Contoh Sebuah Latar Belakang Masalah
Pekerjaan luar rumah dulunya dianggap tak wajar oleh masyarakat bagi perempuan khususnya memegang peran total sebagai pemenuh kebutuhan finansial keluarga. Tentunya karena masyarakat menyadari bahwa secara fisik dan mental lelaki jauh lebih energik dibanding perempuan. Perempuan mulai bekerja sebagai supir angkot karena itu harus bertanggung jawab terhadap urusan domestik atau rumah tangganya. Dalam artian, perempuan atau istri turut terlibat aktif mencari nafkah untuk menopang pemenuhan kebutuhan rumah tangga.
Pada dasarnya tugas mencari nafkah (publik) adalah tugas suami. Namun kenyataannya istri juga harus bekerja. Dengan bekerjanya istri, menyebabkan perempuan memiliki peran ganda dalam kehidupan sosialnya yakni menjadi ibu rumah tangga yang bertanggungjawab (domestik) dan juga sebagai pencari nafkah. Peran ganda perempuan yang bekerja sebagai pegawai kantoran (wanita karier) tidak dapat disamakan dengan perempuan yang bekerja sebagai supir angkutan. Secara peran sosial mereka mengusahakan kehidupan finansial keluarga namun dilain hal status menjadi pembanding sekaligus pembeda bagi kelas sosial.
Perempuan sangat erat dengan stigma kelemah-lembutan, keterbatasan ruang untuk bekerja. Konsep tradisi sosial tentang hak dan kewajiban perempuan seperti dahulu dianggap tak lagi layak untuk digeneralisasikan. Kewajiban perempuan adalah melakukan pekerjaan dirumah, bersikap anggun dan mampu melayani dengan kerendahan hati. Bahkan hak mereka tak boleh lebih tinggi bahkan setara dengan lelaki. Ini sering sekali menjadi sebuah kepincangan hak asasi manusia yg pada dasarnya menjunjung kebebasan dan kesetaraan tanpa memandang status apapun. Lalu Feminis lahir dan tumbuh di kalangan kaum perempuan, Feminis menuntut bahwa laki-laki dan perempuan harusnya memiliki hak dan kesempatan yang sama yang sering disebut sebagai bentuk kesetaraan gender.
Perempuan acap kali hanya dipandang sebelah mata oleh kaum lelaki, ingin bangkit dan mencoba menghancurkan keterkekangan yang berlebihan menurut sebagian perempuan. Akhirnya wanita diberi peluang untuk menyeimbangkan diri dalam konteks pendidikan, pekerjaan, politik, dan sebagainya melalui status dan peran yang dimilikinya. Kaum perempuan yang mulai terjun ke dunia politik dan menduduki kursi dewan, perempuan memimpin sebuah perusahaan dengan membawahi banyak anggota yang kemungkinan besar adalah pria, bahkan menduduki kursi kepresidenan. Semua adalah hal yang tampak sudah lumrah terjadi. Ini membuktikan bagaimana perempuan ikut serta menyumbangkan pemikiran dan pengaruh besar terhadap masyarakat sekitar khususnya.
Berlangsungnya dinamika sosial yang terus berpacu, perempuan bahkan mulai tak segan-segan mengambil langkah untuk menekuni pekerjaan buruh lepas yang lazimnya hanya dikerjakan oleh kaum lelaki. Salah satunya adalah menjadi seorang supir angkutan. Walau kedengarannya masih jarang namun fakta sosial menunjukkan bagaimana seorang perempuan mencari nafkah ditengah hirup pikuk jalanan sepanjang hari sebagai supir angkutan umum. Ini merupakan suatu perubahan yang dianggap tidak sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku, namun mempunyai dampak positif terhadap sistem sosialnya, namun masyarakat belum bisa menerima kehadirannya. Ini menjadi dilema bagi kehidupan sosial perempuan khususnya pada masalah ekonomi.
Supir angkutan kota adalah salah satu pekerjaan yang tidak hanya membutuhkan kemampuan mengemudi namun energi yang maksimal. Menjadi supir angkot adalah profesi yang dipandang terlalu keras dan menuntut banyak resiko. Pertama hasil yang didapat tidak selalu sama setiap harinya. Dalam suatu waktu sewa (penumpang) bisa mencapai target namun dilain waktu konsekuensi yang harus diterima adalah penumpang yang sedikit khususnya hari-hari libur. Kedua, Resiko paling besar adalah kecelakaan lalu lintas yang bisa terjadi dimana saja. Sehingga profesi supir angkot biasa hanya dilakukan oleh kaum pria yang sudah terbiasa namun seiring dinamika kehidupan yang semakin maju dan arus finansial yang terus melaju perempuan juga dikelumuti dengan profesi-profesi yang tak lazim bagi mereka.
Perempuan telah berperan sebagai tonggak keluarga. Apakah ketika perempuan bekerja malah menggantikan posisi dan peran sosial lelaki sebagai kepala rumah tangga?. Pengungkapan masalah perempuan dengan menggunakan perspektif gender sering mengalami polemik antara pro dan kontra, tidak hanya oleh laki-laki tapi bahkan perempuan itu sendiri. Banyak pihak yang menganggap bahwa perjuangan kesetaraan gender menyudutkan posisi laki-laki yang selama ini selalu kuat. Padahal kajian sebuah gender bukan sesempit itu. Kesetaraan bukanlah mengambil posisi suami sebagai kepala rumah tangga, kesetaraan bukanlah memposisikan perempuan diatas laki-laki. Kesetaraan bukanlah bicara ambisi perebutan kekuasaan. Kesetaraan Gender adalah pengembangan dari sisi humanis yang lebih mempertanyakan ketimpangan hak antara perempuan dan laki-laki dan menuntut solusi akan kesamaan hak dan kewajiban.
Pertanyaannya apakah seorang perempuan yang bekerja keras penuh resiko seperti seorang supir angkutan adalah penganut feminisme? Apakah mereka memahami apa itu feminisme atau melakukan pekerjaan kasar ini hanya demi tuntutan hidup yang semakin besar? Lalu bagaimana perempuan menjalani kehidupannya sebagai seorang ibu dan penopang kehidupan finansial keluarga. Inilah yang membuat saya sangat tertarik menarik untuk mengkaji kehidupan seorang supir angkot perempuan.

0 Response to "Contoh Sebuah Latar Belakang Masalah"
Post a Comment