
terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari
apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut
kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila
tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan
bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
c. Pemeriksaan uji psoas dan uji
obturator, pemeriksaan
ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas
dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan
atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang
kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka
tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis
pelvika.
d. Pemeriksaan colok dubur, pemeriksaan ini dilakukan pada
apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui.
Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks
yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci
diagnosis pada apendisitis pelvika.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah
lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap
ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil
diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
b. Radiologi, terdiri dari pemeriksaan
ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan
bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks.
Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan
apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya
pelebaran sekum.
B. DIAGNOSIS
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti,
diagnosis klinis apendisitis masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan
diagnosis lebih sering terjadi ada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dapat
disadari mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering mengalami
gangguan yang mirip apendisitis. Keluhan itu berasal dari genitalia interna
karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik
lain.Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis meragukan,
sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap
1-2 jam. Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dan laparoskopi
bisa meningkatkan akurasi diagnosis pada kasus yang meragukan.
Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka
tindakan yang paling tepat adalah segera dilakukan apendektomi. Apendektomi
dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu cara terbuka dan cara laparoskopi.
Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler,
maka tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi
antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik
yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala membaik, yaitu
sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika gejala berlanjut,
yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan melakukan drainase dan
sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan apendisektomi. Namun, apabila ternyata
tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan
laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses setelah dilakukan terapi
antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.
C. PENATALAKSANAAN/PENGOBATAN
Penatalaksanaan standar untuk apendisitis adalah operasi.
Pernah dicoba pengobatan dengan antibiotik, walaupun sembuh namun tingkat
kekambuhannya mencapai 35 %. Pembedahan dapat dilakukan secara terbuka atau
semi-tertutup (laparoskopi). Setelah dilakukan pembedahan atau apendektomi, harus
diberikan antibiotika selama 7 – 10 hari.
Pembedahan segera dilakukan, untuk mencegah terjadinya ruptur
(pecah), terbentuknya abses atau peradangan pada selaput rongga perut (peritonitis).
Pada hampir 15% pembedahan apendiks, apendiksnya ditemukan normal. Tetapi penundaan
pembedahan sampai ditemukan penyebab nyeri perutnya, dapat berakibat fatal. Apendiks yang terinfeksi
bisa pecah dalam waktu kurang dari 24 jam setelah gejalanya timbul. Bahkan
meskipun apendisitis bukan penyebabnya, apendiks tetap diangkat. Lalu dokter bedah akan
memeriksa perut dan mencoba menentukan penyebab nyeri yang sebenarnya.
Pembedahan yang segera dilakukan bisa mengurangi angka
kematian pada apendisitis. Penderita dapat pulang dari rumah sakit dalam waktu
2-3 hari dan penyembuhan biasanya cepat dan sempurna. Apendiks yang pecah,
prognosisnya lebih serius. 50 tahun yang lalu, kasus yang ruptur sering
berakhir fatal. Dengan pemberian antibiotik, angka kematian mendekati nol.
D.
KOMPLIKASI
Pada kebanyakan kasus, peradangan dan infeksi apendiks mungkin didahului
oleh adanya penyumbatan di dalam apendiks. Bila peradangan berlanjut tanpa pengobatan, apendiks bisa pecah. Apendiks yang pecah bisa
menyebabkan :
1. Perforasi dengan pembentukan abses.
2. Peritonitis generalisata,
masuknya kuman usus ke dalam perut, menyebabkan peritonitis,
yang bisa berakibat fatal.
3. Masuknya kuman ke dalam
pembuluh darah (septikemia), yang bisa berakibat fatal.
4. Pada wanita, indung telur
dan salurannya bisa terinfeksi dan menyebabkan penyumbatan pada saluran indung telur yang bisa
menyebabkan kemandulan.
5. Pieloflebitis dan abses hati, tapi jarang terjadi.
0 Response to " PEMERIKSAAN APENDISITIS "
Post a Comment