MODUL KULIAH BIOFARMASETIKA I



Mata Kuliah                 : Biofarmasetika I
Kode Mata Kuliah       :
SKS                             : 2 sks
Waktu Pertemuan        : 2 x 50 menit
Pertemuan ke               : 1,2,3, dan 4

A. Kompetensi Dasar :
  1. Mahasiswa dapat  menyebutkan peran bioavailabilitas dalam produksi obat
  2. Mahasiswa dapat mengkorelasikan faktor fisiologi dan  farmasetika dengan
bioavailabilitas obat


B. Indikator Pencapaian Kompetensi
1.  Menjelaskan  latar belakang biofarmasetika diperlukan pada formulasi obat
2.  Menjelaskan konsep dasar biofarmasetika dalam produksi obat
3.  Menyebutkan aplikasi biofarmasetika dalam produksi obat
      4.  Menjelaskan  macam transpor obat
5.  Menjelaskan pengaruh faktor formulasi obat terhadap bioavailablitas
6.  Menjelaskan pengaruh faktor fisiologi saluran cerna terhadap bioavailabilitas
7.  Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bioavailablitas pada
pemberian parenteral

C. Pokok Bahasan :

1.      Konsep dasar biofarmasetika
2.      Mekanisme transpor obat
3.      Pengaruh faktor fisiko-kimia obat terhadap bioavailablitas
4.      Pengaruh faktor formulasi obat terhadap bioavailablitas
5.      Pengaruh faktor fisiologi saluran cerna terhadap bioavailabilitas
6.      Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bioavailablitas pada pemberian parenteral

D.  Materi

Konsep Dasar Biofarmasetika
            Sebelum mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bioavailabilitas, perlu diketahui dulu tentang  beberapa definisi.  Selanjutnya karena bioavailabilitas terkait dengan absorbsi dan absorbsi terkait dengan transport maka pengetahuan tentang mekanisme transport dan proses yang mengawali absortsi yaitu ketersediaan farmasetis juga perlu difahami dulu.  
Definisi
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bioavailabilitas (ketersediaan hayati) pada hewan dan manusia dan pemanfaatannya untuk menghasilkan respon terapi yang optimal.   Sedangkan bioavailabilitas sendiri adalah parameter-parameter yang menunjukkan jumlah dan kecepatan obat aktif sampai ke sirkulasi sistemik.  Parameter yang menunjukkan jumlah adalah AUC dan Cpmaks, sedangkan parameter yang menunjukkan kecepatan adalah tmaks dan Cpmaks.  Penjelasan parameter-parameter tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
AUC
 
Gambar 1.  Profil kadar obat dalam darah, MTC: Minimum Toxic Concentration, MEC: Minimum Effect Concentration
Efek terapi (respon) yang muncul tergantung dari kadar obat dalam reseptor, tetapi pada biofarmasetika hanya bicara obat yang sampai ke sirkulasi sistemik.  Hal ini bisa dipahami karena antara obat dalam darah dan obat dalam reseptor membentuk suatu kesetimbangan, artinya jika kadar obat dalm darah naik maka kadar obat dalam reseptor juga naik sehingga respon juga naik.
            Mudah dimaklumi kalau obat yang berbeda menunjukkan bioavailabilitas yang berbeda pula.  Hal ini karena perbedaan sifat fisiko kimianya seperti kelarutan dalam air, koefisien partisi, stabilitas ,dan lain-lain. 
Beberapa produk menunjukkan bioavailabilitas yang berbeda dengan adanya perbedaan bentuk sediaan.  Bahkan untuk bentuk sediaan yang sama pun kadang-kadang antar pabrik memberikan perbedaan bioavailabilitas.  Perubahan bahan pengisi yang berbeda juga memberikan perbedaan bioavailabilitas.
Produk yang sama pada pasien yang berbeda sering menimbulkan bioavailabilitas yang berbeda pula, sehingga perlu individual dosis.  Kadang-kadang perbedaan pemakaian sesudah dan sebelum makan juga memberikan perbedaan bioavailabilitas.
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa bioavailabilitas dipengaruhi oleh banyak factor.  Untuk menyederhanakan bias dikelompokkan menjadi tiga factor yaitu:
1.      Faktor Obat (sifat fisiko-kimia)
2.      Faktor Pabrik (Faktor Formulasi Sediaan)
3.      Faktor Pasien (Fisiologi dan Patologi saluran cerna).
Faktor pabrik merupakan factor yang paling mungkin untuk dimodifikasi.  Sebagai farmasis, kita adalah formulator sediaan, sehingga bisa mempunyai produk yang unggul.

Mekanisme Transport
            Tranport adalah perpindahan obat dari satu kompartemen ke kompartemen yang lain dengan menembus suatu membran yang membatasi dua kompartemen tersebut.  Dari pengertian ini maka perpindahan sekelompok orang dengan suatu alat transportasi atau perpindahan darah dari jantung ke pembuluh darah bukanlah suatu transport karena proses tersebut tidak melewati membrane, artinya masih dalam satu kompartemen.  Absorbsi adalah transport karena obat berpindah dari tempat pemberian ke kompartemen darah dengan menembus membrane seperti dinding usus, kulit, alveoli, dan sebagainya.  Kompartemen yang ditinggalkan disebut kompartemen donor, sedangkan yang lainnya adalah kompartement reseptor (aseptor). 
Secara umum transport dikelompokkan menjadi dua yaitu transport aktif yang memerlukan energi dan transport pasif yang tanpa energi.  Secara lebih detil ada minimal enam mekanisme transport yaitu difusi pasif, transport aktif, difusi (transport) fasilitatif, transport konvektif, pinositosis, pasangan ion dan penukar ion.  Absorbsi obat kebanyakan melalui mekanisme difusi pasif, yaitu obat yang bersifat lipofil melarut dalam membran kemudian muncul dikompartemen seberang yang berkadar lebih rendah.  Driving force proses ini adalah gradien konsentrasi, sehingga prosesnya tidak bisa melawan gradien konsentrasi.  Beberapa senyawa bersifat sangat polar, sehingga kecil kemungkinan  bias melarutdalam membrane yang lipofil.  Tetapi faktanya obat-obat seperti glukosa dan gula yang lainnya, vitamin-vitamin larut air, dan ion-ion mineral bisa diabsorbsi, maka transport aktif dan difusi fasilitatif berperan di sini.  Pada difusi fasilitatif, transport tidak perlu energi, tetapi perlu gradient konsentrasi.   Transport aktif tidak perlu gradient konsentrasi karena driving force-nya adalah energi yang diperoleh dari pemecahan ATP.  Bukan berarti mekanisme ini berjalan dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi, tetapi transportnya satu arah, misalnya dari saluran gastrointestinal ke darah, berapapun konsentrasi di kedua kompartemen tersebut, transport tetap menuju ke darah.  Bisa juga obat menembus membrane dengan melewati celah –celah hidrofil pada membrane.  Celah tersebut bisa berupa pori maupun space antar sel.  Transport ini disebut transport konvektif, dan umumnya terjadi saat filtrasi glomerulus, di ginjal.  Lebih jelas tentang perbedaan  3 transport utama absorbsi obat tampak pada table  berikut:
Tabel 1.  Perbedaan antara 3 mekanisme transport utama
Sudut Pandang
Difusi Pasif
Transport Aktif
Difusi Fasilitatif
Driving Force
Gradien C
Energi
Gradien C
Fungsi membran

Penghalang

Penyedia Energi  dan Carier
Penyedia Carier

Senyawa target

Lipofil

Hidrofil, mirip nutrien
Hidrofil

Kejenuhan
Tidak bisa
bisa
Bisa
Gangguan senyawa mirip
Tidak bisa
bisa
Bisa
Keracunan
Tidak bisa
bisa
Bisa
Tempat Absorbsi
Semua tempat
spesifik
spesifik

            Kinetika absorbsi difusi pasif mengikuti kinetika orde kesatu, sedangkan pada transport aktif mengikuti kinetika Mikaelis-Menten.  Kinetika Mikaelis-Menten ini bisa menjadi orde kesatu pada kadar obat (substrtat) yang jauh di bawah Km, sedangkan pada kadar yang sangat besar jauh di atas Km kinetika mikaelis menten menjadi ordo ke-nol.  Persamaan yang menggambarkan persamaan tersebut adalah sebagai berikut
Difusi Pasif (Hukum Ficks I)

     dQb        D A P
   --------  = -------- (Cg – Cb)
     dt           ∆Xm

Transport Aktif/Fasilitatif (Mikaelis-menten)
            dC           VmC
            ---  =  -  ----------
            dt            km+ C

Tahapan Absorbsi
            Absorbsi diawali dengan melarutnya obat dari bentuk sediaan non larutan ke dalam medium gastrointestinal, atau medium absorbsi yang lain.  Tahapan ini sebenarnya terdiri dari beberapa bagian jika sediaan berupa tablet, yaitu disintegrasi (pecahnya tablet menjadi integran/granul), deagregasi (pecahnya agregat menjadi serbuk).  Disolusi bisa terjadi dari tablet maupun dari granul, tetapi disolusi yang dari serbuk adalah yang paling besar karena luas permukaannya yang sangat besar.  Obat yang telah larut ini kemudian melarut dalam membran (untuk proses difusi pasif, dan proses itulah yang paling banyak dari absorbsi obat), kemudiaan masuk ke plasma darah.  Proses ini disebut dengan permeasi, beberapa rujukan menyebut sebagi proses absorbsi atau penetrasi.  Karena terdiri dari dua proses maka ada satu yang paling menentukan kecepatan proses absorbsi secara keseluruhan.  Tahap penentu ini disebut rate limiting step, yaitu tahap terlambat dalam rangkaian proses kinetic.  Obat-obat yang bersifat hidrofil mempunyai permeasi yang lambat dalam membrane gastrointestinal yang bersifat lipoid, sehingga permeasi adalah rate limiting step untuk obat-obat golongan ini. Obat-obat lipofil mempunyai kemampuan melarut dalam cairan castrointestinal yang jelek, sehingga disolusi obt ini menjadi  rate limiting step.  Secara lebih rinci obat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu golongan I, disolusi dan permeasi tidak ada masalah, golongan 2, yitu disolusi sulit permeasi mudah, golongan 3, yaitu disolusi mudah permeasi sulit, dan dan golongan 4 yaitu disolusi maupun permeasi dua-duanya sulit.
            Kinetika disolusi digambarkan oleh persamaan Ners-Burner (atau Noyes-Whitney).  Kecepatan dissolusi di gastrointestinal digambarkan dengan persamaan sebagi berikut

dQ     D S (Cs – Cgi)                            D adalah koefisien difusi, S adalah luas area kontak
---- = -----                                             padatan dan medium, h tebal stagnan layer, Cs kela-
dt         h                                             rutan, dan Cgi konsentrasi dalam gastrointestinal

Untuk menentukan apakah suatu obat bermasalah dalam proses dissolusi dapat dilihat dari besarnya kelarutan dalam air dan kecepatan disolusi intrinsiknya.  Obat dengan kelarutan lebih dari 1 % tidak bermasalah pada proses disolusi, Obat dengan kecepatan dissolusi intrinsic kurang dari 0,1 mg menit-1 cm-2 bermasalah pada proses disolusinya. Kecepatan dissolusi intrinsic dihitung dengan membuat kurva hubungan jumlah obat terdisolusi tiap satuan luas versus waktu disolusi dari sebuah pelet yang diletakkan dalam holder sedemikian rupa sehingga luas area kontak dengan medium dijaga konstan.  Pada kondisi sink yaitu Cs lebih dari 10 C maka akan didapatkan kurva linear.  Slope dari kurva tersebut adalah besarnya kecepatan disolusi intrinsik (k).
dQ     D S (Cs – C)
---- = -----
Q/s
(mg cm-2)
 
dt         h

pada kondisi sink

dQ     D S Cs    

---- = ----
dt        h

dQ = k s dt, diintegralkan menghasilakan
Q-Q0 = k s (t - t0), to dan Qo = 0, maka
Q = k.s.t
t (menit)
 
Q/s = k.t


            Setelah obat berhasil larut dalam gastro intestinal, dia akan diabsobsorbsi (permeasi).  Kebanyakan obat diabsorbsi dengan mekanisme difusi pasif, yaitu obat larut dalam membran kemudian muncul dikompartemen reseptor yaitu darah.  Kinetika difusi pasif ditunjukkan  oleh persamaan Fikcs I.  Absorbsi obat dari gastro intestinal ke dalam darah ditunjukkan sebagai berikut
dQb     D A P
-----  = -------- (Cg – Cb)
 dt         ∆Xm

pada kondisi sink, yaitu Cg lebih dari 10 Cb, persamaan menjadi
dQb     D A P
-----  = -------- (Cg)
 dt         ∆Xm

Transport obat secara umum dari kompartemen donor ke reseptor analog dengan persamaan tersebut, dengan konsentrasi gastrointestinal (Cg) sebagai Konsentrasi donor (Cd) dan konsentrasi darah (Cb), sebagai konsentrasi reseptor Cr.
Jika konsentrasi di donor dianggap konstan maka hubungan antara jumlah obat tertransport versus waktu akan linear dengan slope sebagai Fluks Total (JT), sedangkan Fluks adalah Fluks total dibagi luas area absorbsi
dQ = DAP ∆Xm-1 Cgdt          
Q = J/A t
Dengan berjalannya waktu, obat tidak serta merta muncul di kompartemen reseptor, perlu waktu tertentu untuk melarutnya obat dalam membran dan berpindah ke kompartemen reseptor.  Waktu ini disebut lag time (tlag)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MODUL KULIAH BIOFARMASETIKA I"

Post a Comment