SISTEM HUKUM CIVIL LAW (EROPA KONTINENTAL)

Prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa kontinental adalah, bahwa hukum memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan. Sistem hukum Eropa Kontinental Rechtsstaat dipelopori oleh Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl. Menurut Stahl konsep sistem hukum ini ditandai oleh empat unsur pokok :

1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asas manusia;

2. Negara didasarkan pada teori trias politika;

3. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bertuur); dan

4. Ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh penerintah.



Prinsip utama dari sistem hukum ini adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematis di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu. Hal ini semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum. Dan kepastian hukum hanya dapat diwujudkan kalau pergaulan atau hubungan dalam masyarakat diatur dengan peraturan-peraturan hukum yang tertulis. Hakim menurut sistem Eropa kontinental ini tidak leluasa untuk menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat. Putusan hakim dalam suatu perkara hanyalah mengikat pihak yang berperkara saja poktrins (doktris Res Ajudicata].

Sejalan dengan pertumbuhan negara-negara nasional di Eropa, yang berorientasi pada unsur kedaulatan (sovereignty), termasuk untuk menetapkan hukum, maka yang menjadi sumber hukum di dalam sistem Eropa Kontinental meliputi:

1. Undang-Undang yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislative;

2. Peraturan-peraturan yang dibuat pegangan kekuasaan eksekutif berdasarkan wewenang yang telah ditetapkan oleh undang-­undang; dan

3. Kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang.



Berdasarkan sumber-sumber hukum yang digunakan, maka sistem hukum Eropa Kontinental dibagi dalam dua golongan yaitu penggolongan ke dalam bidang hukum publik dan penggolongan ke dalam bidang hukum privat. Hukum publik mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenang penguasa negara serta hubungan-hubungan antara masyarakat di negara. Sedangkan hukum privat mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara individu-individu dalam memenuhi kebutuhan hidup demi hidupnya. Termasuk dalam hukum publik adalah hukum tatanegara, hukum administrasi negara, hukum pidana dan lain-lain. Dan yang termasuk hukum privat meliputi hukum sipil dan hukum dagang.

Namun demikian sejalan dengan perkembangan Reradaban manusia sekarang, batas-batas yang jelas antara hukum ublik dan hukum privat semakin sulit ditemukan, karena:

1. Terjadinya proses sosialisasi di dalam hukum sebagai akibat dari makin banyaknya bidang-bidang kehidupan masyarakat, walaupun pada dasarnya memperlihatkan adanya unsur "kepentingan umum", yang perlu dilindungi dan dijamin. Misalnya, bidang hukum perburuhan dan hukum agraria.

2. Makin banyaknya ikut campur negara di dalam bidang kehidupan yang sebelumnya hanya menyangkut hubungan perorangan. Misalnya, bidang perdagangan, bidang perjanjian dan sebagainya.





Kodifikasi hukum menurut Sistem Hukum Eropa Kontinental merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mewujudkan kepastiam hukum. Karena negara-negara yang menganut sistem hukum ini akan selalu berusaha menciptakan kodifikasi-kodifikasi hukum sebagai kebutuhan masyarakat. Kodifikasi Hukum Eropa Kontinental bersumber pada kodifikasi Hukum Yang berlaku di Kekaisaran Romawi yaitu "Corpus Juries Civilize" pada pertengahan abad VI Masehi dari Kaisar justhinianus yang setelah revolusi Perancis (1789-17951 dijadikan sebagai "Code Civil" yang mulai berlaku pada 21 Maret 1804. Oleh Belanda Code Civil Perancis dijadikan sebagai KUHPer. [1838], begitupun dengan Code de Commerce Perancis [1807] dijadikan sebagai KUHD Belanda [1811-1838]. Berdasarkan asas konkordansi keduanya dijadikan sebagai BW dan WvK bagi negara-negara jajahan Belanda, termasuk di Indonesia [1848]. erdasarkan aturan peralihan UUD 1945 BW (KUHPer.) dan WvKl(KUHD) masih berlaku di Indonesia hingga sekarang.

Sistem hukum Romawi Jerman adalah sistem yang dipakai di Indonesia. Sistem ini lebih dikenal dengan nama Civil Law System. Sistem hukum ini tidak dapat dilepaskan dari hukum Romawi yang muncul pada abad ketiga belas dan setelah itu mengalami berbagai evolusi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dari masyarakat yang selalu berubah.

Ciri khas dari Hukum Romawi Jerman adalah dibaginya hukum menjadi dua kelompok hukum adalah:

a. Hukum yang mengatur kesejahteraan masyarakat dan kepen­tingan umum;

b. Hukum yang mengatur hubungan perdata artinya yang mengatur hubungan orang.



Selain pembagian dalam dua kelompok hukum, hukum Romawi Jerman memiliki kesamaan struktur dalam:



a. Pembagian dalam bidang hukum.

Ciri berikutnya dalam sistem hukum Romawi Jerman adalah pembagian dalam berbagai bidang hukum seperti Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Agraria, Hukum Perdata Internasional, dan sebagainya.





b. Unifikasi hukum.

Pengertian unifikasi atau unificatie96 adalah merupakan penyatuan. Artinya satu hukum yang diberlakukan untuk seluruh penduduk berdasarkan teritorial negara dan tidak menurut perbedaan golongan, mendapatkan perlakuan yang sama, tidak diskriminatif dan memandang setiap orang berkedudukan sama dimuka hukum.

c. Kodifikasi hukum.

Kodifikasi atau codificatie adalah pengitaban undang-undang atau pengitaban hukum. Kansil memberikan pengertian kodifikasi adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Unsur­unsur kodifikasi adalah jenis-jenis hukum tertentu (misalnya Hukum Perdata), sistematis dan lengkap. Adapun tujuan dari kodifikasi adalah untuk memperoleh kepastian hukum, penyederhanaan hukum dan kesatuan hukum. Selanjutnya beberapa contoh kodifikasi hukum adalah:

1) Kodifikasi hukum di Eropa adalah Corpus luris Civilis (mengenai Hukum Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Justianus dari Kerajaan Romawi Timur dalam tahun 527­-565 dan dan Code Civil (mengenai Hukum Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di Perancis pada tahun 1604.

2) Kodifikasi hukum di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (1 Mei 1848), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (1 Mei 1848) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (1 Januari 1918).

d. Kesamaan dalam struktur hukum privat dan hukum publik.

Struktur Hukum Romawi yang membagi dalam dua kelompok hukum publik dan hukum perdata. Sebagai contoh untuk Hukum Perdata dijumpai baik dalam Code Civil Perancis, Burgelijk Wetboek (BW) Belanda atau pun dalam Kitab Undang-­Undang Hukum Perdata di Indonesia.



Sedangkan sumber hukum Romawi Jerman terdiri atas:

a. Undang-undang.

Undang-undang merupakan sumber hukum formal yang utama. Dalam kelompok ini terbagi atas:

1) Peraturan (regel), yakni keputusan pemerintah yang isinya berlaku atau mengikat secara umum dan karenanya tidak ditujukan pada orang-orang tertentu. Pada dasarnya peraturan itu mengatur keadaan pada waktu sekarang dan yang akan datang; jadi tidak mengatur keadaan pada masa lampau, dan karena itu pada dasarnya tidak dapat berlaku surut.

2) Penetapan atau ketetapan (beschikking), yakni keputusan pemerintah yang hanya berlaku bagi orang atau orang-orang tertentu raja; jadi tidak dimaksudkan untuk berlaku bagi umum atau mengikat umum.

3) Vonis, yakni keputusan badan peradilan (hakim) yang menetapkan apa hukumnya bagi kasus konkret tertentu untuk menyelesaikannya.

b. Kebiasaan.

Kebiasaan atau tradisi adalah sumber hukum yang tertua, sumber darimana dikenal atau dapat digali sebagian dari hukum diluar Undang-Undang, tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya. Yang dimaksud adalah perulangan perilaku yang sama di dalam masyarakat setiap kali terjadi situasi kemasyarakatan yang sama. Kebiasaan baru menjadi hukum kebiasaan apabila kebiasaan itu diyakini oleh masyarakat sebagai suatu kewajiban hukum karena dirasakan sesuai dengan tuntutan keadilan. Di samping itu, suatu kebiasaan juga dapat menjadi hukum kebiasaan karena dikonstatir oleh hakim dalam putusannya.

Persyaratan untuk menjadi hukum kebiasaan adalah:

1) Syarat materiil; adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap atau diulang, yaitu suatu rangkaian perbuatan yang sama, yang berlangsung untuk beberapa waktu lamanya. Harus dapat ditunjukkan adanya perbuatan yang berlangsung lama; harus ada apa yang dinamakan longa et inventerata consuetudo.

2) Syarat intelektual; kebiasaan itu harus menimbulkan opini necessitatis (keyakinan umum) bahwa perbuatan itu merupakan kewajiban hukum. Keyakinan ini tidak hanya merupakan keyakinan bahwa selalu ajeg berlaku demikian, tetapi keyakinan bahwa memang seharusnya demikian. Keyakinan ini disebut opinio necessitatis (=pendapat bahwa demikian. seharusnya). Kebiasaan itu harus dilakukan karena keyakinan, bahwa hal itu patut secara objektif dilakukan, bahwa dengan melakukan itu berkeyakinan melakukan suatu kewajiban hukum.

3) Adanya akibat hukum apabila hukum kebiasaan itu di langgar.



Secara umum dapat dibedakan adanya tiga jenis hukum kebiasaan yaitu:

1) Hukum Kebiasaan Umum yang berlaku untuk seluruh wilayah negara.dalam suatu negara dengan wilayah seluas negara Republik Indonesia dengan penduduknya yang banyak, praktis tidak mungkin atau sulit sekali akan terbentuknya hukum kebiasaan umum ini.

2) Hukum kebiasaan setempat yang berlaku dalam wilayah lingkungan yang lebih kecil, misalnya dalam satu propinsi atau kabupaten, yang seringkali pula memperlihatkan perbedaan dari tempat ke tempat, meskipun memperlihatkan ciri-ciri pokok yang sama.

3) Kebiasaan khusus atau kebiasaan kelompok yang berlaku dalam lingkungan kelompok orang-orang tertentu, misalnya hukum kebiasaan di kalangan profesi tertentu (hukum, kedokteran, jurnalistik) atau lingkungan dunia perdagangan dan kerajinan, seperti hukum kebiasaan di kalangan pedagang efek atau komoditi pertanian, perusahaan bangunan dan sebagainya. Pada masa sekarang, hukum kebiasaan kelompok ini yang paling penting.

c. Traktat.

Traktat adalah perjanjian antarnegara, dibedakan antara perjanjian antarnegara yang penting yang dinamakan Traktat (Treaty), dan perjanjian antarnegara yang tidak begitu penting yang dinamakan perjanjian atau persetujuan saja. Selain itu dibedakan pula antara perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral. Perjanjian bilateral adalah perjanjian antara dua negara saja, sedangkan perjanjian multilateral melibatkan lebih dari dua negara. Perjanjian multilateral ada yang bersifat kolektif (terbuka) yakni setelah traktat itu berlaku, masih terbuka bagi negara-negara lain yang tidak turut serta dalam pembentukkannya untuk menjadi peserta dari traktat tersebut; ada juga yang bersifat tertutup, yakni negara lain yang tidak terlibat dalam pembentukkannya tidak dapat menjadi peserta pada traktat termaksud.

Yang dapat mengadakan traktat adalah subjek-subjek hukum Hukum Internasional dan yang saat ini yang diakui sebagai subjek Hukum Internasional hingga sekarang adalah:

1) Negara yang berdaulat.

2) Badan Internasional, seperti PBB, ILO, WHO.

3) Tahta Suci (Sri Paus).

d. Yurisprudensi.

Yurisprudensi berarti peradilan pada umumnya (judicature rechtspraak), yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Yurisprudensi merupakan produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan atau terhukum. jadi putusan pengadilan hanya mengikat orang-orang tertentu saja dan tidak mengikat setiap orang secara umum seperti undang-­undang. Bedanya dengan undang-undang adalah putusan pengadilan berisi peraturan-peraturan yang bersifat konkret karena mengikat orang­-orang tertentu saja, sedangkan undang-undang berisi peraturan-peraturan yang bersifat abstrak karena mengikat setiap orang.



Yurisprudensi merupakan putusan hakim yang kemudian dijadikan dasar untuk menyelesaikan kasus-kasus serupa di kemudian had. Biasanya hal ini akan terjadi jika telah terjadi beberapa kali kasus yang serupa, dan untuk kasus-kasus itu hakim selalu memberikan keputusan dengan cara yang kurang lebih sama. Perulangan itu menimbulkan rasa keharusan untuk memutuskan dengan cara yang sama setiap kali kasus yang serupa terjadi. Dengan demikian terbentuk hukum melalui keputusan hakim (hukum hakim, rechterrecht, judge made law). Dalam sistem kontinental, hakim tidak terikat pada putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang serupa. Untuk merealisasi asas kesamaan tersebut dalam sistem kontinental hakim diikat oleh undang-undang. Di sini Hakim berpikir secara deduktif dari undang-undang yang sifatnya umum ke peristiwa khusus.



Yang dapat menjadi yurisprudensi adalah keputusan (vonis) dari Badan Peradilan Tertinggi (Mahkamah Agung), juga vonis dari Badan Peradilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri) dan vonis dari Badan Peradilan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi).



e. Penemuan hukum.

Negara-negara yang menganut sistem hukum Romawi Jerman menganut sistem pengaturan sumber hukum pada prinsipnya bersifat tertulis, di mana sumber yang utama adalah perundang-undangan. Akan tetapi tidak selalu perundang-undangan itu memadai untuk mengadili suatu perkara. Dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa:

“Seorang Hakim tidak dapat menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya, dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan/hukum yang ada ternyata tidak jelas atau tidak lengkap, melainkan is harus tetap mengadili perkara tersebut.”



Ketentuan di atas menegaskan bahwa hakim harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan, artinya hakim harus berperan menetapkan atau menentukan apa yang akan merupakan hukum walaupun peraturan undang-undang yang ada tidak dapat membantunya. Tindakan hakim dalam situasi semacam itu dimaksudkan dengan pengertian Penemuan Hukum atau Rechtvinding. Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukkan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Metode dalam penemuan hukum, dibedakan dalam dua bentuk yaitu penafsiran hukum (rechtinterpretatie) dan konstruksi atau komposisi hukum (rechtsconstructie).

1) Penafsiran Hukum.

Penafsiran atau interpretasi adalah menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasar pada kaitannya.

Penafsiran atau interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Metode Penafsiran atau interpretasi adalah sarana untuk mengetahui makna Undang-Undang. Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang konkret dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. Yang memerl.ukan penafsiran atau interpretasi terutama perjanjian dan undang-undang. Baik undang-undang atau perjanjian mernc:Inkan penafsiran atau penjelasan karena seringkali tidak jelas atau tidak lengkap. Terdapat beberapa macam penafsiran, yaitu:

a) Penafsiran tata bahasa (gramatikal) yaitu cara penafsiran berdasarkan penjelasan dari segi bahasa, dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hiihungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang; yang dianut adalah semata-mata arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari. Di sini arti dan makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum.

b) Penafsiran Sejarah (Historische Interpretatie).

Makna undang-undang dapat dijelaskan atau ditafsirkan juga dengan jalan meneliti sejarah terjadinya. Penafsiran ini dikenal sebagai penafsiran sejarah.

Terdapat dua macam penafsiran sejarah yaitu penafsiran sejarah perundang-undangan (Wet historische Interpretatie) dan penafsiran sejarah hukum (Recht historische Interpretatie). Yang dimaksud dengan penafsiran sejarah perundang-undangan (Wet historische Interpretatie) adalah menemukan apa yang menjadi kehendak dari pembuat undang-undang. Caranya dengan menyelidiki dan mempelajari dokumentasi atau laporan-laporan yang pernah dibuat dan yang menyangkut proses penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan penafsiran sejarah hukum (Recht historische Interpretatie) adalah dengan menyelidiki asal­-usul suatu peraturan perundang-undangan dikaitkan dengan suatu sistem hukum yang pernah berlaku atau masih berlaku. Penafsiran ini hendak memahami hukum dalam konteks seluruh sejarah hukum.

c) Penafsiran Sistematis (Systernatische Interpretatie).

Yang dimaksud adalah penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan dengan cara menyelidiki atau menilik dalam suatu sistem tertentu yang terdapat di dalam suatu tata hukum. Suatu peraturan hukum umumnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem yang tidak berdiri sendiri. Contoh: lembaga hukum perjanjian, perkawinan dan sebagainya.

d) Penafsiran Sosiologis (Sociologische atau Teleologische interpretatie).

Penafsiran sosiologis sering juga dinamakan sebagai penafsiran teleologis (teleo= tujuan). Yang dimaksud adalah penafsiran terhadap maksud dan tujuan undang-undang itu. Hal ini penting untuk mencari tujuan sosial baru dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan cara mendekatkan perbedaan yang ada di antara “sifat­-sifat positif” dari undang-undang atau hukum dengan kenyataan-kenyataan hukum. Hal ini dikarenakan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan undang-undang tetap sama.

e) Penafsiran resmi atau otentik (Authentieke atau Officiele Interpretatie).

Yang dimaksud adalah penafsiran terhadap kata, isti!ah atau pengertian di dalam peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat Undang-Undang sendiri. Dengan diberikan penafsiran oleh pembuat undang-undang, berarti hakim atau pihak lain tidak diperkenankan membuat penafsiran dengan cara lain.

2) Konstruksi atau Komposisi Hukum.

Dalam usaha menyelesaikan, suatu perkara adakalanya hakim menghadapi masalah belum adanya peraturan perundang- undangan yang dapat langsung digunakan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan, walaupun semua metode penafsiran telah dilakukan. Sebagai jalan keluar, hakim dapat melakukan konstruksi hukum

a) Konstruksi analogi.

Memberikan tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberikan analog pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Misalnya “menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil aliran listrik”.

b) Konstruksi penghalusan hukum (Rechtsverfijning).

Adakalanya suatu peraturan hukum yang seharusnya dipergunakan untuk menyelesaikan perkara ternyata peraturan tersebut tidak dapat dipergunakan. Menurut pandangan hakim, jika peraturan ini digunakan justru akan menimbulkan ketidak-adilan atau menciptakan pertentangan dengan kenyataan-kenyataan sosial yang ada. Karena itu hakim mengeluarkan masalah yang dihadapinya sebagai perkara dari lingkup peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Tindakan “mengeluarkan” suatu perkara dari lingkup berlaku undang-undang atau yang seharusnya berlaku, dinamakan tindakan “menghaluskan hukum” (rechtsverfijning). Jenis konstruksi ini sebenarnya merupakan bentuk kebalikan dari konstruksi analogi, sebab bila di satu pihak analogi memperluas lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan, maka dipihak lain peng­halusan hukum justru mempersempit lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan. (bersifat restriltif).

Ketentuan pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata menetapkan bahwa:

“untuk benda-benda bergerak (yang bukan berbentuk piutang), maka orang yang menguasai barang-barang itu akan dianggap sebagai pemiliknya”.





Ketentuan di atas dikenal sebagai asas “Bezit geldt als volkomen titel”, atau “Bezit berlaku sebagai titel yang sempurna”. Jadi bagi undang-undang, seseorang akan dianggap telah cukup membuktikan bahwa dirinya mempunyai hak milik atas suatu benda, dengan menunjukkan bahwa ia menguasai (bezitter) benda itu seperti seorang pemilik.

Ketentuan undang-undang ini bertujuan untuk memperlancar lalu-lintas perdagangan, khususnya untuk melindungi kepentingan pembeli tanpa harus menyelidiki status kepemilikan benda yang dikuasai oleh penjual. Yang menjadi masalah adalah, apakah tujuan memperlancar arus lalu-lintas barang itu juga berlaku juga di dalam hubungan-hubungan hukum yang lainnya.

c) Argumentum A Contrario.

Adakalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa itu diatur. Caranya adalah dengan melakukan penafsiran kebalikannya. ini merupakan cara penafsiran atau menjelaskan Undang-Undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkret yang dihadapi dan peristiwa yang diatur oleh undang-undang.

Contoh: pasal 340 KUHPerdata menetapkan:

“seorang wanita tidak boleh menikah lagi sebelum lewat jangka waktu 300 hari setelah perceraiannya dari suami yang pertama”.


Ketentuan ini dimaksudkan agar dalam jangka waktu 300 hari tersebut tidak dilahirkan seorang anak dari wanita tersebut, yang mungkin akan menimbulkan masalah terhadap status anak yang bersangkutan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " SISTEM HUKUM CIVIL LAW (EROPA KONTINENTAL)"

Post a Comment