Definisi Kecerdasan Emosi


Kecerdasan Emosi
 a. Definisi Kecerdasan Emosional (EQ).

Untuk memahami kecerdasan emosional secara komprehensif, peneliti akan memaparkan terlebih dahulu makna dari emosi itu sendiri.  Hal ini dimaksudkan agar pijakan awal dalam membahas kecerdasan emosional tidak mengambang. Namun sebelum memaparkan definisi emosi, akan peneliti kemukakan mengenai kondisi-kondisi yang mendasari emosi. Kondisi-kondisi tersebut adalah:
  • Perasaan, misalnya perasaan takut
  • Impulsif dan dorongan, misalnya dorongan untuk melarikan diri
  • Persepsi atau pengamatan, tentang apa-apa yang membangkitkan emosi. (Dadang Sulaeman, Psikologi Remaja “Dimensi-Dimensi Perkembangan”, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm.51)
Demikian pula dalam bukunya Syamsu Yusuf LN, tertuang di dalamnya tentang pendapatnya Sarlito Wirawan mengenai emosi, bahwa menurutnya emosi merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah atau dangkal maupun pada tingkat yang luas atau mendalam. Yang dimaksud warna afektif ini adalah perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi ( menghayati ) suatu situasi tertentu. Contohya; gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci atau tidak senang dan sebagainya. (Syamsu Yusuf LN, op. cit, 2002, hlm. 115)

Berangkat dari kerangka dasar tentang emosi, sebuah teori yang komprehensif tentang emosi kaitannya dengan kecerdasan emosional yang dikemukakan pada tahun 1990 oleh Peter Soluvey dan John Mayer, mereka mula-mula mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi yang baik pada diri sendiri maupun orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan (Lawrence E. Saphiro, Mengajarkan Emosional Intelligence Pada Anak, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 8).
Selanjutnya Goleman juga mengemukakan tentang kecerdasan emosional, yaitu kemampuan seperti kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengandalkan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar bebas dari stress, tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. (Daniel Goleman, Emotional Intellegence, terj: T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlml.45)

Sebenarnya teori Goleman tersebut dapat disimpulkan dalam perubahan-perubahan Bahasa Arab, “Man Shobaro Dzofaro”, artinya “Barang siapa yang bersabar, ia akan sukses” peribahasa ini bisa disimpulkan bahwa orang yang sukses dalam hidupnya adalah orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi atau orang yang sabar. Keadaan ini menunjukan bahwa ada hubungan antara sukses dan kecerdasan. Kecedasan bias dibentuk dengan melatih kesabaran dan tekun dalam menempuh perjalanan sabar, seperti itulah seorang sufi yang menempuh perjalanan menuju Allah SWT. Ia tempuh berbagai bencana tetapi ia tetap sabar, itulahmengembangkan kecerdasan emosional. (Jalaluddin Rahmat, Meraih Cinta Ilahi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm.240)

Demikianlah definisi kecerdasan emosional menurut beberapa pakar. Kecerdasan emosional (EQ) ini memang merupakan istilah baru. Namun isi dari EQ ini adalah istilah-istilah, seperti; kesadaran diri, control diri, ketekunan, semangat, motivasi diri, empati, dan kecakapan social. Sebagai dasar-dasar dari kecerdasan emosional ini merupakan istilah lama yang pada substansinya adalah bagaimana seseoarang bisa mengenal, menguasai dan mengendalikan emosi yang ada dalam dirinya merupakan ekses dari sikap ini, seseorang dapat dewasa dalam emosi (kecerdasan emosi ).

 
b. Perkembangan Kecerdasan Emosional.

Mengingat pentingnya peran emosi dalam kehidupan anak, tidaklah mengherankan kalau sebagian keyakinan tradisional tentang emosi yang telah berkembang selama ini bertahan kukuh tanpa informasi yang tepat untuk menunjang ataupun menentangnya–sebagai contoh ada keyakinan yang telah diterima secara luas bahwa sebagian orang dilahirkan dengan sifat yang lebih emosional dibanding yang lainnya. Konsekuensinya, sudah menjadi kenyataan yang diterima masyarakat bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah karakteristik ini. Pada zaman dulu perbedaan emosionalitas ini dinyatakan sebagai hasil dari perbedaan keadaan jasmani, dan pendapat mutakhir mengatakan bahwa perbedaan emosionalitas merupakan akibat dari perbedaan dalam kelenjar endokrin.(Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1997), hlm.210)

Dari kedua pandangan awam tersebut dapat dipahami, bahwa perbedaan emosionalitas ini bersifat genetik atau (diturunkan). Nampaknya keyakinan awam tersebut tidak bisa diubah sebelum bukti ilmiah diperoleh, bahkan keyakinan telah bertahan kuat hingga mempergauli cara orang tua dan guru (para pendidik) yang mempunyai peran pengganti dalam bereaksi terhadap emosi anak.

Namun berkat penelitian para pakar dalam berbagai bidang, khususnya para psikologi menunjukan bahwa sebenarnya faktor genetik bukanlah satu-satunya yang mempengaruhi emosionalitas anak, terdapat faktor lainnya yang sangat dominan, bahkan menentukan emosionalitas anak, yaitu faktor lingkungan. Faktor lingkungan ini meliputi berbagai hal lainnya seperti lingkungan keluarga sebagai lingkungan yang pertama kali dapat mempengaruhi perkembangan emosionalitas anak; lingkungan sekolah; serta lingkungan masyarakat.

Berbagai faktor lingkungan tersebut akhirnya dapat menyebabkan adanya keberagaman emosi anak (ciri khas emosi anak), yang berbeda dengan emosi orang dewasa. Orang dewasa yang belum memahami akan ciri khas emosi anak ini cenderung menganggap anak kecil sebagai “tidak matang”. Padahal sebetulnya tidak logis jika orang dewasa menuntut agar semua anak pada usia tertentu mempunyai pola emosi yang sama. Perbedaan individu tidak dapat dielakkan karena adanya perbedaan dalam berbagai hal, diantaranya adalah pematangan dan kesempatan belajar.

Dari kedua faktor tersebut kesempatan belajar merupakan faktor yang lebih penting. Karena belajar merupakan sesuatu yang positif dan sekaligus merupakan tindakan preventif. Maksudnya adalah bahwa apabila reaksi emosional yang tidak diinginkan dipelajari, kemudian membaur kedalam pola emosi anak, akan semakin sulit mengubahnya dengan bertambah usia anak, bahkan reaksi emosional tersebut akan tertanam kukuh pada masa dewasa dan untuk mengubahnya diperlukan bantuan ahli.

Sebagai akibat dari kedua faktor tersebut, maka dapat dipahami bahwa emosi anak seringkali sangat berbeda dari orang dewasa.. Namun terlepas dari adanya perbedaan individu dan faktor-faktornya, ciri khas emosi anak membuatnya berbeda dari emosi orang dewasa diantaranya yang menjadi ciri khas (pola umum) emosi anak adalah emosi takut dan marah. Inilah yang menjadi faktor fundamental dari emosi.

Sebagai faktor lain dari kecerdasan emosi adalah peran orang tua. Apabila seseoarng menjadi orang tua, maka terjadilah suatu keganjilan yang patut disesali, dimana mereka akan mulai memainkan suatu peran tertentu, dan lupa bahwa sesungguhnya mereka adalah pribadi manusia. Kini sebagai orang tua mereka memiliki tanggung jawab untuk menjadi lebih baik daripada sekedar sebagai manusia. Beban tanggung jawab yang berat ini merupakan tantangan bagi orang tua di mana mereka merasa bahwa mereka harus selalu bersikap konsisten dalam perasaan-perasaan mereka, harus selalu menyanyangi anak-anak, harus menerima dan bersikap toleran tanpa syarat, dan yang terpenting adalah tidak boleh membuat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya.

Selain peran orang tua, guru sebagai pihak lain yang ikut terlibat dalam memupuk kecerdasan emosi anak memiliki peranan penting. Bahkan sering kali didapatkan, anak lebih manurut pada perintah gurunya dari pada perintah orang tuanya. Hal tersebut sah-sah saja, karena memang guru memiliki banyak peranannya tidak sebagai pengajar, tapi juga sebagai pendidik dan pembimbing. (Kartini Kartono, Bimbingan dan Dasar-Dasar Pelaksanaannya, (Jakarta: Rajawali, 1985), hlm.17
Dalam perananya ini guru perlu mengusahakan diri agar dapat melaksanakan semuanya. Ketika perannya sebagai guru ia perlu yang harus dilakukannya, meskipun ketiga bidang ini dapat tumpang tindih sifatnya, tetapi masing-masing mempunyai tekanan perhatian dan pendekatan yang berbeda-beda.


Quantum teaching, memberikan enam kunci bagi para guru untuk membangun suasana yang menyenangkan: (Bobby Deporter, Quantum Teaching, Mempraktekan Quantum Learning di Ruang-Ruang  Kelas, terjemah; Ary Nilandari,  (Bandung: Kaifa, 2000), hlm. 17-39)
  • 1)    Kekuatan terpendam niat, maksudnya adalah seseorang guru harus mempunyai niat yang kuat atau kepercayaan akan kemampuan dan motivasi siswa.
Dari teorinya Deporter ini dapat dijadikan sebagai metode dalam melatih kecerdasan emosional siswa adalah dengan melakukan  empati.  Sebagaimana juga yang terdapat dalam metode mendidik anak dalam ajaran Islam, seperti dalam firman  Allah  SWT:

وليخس الذين لوتركوا  من  خلفهم ذرية ضعفا خافوا عليهم فليتقوالله واليقولو قولا سديدا.(النساء:9)
“Dan hendaklah takut pada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang  mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka mengucapkan perkatan yang` benar”.(QS. An-Nisa:9)  (Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm. 116)

Ayat tersebut di atas dapat dijadikan pegangan oleh pendidik, bahwa sebelum mereka mendidik tentu saja harus bertakwa kepada Allah SWT dan berkata dengan perkataan yang benar dan diharapkan menjurus pada hukum yang benar. Dengan jalan menempatkan diri (berempati) pada orang lain sembari menghayati kelemahan mereka, niscaya ia akan benar-benar memperhatikan perkataan yang benar dan berdasarkan kepada takwa semata-mata karena Allah SWT, sehingga  mereka tidak menghiraukan anak yang  lemah.(Aabdul Fatah Jalal, Azas-Azas Pendidikan Islam, terjemah: Henry  Noer Ali, (Bandung: Diponegoro, 1988),  hlm. 178 )
Sedemikian pentingnya niat kuat ini sehingga akhirnya dapat   berdampak pada peran psikologis siswa dalam belajar, dan dengan memperhatikan emosi siswa, maka guru dapat mempercepat pembelajaran siswa.  Demikian dengan memahami emosi siswa, guru dapat  membuat pembelajaran lebih berarti dan permanen.        

  • 2)    Jalinan rasa simpati dan saling pengertian. Dengan adanya dua sifat ini maka keterlibatan antara siswa dan guru akan semakin erat, karena dengan hubungan, akan membangun jembatan menuju kehidupan bergairah siswa.
Dalam ajaran Islam, bersikap lemah lembut dan penuh kasih saying merupakan dasar dalam bermuamalah dengan anak. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam bergaul dengan anak-anak, beliau memperlakukan mereka dengan penuh kelembutan baik didalam sikap atau perkataan beliau. Apabila ada  kesalahan yang dilakukan anak, beliau tidak segan-segan untuk  menegur dengan lembut dan memberi penjelasan tentang letak kesalahnnya dengan memakai argumentasi yang logis dan  mudah dipahami oleh mereka. Sehingga mereka tidak mengalami kesalahan untuk yang kedua kalinya.
Telah diriwayatkan oleh Aisyah ra. Rasulullah SAW bersabda:


اِن الله رفيق يحب الرفق  في الأمر كله.(رواه بخاري ومسلم)

“Sesungguhnya Allah adalah zat yang lembut, dan setiap perkara senang pada kelembutan”. (HR. Bukhori  dan  Muislim)  (Muhyidin Abdul  Hamid, Kegelisahan Rasulullah Mendengar Tangis Anak, (Yogyaarta:  Mitra  Pustaka, 1999), hlm. 187-196 )
Muslim meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari, bahwa Rasulullah SAW mengutusnya bersama Mu’adz ke negeri Yaman, dan Rasulullah  SAW berkata pada mereka berdua:
يسر ولاتعسر وعلما ولا تنفرا.(رواه مسلم)

“ Permudahlah dan janganlah kalian persukar, ajarkanlah ilmu dan  janganlah  kalian berlaku  tidak simpati” (Muhammad Nashih  Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam, (Semarang: asy-Syifa, 1981), hlm. 155
  • 3)    Keriangan dan ketakjuban. Dengan keriangan kegiatan belajar-mengajar akan lebih menyenangkan. Kegembiraan membuat siswa siap belajar dengan lebih mudah dan bahkan dapat mengubah sifat negatif. Untuk menambah kegembiraan dapat digunakan afirmasi, yaitu suara-suara untuk mengaktifkan dialog internal, sebagai cerminan nilai-nilai dan keyakinan guru serta berpengaruh kuat pada pengalaman guru setiap saat; memberi (dan menerima) pengakuan, di mana pada dasarnya, setiap siswa senang diakui atau diterima.
Jadi, akuilah setiap usaha siswa, tidak hanya usaha yang tepat; merayakan kerja keras, hal ini akan mendorong siswa memperkuat rasa tanggung jawab dan mengawali proses belajar mereka sendiri. Selanjutnya dengan ketakjuban sebagai alat belajar asli dapat menambahkan arti lebih pada belajar, jika belajar diawali dan dicari melalui ketakjuban.
Selanjutnya menurut Utsman Najati, bahwa afirmasi juga  berarti bahwa guru  menyediakan situasi yang  baik bagi  perkembangan emosi anak, dan mendukung melalaui cara yang jelas  yang dikenali anak seperti memberikan ganjaran pada siswa. (Utsman Najati, Belajar  EQ dan SQ dari  Sunnah Nabi, Pengantar: Ary Ginanjar Agustian, (Bandung: Hikmah, 2002), hlm. 166 )
Rasulullah SAW, menggunakan ganjaran dalam membangkitkan dan memperkuat semangat serta gairah untuk berlomba  lari. Beliau  bersabda:

“ “Siapa menang, ia akan mendapatkan sesuatu dariku”. Lalu mereka mereka berlomba lari dan menubruk dada beliau, segera beliau memeluk dan mencium  mereka” (ibid)
  • 4)    Pengambilan resiko. Setiap belajar mengandung resiko setiap kali seseorang bertualang untuk belajar sesuatu yang baru ia mengambil resiko besar diluar zona nyamannya. Dengan resiko ini akan membawa siswa melampaui batas mereka sebelumnya dan menambah dampak pengalamannya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari; Rasulullah  SAW  bersabda:
“  Ilmu  itu  hanya dapat dikuasai  dengan belajar; kecerdikan juga begitu. Barang siapa mengerjakan kebaikan ia  mendapatkannya. Sedangkan barang  siapa yang menghindari kejelekan ia akan terjaga darinya”.( HR. Thabrani dan al- Doruquthny) (Ibid, hlm. 170)
Maksud  hadits di atas,  menurut Utsman Najati  adalah bahwa belajar hanya dapat ditempuh dengan mengerahkan segenap upaya  serta berpartisipasi aktif dan efektif  dalam proses belajar.(ibid)

  • 5)    Rasa saling memiliki. Dengan adanya saling memiliki akan mempercepat proses pengajaran dan meningkatkan rasa tanggung jawab siswa
Mendidik siswa dengan adanya rasa saling memiliki, menurut Nashih  Ulwan  juga  berarti mendidik dengan  penuh pehatian. Yang dimaksud mendidik dengan perhatian adalah mencurahkan, memperhatikan dan senantiasa mengikuti perkembangan anak dalam pembinaan akidah dan moral, persiapan, spiritual dan sosial, disamping selalu bertanya  tentang situasi pendidikan jasmani dan daya  hasil ilmiahnya.   (Muhammad  Nashih  Ulwan, Op.Cit, hlm.123)
Di bawah ini ayat tentang keharusan memperhatikan dan mengkontrol dalam mendidik siswa.
  يأيها الذين امنوا قوا انفسكم واهليكم  ناراوقودهاالناس والحجارة عليها ملئكة غلاظ شدادلايعصون الله ماأمرهم ويفعلون مايؤمرون.(التحريم:6
 “ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah keluargamu dan dirimu  daripada neraka, yang  bahan bakarnya  manusia dan batu, sedang  penjaganya malaikat-malaikat yang  kasar dan keras, mereka tidak mendurhakai Allah tentang apa-apa yang disuruhnya dan mereka memperbuat apa-apa yang diperintahkan kepadanya”. (QS.  At-Tahrim: 6)
  
  • 6)    Keteladanan. Bertolak dari pepatah “Tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata”, ini mengandung arti bahwa diri seorang guru lebih penting daripada pengetahuannya. Karena dengan keteladanan dapat membangun hubungan, memperbaiki kredibilitas dan meningkatkan pengaruh.
Dalam Islam, Allah SWT telah menjadikan nabi Muhammad  SAW sebagai suri  tauladan, yang baik bagi manusia. Dalam al-Quran Allah SWT berfirman:

لقد  كان لكم في  رسول لله أسوة حسنة  لمن كان يرجواالله  واليوم الأخر وذكرالله كثيرا.(الأحزب:21)
“ Sesungguhnya pada rasul Allah (Muhammad) ada ikutan  yang baik bagimu, yaitu bagi orang  yang mengharapkan (pahala) Allahdan hari yang kemudian, serta ia banyak mengingat Allah”. (QS. al-Ahzab: 21)
Telah diakui bahwa kepribadian rasul sesungguhnya bukan hanya teladan buat satu masa, satu generasi, satu bangsa atau satu golongan. Tetapi merupakan teladan univeral, untuk seluruh manusia dan seluruh generasi. Teladan yang abadi dan tidak akan habis adalah kepribadian rasul yang didalamnya terdapat segala norma,nilai, dan ajaran Islam.  
Menurut an-Nahlawi, sebagaimana dikutip Sri Harini dan Aba Firdaus al-Hajwani, pendidikan melalui keteladanan ini dapat diterapkan baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Keteladanan yang tidak sengaja adalah keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat ikhlas dan lain-lain. Sedangkan keteladanan yang disengaja, misalnya memberi contoh membaca yang baik, mengerjakan shalat yang benar dan lain- lain. Dalam pendidikan Islam kedua macam keteladanan tersebut sama pentingnya.    

Dari uraian di atas, sudah jelas bahwa sementara guru mengajak siswa dalam proses belajar seumur hidup yang dinamis dan tak terlupakan, guru menciptakan suasana prima yang unik bagi para siswa, yang membuat siswa aman tapi tertantang, dimengerti dan dirayakan. Dengan menciptakan suasana yang prima tersebut, guru secara tidak langsung telah mendidik siswa memiliki kecerdasan emosi.

Demikian juga, dengan lingkungan masyarakat turut berperan dalam kecerdasan emosi siswa. Adapun lingkungan masyarakat yang berpengaruh adalah terutama teman-teman sebayanya yang bersangkutan, dimana dalam masa ini terjadi interaksi yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi pembentukan kecerdasan emosi.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Definisi Kecerdasan Emosi "

Post a Comment