LEMBAGA PERWAKILAN DAN PERMUSYAWARATAN RAKYAT TINGKAT PUSAT

Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 

A. LEGISLATURE 

Seringkali dipahami bahwa fungsi legislasi hanya terkait dengan fungsi pembuatan undang-undang dalam pengertian yang sempit. Karena itu, yang biasa dipahami sebagai lembaga legislatif berdasarkan UUD 1945 pasca reformasi hanya DPR dan DPD saja. Bahkan, banyak pula tokoh-tokoh politik kita yang memahaminya lebih sempit lagi, yaitu bahwa lembaga yang mempunyai kewenangan langsung di bidang pembuatan undang-undang itu hanya DPR, sedangkan DPD hanya berfungsi sebagai ‘advisory council’ terhadap fungsi DPR. 

Jika kita mengacu kepada pendapat Frank Goodn0w, kekuasaan negara dapat dibedakan antara fungsi pembuatan kebijakan (policy making) dan pelaksanaan kebijakan (policy executing). Teori Goodnow ini dapat dinamakan sebagai teori ‘duo-politica’. Berbeda dari Goodnow, fungsi-fungsi kekuasaan, menurut Montesquieu, terdiri atas tiga cabang atau ‘trias politica’ yaitu legislature, executive, dan judiciary. Executive adalah pelaksana, sedangkan judiciary menegakkannya jika timbul sengketa atau pelanggaran terhadap kebijakan. Namun, baik menurut Goodnow maupun menurut Montesquieu, yang dimaksud dengan fungsi legislatif atau legislature itu berkaitan dengan semua kegiatan yang dengan mengatasnamakan atau mewakili rakyat membuat kebijakan-kebijakan negara. Inilah yang disebut sebagai legislature atau fungsi legislatif. 

Pelembagaan fungsi legislature itulah yang disebut parlemen. Di berbagai negara ada yang melembagakannya dalam satu forum saja (unicameral atau monocameral), ada pula yang dua forum (bicameral),. Bahkan ada pula negara-negara yang mempunyai struktur parlemen multi kameral atau terdiri atas lebih dari dua kamar atau lebih dari dua institusi. Salah satunya adalah Indonesia yang mempunyai tiga institusi atau tiga forum parlemen sekaligus, yaitu DPR, DPD, dan MPR. DPR merupakan lembaga perwakilan politik (political representation), DPR merupakan perwakilan daerah (regional representation), sedangkan MPR merupakan penjelmaan keseluruhan rakyat, baik dari segi politik maupun kedaerahan. 

Di samping fungsi lainnya, DPR berfungsi untuk membentuk undang-undang, DPD memberikan pertimbangan dalam pembentukan undang-undang, sedangkan MPR menetapkan UUD sebagai kebijakan tertinggi. Di berbagai negara, DPD atau yang disebut dengan nama lain, seperti Senat, biasanya berperan dalam pengambilan keputusan pembentukan undang-undang atau undang-undang tertentu. Akan tetapi, berdasarkan UUD 1945 yang berlaku sekarang, keputusan-keputusan DPD sama sekali tidak menentukan dalam proses pembentukan undang-undang itu. Peranan DPD hanya bersifat advisoris terhadap DPR. Sementara itu, menurut Montesquieu, pembentukan undang-undang dasar juga dinamakan legislasi. 

Karena itu, dengan mengacu kepada pendapat Montesquieu dan Frank Goodnow tersebut di atas, kita dapat mengatakan bahwa dalam struktur parlemen Indonesia dewasa ini terdapat tiga forum parlemen yang sama-sama mempunyai fungsi legislasi dalam arti yang luas. Karena itu, saya sering menamakan struktur parlemen Indonesia dewasa ini sebagai parlemen trikameral. Kita tidak menganut prinsip unikameralisme, bukan pula buikameralisme, melainkan trikameralisme. Dengan demikian, adanya MPR, DPR, dan DPD dalam sistem ketatanegaraan kita berdasarkan UUD 1945 dewasa ini merupakan satu kesatuan kelembagaan parlemen Indonesia yang mempunyai tiga forum perwakilan dan permusyawaratan dalam rangka pengambilan keputusan mengenai kebijakan negara berdasarkan UUD 1945. 


B. MAJELIS PERMUSAWARATAN RAKYAT 



Pasal 2 UUD 1945 berbunyi: 

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. 

(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara. 

(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak. 

Sedangkan Pasal 3-nya menyatakan: 

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan undang-undang dasar. 

(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. 

(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar. 

Dapat dikatakan bahwa Pasal 2 UUD 1945 tersebut mengatur mengenai organ atau lembaganya, sedangkan Pasal 3 mengatur kewenangan lembaga MPR itu. Di samping itu, ada beberapa pasal lain dalam UUD 1945 yang juga mengatur tentang MPR, termasuk mengenai kewenangannya. Akan tetapi, pada bagian ini, yang dititik-beratkan hanya penegasan bahwa dalam UUD 1945, status MPR itu sebagai lembaga atau organ negara diatur secara eksplisit. 

Mengapa nian ketentuan mengenai MPR harus ditempatkan pada Bab III yang tersendiri dan mendahului pengaturan mengenai hal-hal lain seperti Presiden dan DPR serta DPD? Jawabannya jelas bahwa memang demikianlah susunan UUD 1945 yang asli sebagai Konstitusi Proklamasi yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945. Malah aslinya, ketentuan tentang MPR itu terdapat dalam Bab II, bukan Bab III seperti naskah setelah perubahan yang berlaku sekarang. 

Sebelum menentukan hal-hal lain, UUD 1945 yang asli menegaskan bahwa kedaulatan rakyat Indonesia dijelmakan dalam tubuh MPR sebagai pelaku utama dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat itu. Karena itu, bunyi rumusan asli Pasal 1 ayat (2) Bab I UUD 1945 adalah “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Di samping itu, pada Bab III Pasal 6 ayat (2) ditentukan pula bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak”. 

Atas dasar rumusan yang demikian, dikembangkan pengertian sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang oleh Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 dijadikan bagian yang tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, yaitu bahwa Presiden bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Karena itu, selama ini dimengerti bahwa MPR inilah yang merupakan yang paling tinggi, atau biasa disebut sebagai lembaga tertinggi negara, sehingga wajar bahwa keberadaanya diatur paling pertama dalam susunan UUD 1945. 

Sekarang, setelah UUD 1945 diubah secara substantif oleh Perubahan Pertama sampai dengan Keempat dengan paradigma pemikiran yang sama sekali baru, susunan organisasi negara Republik Indonesia sudah seharusnya diubah sebagaimana mestinya. Antara MPR, DPR, dan DPD sudah semestinya dijadikan 1 bab atau setidak-tidaknya berada dalam rangkaian bab-bab yang tidak terpisahkan seperti sekarang. Dalam naskah resmi konsolidasi yang tidak resmi[2] (setelah Perubahan Keempat), susunan Bab III tentang MPR dan Bab VII tentang DPR serta Bab VII tentang DPD, diantarai oleh Bab IV tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung yang telah dihapuskan ketentuannya dari UUD 1945, dan Bab V tentang Kementerian Negara, dan Bab VI tentang Pemerintah Daerah. 

Dalam UUD 1945 setelah Perubahan Keempat, organ MPR juga tidak dapat lagi dipahami sebagai lembaga yang lebih tinggi kedudukannya daripada lembaga negara yang lain atau yang biasa dikenal dengan sebutan lembaga tertinggi negara. MPR sebagai lembaga negara sederajat levelnya dengan lembaga-lembaga negara yang lain seperti DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Bahkan dalam hubungan dengan fungsinya, organ MPR dapat dikatakan bukanlah organ yang pekerjaannya bersifat rutin. Meskipun di atas kertas, MPR itu sebagai lembaga negara memang terus ada, tetapi dalam arti yang aktual atau nyata, organ MPR itu sendiri sebenarnya baru dapat dikatakan ada (actual existence) pada saat kewenangan atau ‘functie’nya sedangkan dilaksanakan. Kewenangannya itu adalah mengubah dan menetapkan undang-undang dasar (UUD), memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden, memilih presiden atau wakil presiden untuk mengisi lowongan jabatan presiden atau wakil presiden, dan ‘melantik’ presiden dan/atau wakil presiden. 

Sebelum perubahan UUD 1945, MPR atau Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Kepada lembaga MPR inilah Presiden, sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan, bertunduk dan bertanggungjawab. Dalam lembaga ini pula kedaulatan rakyat Indonesia dianggap terjelma seluruhnya, dan lembaga ini pula yang dianggap sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat itu. Dari lembaga tertinggi MPR inilah, mandat kekuasaan kenegaraan dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, yang kedudukannya berada di bawahnya sesuai prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal (distribution of power). 

Namun, sekarang setelah perubahan UUD 1945, tidak dikenal lagi adanya lembaga tertinggi negara. Sesuai doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) berdasarkan prinsip “checks and balances” antara cabang-cabang kekuasaan negara, MPR mempunyai kedudukan yang sederajat saja dengan lembaga-lembaga (tinggi) negara lainnya. Malahan, jika dikaitkan dengan teori mengenai struktur parlemen di dunia, yang dikenal hanya dua pilihan, yaitu struktur parlemen satu kamar (unikameral) atau struktur parlemen dua kamar (bikameral). 

Di lingkungan negara-negara yang menganut sistem parlemen dua kamar, memang dikenal adanya forum psersidangan bersama di antara kedua kamar parlemen yang biasa disebut sebagai “joint session” atau sidang gabungan. Akan tetapi, sidang gabungan itu bukanlah lembaga yang tersendiri. Misalnya, di Amerika Serikat terdapat the House of Representatives dan Senate. Keduanya disebut sebagai Congress of the United States of America. Jika sidang gabungan atau ‘joint session’ diadakan, maka namanya adalah persidangan Kongres. 

Dalam Konstitusi Amerika Serikat disebutkan bahwa “All legislative power vested in Congress which consist of the Senate and the House of Representatives”. Segala kekuasaan legislatif berada di Kongres yang terdiri atas House of Representative dan Senat. Akan tetapi, dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 ketentuan mengenai MPR, dirumuskan secara berbeda, yaitu “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Dengan demikian, MPR tidak dikatakan terdiri atas DPR dan DPD, melainkan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Dengan demikian, MPR itu merupakan lembaga yang tidak terpisah dari institusi DPR dan DPD. 

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 8 ayat (2) dan (3), MPR mempunyai kewenangan untuk (1) mengubah dan menetapkan undang-undang dasar; (2) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar; (3) memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan dalam jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut undang-undang dasar; dan (4) mengadakan sidang MPR untuk pelantikan atau pengucapan sumpah/janji jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden. 

Keempat kewenangan tersebut sama sekali tidak tercakup dan terkait dengan kewenangan DPR ataupun DPD, sehingga sidang MPR untuk mengambil keputusan mengenai keempat hal tersebut sama sekali bukanlah sidang gabungan antara DPR dan DPD, melainkan sidang MPR sebagai lembaga tersendiri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keberadaan lembaga MPR itu merupakan institusi ketiga dalam struktur parlemen Indonesia, sehingga saya menamakannya sebagai sistem tiga kamar (trikameralisme). Dewasa ini, tidak ada satupun negara di dunia yang menerapkan sistem tiga kamar seperti ini. Karena itu, Indonesia dapat dikatakan merupakan satu-satunya negara di dunia yang menerapkan sistem tiga kamar ini. 

Namun demikian, meskipun MPR itu adalah kamar ketiga, sifat pekerjaan MPR itu sendiri tidaklah bersifat tetap, melainkan bersifat adhoc. Sebagai organ negara, lembaga MPR itu baru dapat dikatakan ada, apabila fungsinya sedang bekerja (in action). Dalam hal ini kita dapat membedakan antara pengertian “MPR in book” dengan “MPR in action”. Dari keempat kewenangan di atas, tidak satupun yang bersifat tetap. Perubahan dan penetapan undang-undang dasar tentunya hanya akan dilakukan sewaktu-waktu. Setelah perubahan 4 (empat) kali berturut-turut pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, mungkin masih akan lama untuk adanya perubahan lagi atas UUD 1945. Kita belum dapat memperkirakan dalam waktu 10 sampai dengan 20 tahun mendatang, apakah akan ada lagi atau tidak agenda perubahan atas UUD 1945. 

Demikian pula dengan agenda pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden serta agenda pemilihan presiden dan/atau wakil presiden untuk mengisi lowongan jabatan. Kita tidak dapat membuat ramalan mengenai kemungkinan kedua agenda ini akan dijalankan dalam waktu dekat. Dalam sejarah lebih dari 2 abad[3] pengalaman Amerika Serikat, baru tercatat 3 (tiga) kasus yang terkait dengan ‘impeachment’ terhadap Presiden. Ketiga kasus itu msing-masing melibatkan Presiden Lindon Johnson, Presiden Nixon, dan Presiden Bill Clinton. 

Karena itu, satu-satunya kewenangan MPR yang bersifat rutin dan dapat direncanakan adalah kegiatan persidangan untuk pelantikan presiden dan wakil presiden setiap lima tahunan. Akan tetapi, menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2) UUD 1945, sidang MPR itu sendiri bersifat fakultatif. Pengucapan sumpah atau janji Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dilakukan di hadapan atau di dalam sidang MPR atau sidang DPR. Jika MPR tidak dapat bersidang, pengucapan sumpah/janji itu dapat dilakukan dalam sidang atau rapat paripurna DPR. Jika rapat paripurna DPR juga tidak dapat diselenggarakan, maka pengucapan sumpah/janji jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden itu cukup dilakukan di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung. 

Dengan perkataan lain, tidak satupun dari keempat kewenangan MPR itu yang bersifat tetap, sehingga memerlukan alat-alat perlengkapan organisasi yang juga bersifat tetap. MPR itu baru ada jika fungsinya memang sedang berjalan atau bekerja (in action). Oleh karena itu, tidak ada keharusan bagi MPR untuk diadakan pimpinan dan sekretariat yang tersendiri. UUD 1945 sama sekali tidak mengamanatkan hal ini. Artinya, jika dikehendaki, dapat saja pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dengan persetujuan Presiden dapat saja mengadakan pimpinan MPR yang bersifat tersendiri itu atau malah meniadakan dan mengatur agar pimpinan MPR itu dirangkap saja secara ex officio oleh pimpinan DPR dan pimpinan DPD. 

Di masa Orde Baru, pimpinan MPR juga pernah dirangkap oleh pimpinan DPR, karena pertimbangan bahwa kegiatan MPR itu sendiri tidak bersifat tetap. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang diberikan kebebasan menentukan pilihan apakah akan mengadakan atau meniadakan jabatan pimpinan dan sekretariat jenderal MPR yang bersifat permanen. Kedua pilihan itu sama-sama dapat dibenarkan, asalkan masing-masing pilihan itu benar-benar idadasarkan atas alasan yang masuk akal dan memang ada kegunaanya. 

Sebenarnya, baik pimpinan MPR, pimpinan DPR, maupun pimpinan DPD sama-sama tidak diatur dalam UUD 1945. Hal ini berbeda dari para pimpinan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan yang secara tegas diatur, yaitu bahwa ketuanya dipilih dari dan oleh anggotanya masing-masing. Karena itu, adalah keharusan konstitusional (constitutional imperative) bahwa di dalam organisasi MA, MK, dan BPK , diadakan jabatan Ketua. Sedangkan di MPR, DPR, dan DPD, dapat saja diatur dalam Undang-Undang bahwa pimpinannya hanya dijabat oleh seorang Koordinator, atau disebut Juru Bicara atau “Speaker”. Hanya saja, untuk pimpinan DPR selama ini sudah biasa disebut Ketua DPR dan Wakil Ketua DPR, sehingga dapat dikatakan sudah menjadi konvensi ketatanegaraan bahwa di DPR ada jabatan Ketua dan Wakil Ketua DPR. 

Setara dengan susunan DPR, di dalam susunan kepemimpinan DPD tentunya dapat pula diadakan jabatan Ketua dan Wakil Ketua seperti yang terdapat dalam susunan organisasi DPR. Karena itu, tidak salah jika pembentuk undang-undang, sama-sama mengadakan jabatan Ketua dan Wakil, baik dalam susunan DPR maupun DPD. Akan tetapi, untuk jabatan pimpinan MPR, keadaannya sungguh berbeda. Jabatan kepimpinanan MPR yang terpisah dari kepemimpinan DPR dan DPD serta adanya sekretariat jenderal MPR-RI yang juga tersendiri, terlepas dari sekretariat jenderal DPR dan sekretariat jenderal DPD seperti dewasa ini, adalah semata-mata akibat pengaturannya dalam Undang-Undang No. .... tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. 

Selama masa Order Baru juga sudah biasa diatur bahwa pimpinan MPR-RI itu dirangkap secara ex-officio oleh pimpinan DPR-RI. Lagi pula keberadaan MPR yang tersendiri sebagai lembaga ketiga di samping DPR dan DPD (trikameralisme) adalah produk baru dalam sistem ketatanegaraan kita berdasarkan UUD 1945. Keberadaan pimpinan MPR yang tersendiri belum dapat dikatakan didasarkan atas konvensi ketatanegaraan yang sudah baku. Malahan, apabila dikaitkan dengan semangat efisiensi, keberadaan pimpinan MPR yang tersendiri dan juga kesekretariat-jenderal yang juga tersendiri dapat dikatakan sebagai pemborosan yang sia-sia. 

Ketika RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dibahas bersama di DPR pada tahun 2003 yang lalu, harus diakui terdapat suasana politis yang tidak menguntungkan, sehingga pengaturannya mengenai pimpinan MPR dan kesekretraiat-jenderalan yang berdiri sendiri ini mendapat persetujuan. Pertama, perdebatan tersisa mengenai hasil perubahan ketiga dan keempat UUD 1945 sepanjang menyangkut struktur parlemen bikameral masih belum reda. 

Kelompok konservatif sangat menentang gagasan bikameralisme yang salah satunya diartikan seakan-akan menghilangkan sama sekali keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga yang sebelumnya merupakan lembaga tertinggi negara. Padahal keberadaan Dewan dan Majelis tersebut dianggap sebagai pencerminan langsung dari dianutnya sila keempat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Kata “permusyawaratan” dinilai terjelma dalam pelembagaan MPR, sedangkan kata “perwakilan” dianggap tercermin dalam pelembagaan DPR. Menerima ide struktur parlemen bikameral yang terdiri atas DPR dan DPD, berarti menghilangkan keberadaan MPR sebagai pelembagaan prinsip “permusyawaratan” dalam sila keempat itu. 

Pandangan semacam ini sangat mewarnai pandangan kelompok anggota MPR yang dimotori oleh partai yang berkuasa (the ruling party) ketika itu, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Suasana psikologis yang terbentuk ketika itu sangat dipengaruhi oleh berbagai tekanan yang sangat kuat dari kelompok yang anti-perubahan UUD, sehingga partai yang berkuasa sangat berhati-hati dalam menyikapi setiap ide perubahan pasal demi pasal UUD 1945. Dalam suasana semacam itu dapat dibayangkan bahwa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga adalah Ketua Umum Partai ini sangat dihantui oleh kekuatiran bahwa lembaga MPR akan dihapuskan sama sekali dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Karena itu, sebagai kompromi atas perdebatan ini, rumusan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang disepakati dalam rangka Perubahan Keempat pada tahun 2002 adalah “MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Karena adanya kata “anggota” dalam rumusan tersebut di atas, berarti – meskipun keanggotaannya dirangkap-- institusi MPR itu sama sekali berbeda dan terpisah dari institusi DPR dan institusi DPD. Sebagai institusi yang terpisah, seperti telah diuraikan di atas, ketiganyapun mempunyai fungsi, tugas, dan kewenangan yang juga berbeda dan terpisah satu sama lain. Karena itu, memang tidak dapat dihindarkan untuk menyatakan bahwa MPR itu adalah lembaga atau kamar ketiga dari struktur parlemen Republik Indonesia (trikameral parliament). 

Sebab kedua yang mengakibatkan diterimanya keberadaan pimpinan dan kesekretariat-jenderalan yang tersendiri itu adalah suasana persaingan kepentingan politik antar partai-partai politik itu sendiri baik yang ada di dalam MPR dan DPR maupun di luar parlemen menjelang pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden tahun 2004. Berbagai kelompok partai politik sedang disibukkan oleh berbagai agenda koalisi antar satu sama lain. Karena itu, keengganan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Megawati untuk meniadakan jabatan pimpinan dan kesekretariat-jenderal MPR yang tersendiri itu berhimpit dengan kepentingan elite partai-partai politik untuk menyediakan sebanyak mungkin jabatan publik sebagai bahan untuk pembagian kekuasaan di antara mereka. Karena itu, kesepakatan mengenai rumusan pasal-pasal yang menentukan adanya jabatan pimpinan MPR dan kesekretariat-jenderalan MPR yang terpisah dan tersendiri itu, dengan mudah dapat dicapai. 

Karena itu, dapat rangka konsolidasi sistem ketatanegaraan kita pasca Perubahan UUD 1945, dan penataan kelembagaan kenegaraan kita di masa mendatang, dapat diusulkan agar adanya lembaga pimpinan dan kesekretariat-jenderalan MPR yang tersendiri ini cukuplah selama periode transisi sampai tahun 2009 saja. Untuk selanjutnya, hal itu perlu diubah agar lebih efisien. MPR, DPR, dan DPD adalah tiga kamar dalam struktur parlemen Indonesia sebagai satu kesatuan. Gedungnya sama, pegawainya juga sama. Karena itu, piminannya juga sebaiknya dirangkap saja, dan bahkan kesekretariat-jenderalannya pun sebaiknya dijadikan satu saja. Dalam rangka hasil pemilihan umum tahun 2009, pembentuk undang-undang sebaiknya menyempurnakan kembali Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, sehingga hal ini mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "LEMBAGA PERWAKILAN DAN PERMUSYAWARATAN RAKYAT TINGKAT PUSAT"

Post a Comment