Kiat Penting Mengasuh Anak dengan EQ*)

Setiap kali diminta berbicara tentang isu parenting (keayahbundaan), yang langsung melintas di pikiran saya adalah wajah kedua balita saya. Apakah saya sudah menjadi ibu yang baik bagi kedua anak saya sehingga saya “pantas” membagikan pengalaman atau bacaan saya dalam bidang keayahbundaan ini kepada orang lain? Ada yang mengatakan bahwa cermin yang paling sempurna di dunia ini adalah anak-anak kita sendiri. Artinya, ketika saya melihat anak-anak saya, berarti saya sedang melihat diri saya sendiri. Keterampilan saya sebagai orangtua, bukanlah diuji melalui forum-forum diskusi, tapi bagaimana interaksi saya secara langsung setiap hari dengan anak-anak saya. 

Jadi, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, anggaplah tampilnya diri saya sebagai pembicara dalam forum ini adalah untuk berbagi pengalaman bersama hadirin dalam mempraktikkan pengetahuan dan bacaan saya dalam pekerjaan penting seumur hidup ini, yaitu menjadi orangtua. 


Memahami Pentingnya EQ 

Seperti kebanyakan orangtua yang lain, saya juga bercita-cita membesarkan anak saya menjadi anak-anak yang memiliki apa yang saya dan suami istilahkan sebagai 2S & 4C: Saleh, Sehat, Cerdas, dan Cakep. Dan sejak mengandung, saya pun melengkapi bacaan saya dengan buku-buku yang berkaitan dengan isu-isu parenting. 

Ketika edisi bahasa Indonesia buku Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional: Mengapa EI lebih penting daripada IQ terbit, saya pun membacanya. Penelitian dari banyak neurolog dan psikolog yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional (EQ), sama pentingnya—bahkan mungkin lebih penting dibandingkan, dengan kecerdasan intelektual (IQ), memberikan pemahaman baru bagi saya dalam mengasuh anak-anak. 

Dalam buku Goleman dikatakan bahwa untuk lebih bisa mengatasi aneka tantangan hidup, yang merupakan kunci sukses di masa datang, anak-anak perlu dibekali keterampilan emosi dan sosial, suatu kemampuan untuk mengenali, mengolah dan mengontrol emosi agar anak mampu berespons secara positif terhadap setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi tersebut. Anak dikatakan cerdas secara emosional bila ia memiliki kemampuan yang baik dalam hal ini. Bahkan dalam buku tersebut dikatakan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbangkan 20% dari kesuksesan yang dapat diraih seseorang. Karena itu, ditemukan anak-anak yang cerdas ternyata mengalami kegagalan dalam bidang akademis, karier, juga kehidupan sosialnya. Sebaliknya, banyak yang yang di kemudian hari sukses, sebenarnya memiliki taraf kecerdasan rata-rata saja. 

Mengingat semua pengalaman emosi di masa kanak-kanak dan remaja ikut membetuk sirkuit emosi penentu kecerdasan emosi kita di masa dewasa, maka kecerdasan emosi menjadi keterampilan yang harus dikembangkan dan menjadi perhatian para orangtua, sama halnya dengan perhatian yang diberikan pada tahap-tahap perkembangan fisik dan kemampuan intelektual anak. 

Kita sebagai orangtua, umumnya, memberi perhatian yang sangat besar pada perkembangan fisik dan kemampuan anak dalam berbicara dan hal motorik. Saya, misalnya, bisa mengingat bagaimana saya begitu teliti mencatat (bahkan membuat dokumentasi foto) pertambahan berat dan tinggi badan anak saya, sejak kelahirannya. Juga, pada usia berapa gigi anak saya mulai tumbuh, misalnya. Saya juga mencatat perkembangan kemampuan motorik anak saya. Misalnya, kapan si anak mulai bisa merangkak, berdiri, dan berjalan. Atau kapan pula dia bisa menyebutkan kata-kata ma… ma… atau pa…pa. 

Namun sebagai orangtua umumnya, kita kurang memberi perhatian pada tahap-tahap perkembangan kecerdasan emosi anak. Setiap aspek kecerdasan emosi memiliki waktu-waktu perkembangannya sendiri, dan walaupun hal ini lebih bervariasi daripada perkembangan fisik atau kemampuan lainnya, namun tahap-tahap perkembangan ini bisa diperkirakan. Misalnya, dari penelitian diketahui bahwa rentang perhatian anak berusia 2 tahun berkisar 7 menit, anak 3 tahun 9 menit, anak 4 tahun 12 menit, 5 tahun 14 menit. Pengetahuan ini dapat membantu kita dalam memberikan pelatihan emosi yang sesuai dengan usia dan kemampuan anak. Dalam bukunya, Melejitkan Kepekaan Emosional (Kaifa, 2000), Jeanne Segal mengatakan bahwa otot (kecerdasan) emosional ini perlu dilatih sebagaimana halnya kita melatih otot-otot fisik lainnya. Sebagai orangtua yang menginginkan kebahagiaan anak, kita perlu serius mengasah (dan melatih otot) kecerdasan emosi si kecil, bahkan menempatkannya sebagai prioritas dalam tugas pengasuhan kita. 

Lantas, apa yang harus kita lakukan agar dapat menghasilkan anak-anak yang memiliki EQ tinggi dan berhasil dalam mengatasi aneka tantangan hidup? Yang terpenting, tentu saja, selain kita harus memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, kita juga perlu membekali diri kita dengan keterampilan-keterampilan untuk mengasuh anak dengan EQ—hal selanjutnya yang akan dibahas dalam tulisan ini. 


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kiat Penting Mengasuh Anak dengan EQ*) "

Post a Comment